Senin, 26 Mei 2014

TEMAN DUDUK YANG MENGUNTUNGKAN

Bismillah

catatanmms95



عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: )) إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر ، فإذا وجدوا قوما يذكرون الله تعالى تنادوا: هلموا إلى حاجتكم ، فيحفون بأجنحتهم إلى السماء الدنيا ، فيسألهم ربهم وهو أعلم بهم : ما يقول عبادي ، قال: يقولون: يسبحونك و يكبرونك ويحمدونك و يمجدونك ، فيقول: هل رأوني؟ فيقولون: لا والله ما رأوك. فقال كيف لو رأوني ؟ فيقولون: لو رأوك كانوا أشد لك عبادة وأكثر لك تحميدا و تمجيدا وأكثر لك تسبيحا. فما يسألني ؟ قالوا: يسألونك الجنة. فيقول : هل رأوها؟ فيقولون: لا والله يا رب ما رأوها . فيقول: كيف لو أنهم رأونها ؟ فيقولون لو أنهم رأونها كانوا أشد حرصا عليها وأشد لها طلبا وأشد فيها رغبة ، قال: فمما يتعوذون ؟ فيقولون من النار ، فيقول: هل رأوها؟ فيقولون: لا والله يا رب ما رأوها ، فيقول: كيف لو رأوها ؟ فيقولون : لو أنهم رأوها كانوا أشد منها فرارا وأشد لها مخافة ، فيقول الله تعالى: أشهدكم أني قد غفرت لهم ،فيقول ملك من الملائكة: فيهم فلان ليس منهم إنما جاء لحاجته ، قال: هم الجلساء لا يشقى جليسهم ((. رواه البخاري و مسلم.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari orang yang berzikir. Apabila mendapati kaum yang sedang berzikir, mereka memanggil yang lain seraya mengatakan, ‘Kemarilah, ini yang kalian cari.’ Mereka pun mengelilingi orang-orang yang berzikir dengan sayap-sayapnya sampai memenuhi langit dunia.
 Allah bertanya kepada para malaikat, walau sesungguhnya Dia lebih tahu keadaan mereka, ‘Apa yang diucapkan hamba-hamba-Ku?’
 Mereka menjawab, ‘Mereka menyucikan-Mu, membesarkan-Mu, memuji-Mu dan menyanjung-Mu.’
 Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat-Ku?’
 Mereka menjawab, ‘Tidak, demi Allah Wahai Rabbku, mereka tidak pernah melihat-Mu.’
 Allah bertanya lagi, ‘Bagaimana kalau seandainya mereka melihat-Ku?’
 Mereka menjawab, ‘Jika mereka melihat-Mu, niscaya mereka lebih semangat beribadah kepada-Mu, lebih banyak memuji dan menyucikan-Mu.’
 Allah bertanya, ‘Apa yang mereka pinta?’
 Malaikat menjawab, ‘Surga-Mu.’
 Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihatnya?’
 Malaikat menjawab, ‘Tidak, demi Allah wahai Robbku, mereka tidak pernah melihatnya.’
 Allah bertanya, ‘Bagaimana kalau seandainya mereka melihatnya?’
 Malaikat menjawab, ‘Jika mereka melihatnya, niscaya mereka lebih semangat dalam memintanya dan sangat berharap untuk mendapatkannya.’
 Allah bertanya, ‘Apa yang mereka takutkan?’
 Malaikat menjawab, ‘Mereka berlindung kepada-Mu dari Api Neraka.’
 Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihatnya?’
 Malaikat menjawab, ‘Tidak, demi Allah wahai Raabku, mereka tidak pernah melihatnya.’
 Allah bertanya lagi, ‘Bagaimana kalau mereka melihatnya?’
 Malaikat menjawab, ‘Kalau mereka melihatnya, niscaya mereka akan sangat takut darinya dan sangat menjauhinya.’
 Kemudian Allah menyatakan, ‘Aku bersaksi di hadapan kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’
 Maka salah satu dari malaikat mengatakan, ‘Di dalam kumpulan itu ada fulan, dia bukan termasuk orang-orang yang berzikir, dia datang hanya untuk mencari kebutuhannya saja.’
 Maka Allah berfirman, ‘Mereka (orang-orang yang berzikir itu) adalah kaum yang tidak akan mencelakakan teman duduknya, bahkan menguntungkannya.’
(H.R. Bukhari dan Muslim.)
Faedah dari al-Akh Saidan
(salah satu thalib di Daarul Hadits, Fuyusy)

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2014/05/26/teman-duduk-yang-menguntungkan/

Selasa, 06 Mei 2014

BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB, BERWUDHU SAJA JIKA AIR SANGAT DINGIN ?





Bolehkah-orang-junub-berwudhu-karena-air-dingin1

 BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB, BERWUDHU SAJA
JIKA AIR SANGAT DINGIN ?
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya mengatakan: “Saya mengalami junub, sementara saya tidak memiliki air panas, maka saya membasuh kemaluan dengan air dingin, lalu saya berwudhu dengan air dingin tersebut dan tidak bertayamum, kemudian saya mengerjakan shalat. Apakah perbuatan saya tersebut benar?


Asy-Syaikh:

Yang wajib adalah dengan engkau mandi dengan air, kecuali jika engkau mengkhawatirkan bahaya karena air yang sangat dingin dan engkau tidak mampu memanaskannya, airnya sangat dingin yang engkau tidak mampu menahan rasa dinginnya, sementara engkau tidak mampu memanaskannya, maka cukup bagimu untuk tayammum dengan debu dan mengerjakan shalat.

Adapun jika engkau mampu memanaskan air seperti dengan kayu bakar atau gas, maka wajib untuk menggunakan air (mandi –pent).

Sumber artikel:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7917

Etika Bermajelis

Bismillah

Etika bermajelis
1. Hendaknya memberi salam kepada orang-orang yang di dalam majlis di saat masuk dan keluar dari majlis tersebut.
Abu Hurairah Radhiallaahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk maka duduklah ia. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah yang pertama lebih berhak daripada yang selanjutnya.”
(HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
2. Hendaknya duduk di tempat yang masih tersisa.
Jabir bin Samurah telah menuturkan:
“Adalah kami, apabila kami datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka masing-masing kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis.”
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
3. Jangan sampai memindahkan orang lain dari tempat duduknya kemudian mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis.
Ibnu Umar Radhiallaahu ‘anhuma telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Seseorang tidak boleh memindahkan orang lain dari tempat duduknya, lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.”
(Muttafaq’alaih).
4. Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majlis).
5. Tidak duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya”.
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
6. Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya”.
(HR.Muslim)
7. Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga.
Ibnu Mas`ud Radhiallaahu ‘anhu menuturkan : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Apabila kamu tiga orang, maka dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian bercampur baur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih”.
(Muttafaq’alaih).
8. Para anggota majlis hendaknya tidak banyak tertawa.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati”.
(HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al- Albani).
9. Hendaknya setiap anggota majlis menjaga pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan kemudian ia menoleh, maka itu adalah amanat”.
(HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
10. Anggota majlis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap atau membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
11. Tidak melakukan perbuatan memata-matai.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang”.
(Muttafaq’alaih).
12. Disunnatkan menutup majlis dengan do`a Kaffarat majlis
karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia membaca : “Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu; aku bersaksi bahwasanya tiada yang berhak disembah selain engkau; aku memohon ampunanmu dan aku bertobat kepada-Mu”, melainkan Allah mengampuni apa yang terjadi di majlis itu baginya”.
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al- Albani).
Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/etika-bermajelis/

Orang-orang yang Mendapat Pahala Dua Kali



catatanmms162

1. Istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
“Barang siapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberinya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia.”
 (al-Ahzab: 31)


2. Orang yang bersedekah kepada karib kerabat

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),
“Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, dan bersedekah kepada kerabat ada dua (pahala): sedekah dan silaturrahim.”
( HR. an-Nasai dan at-Tirmidzi, lihat Shahih at-Targhib no. 879).

Ketika ditanya oleh dua wanita kalangan sahabat tentang sedekah kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam asuhannya, Nabi bersabda, “Keduanya mendapat pahala (menyambung) kekerabatan dan pahala sedekah.”
(Shahih Muslim, “Kitab Zakat” no. 1000)

3. Seorang hakim dan ulama ahli ijtihad yang keputusan/hukumnya sesuai dengan hukum Allah setelah berusaha mencapai hukum yang benar .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَاحَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَاحَكَمَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌوَاحِدٌ

“Ketika seorang hakim (akan) menghukumi lalu bersungguh-sungguh kemudian benar (hukumannya) maka dia mendapat dua pahala. Apabila keliru, dia mendapat satu pahala.”
(HR. Muslim dan selainnya)

Dua pahala tersebut karena hukumnya sesuai dengan hukum Allah Subhanahu wata’ala dan karena usaha kerasnya untuk mencapai kebenaran. Hakim yang dimaksud dalam hadits di atas adalah yang memang memiliki ilmu alat yang cukup untuk menghukumi dan mengerti kaidah-kaidah syariat serta qiyas (kias). Adapun orang yang bodoh lantas menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya.
(Lihat penjelasan al-Imam al-Khaththabi rahimahullah tentang masalah ini dalam ‘Aunul Ma’bud 9/488—489, Maktabah Ibnu Taimiyah)

4. Orang yang memberi contoh/ keteladanan dalam hal yang baik menurut kacamata agama

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),
“Barang siapa memberi contoh yang baik dalam Islam, dia mendapatkan pahala (amalnya) dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala orang yang mengikutinya.”
(HR. Ahmad, Muslim, dll, dari sahabat Jarir radhiyallahu ‘anhu)

5. Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Dua orang lelaki keluar untuk bepergian (safar). Waktu shalat tiba padahal keduanya tidak membawa air. Keduanya lantas bertayamum dengan tanah yang suci lalu shalat. Setelah shalat, keduanya mendapatkan air pada waktu (shalat tersebut). Salah satunya mengulangi shalatnya dengan berwudhu, sedangkan yang satunya tidak mengulangi. Keduanya kemudian mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan hal tersebut. Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, ‘Engkau sesuai dengan sunnah dan shalatmu telah sah.’
Adapun kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, Nabi bersabda, “Engkau mendapat pahala dua kali.”
(HR. Abu Dawud dan ad-Darimi. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya lemah. Padanya ada Abdullah bin Nafi’ ash-Shaigh, ia lemah hafalannya… Tetapi, Ibnu as-Sakan meriwayatkannya dengan sanad yang sahih secara bersambung sebagaimana yang saya jelaskan dalam Shahih Abu Dawud no. 365.”
( Lihat ta’liq asy-Syaikh al-Albani terhadap al-Misykat, 1/166, cetakan al-Maktabul Islami)

6. Orang yang berusaha membaca al-Qur’an dengan benar meskipun terbata-bata.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِى يَقْرَؤُهُ وَيَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang yang pandai membaca al- Qur’an akan bersama malaikat pencatat yang mulia lagi baik. Sementara itu, yang membaca al-Qur’an dengan terbatabata dalam keadaan merasa berat, ia mendapatkan dua pahala.”
(Muttafaqun ‘alaihi)

Dua pahala di sini yaitu pahala membaca al-Qur’an dan pahala atas kesulitan yang dihadapinya. Dengan mencermati penjelasan di atas, tentu kita semakin mengetahui besarnya kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala terhadap para hamba-Nya. Semoga kita senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dan ampunan-Nya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc-
http://asysyariah.com/akhlak-orang-orang-yang-mendapatkan-pahala-dua-kali/

Kupas Tuntas Tata Cara Wudhu Rasulullah



Definisi wudhu
Kata wudhu dengan didhammah huruf wawu (wudhu`) artinya adalah perbuatan atau aktivitas berwudhu dan jika difathahkan huruf wawunya (wadhu`) maka artinya adalah air (yang digunakan untuk berwudhu) [Mu’jamul Wasith hal.1806].
Adapun pengertian wudhu menurut istilah syar’i adalah mencuci dan mengusap anggota badan tertentu atau anggota tubuh yang empat, yaitu kepala, wajah, kedua tangan dan kaki dengan disertai niat (tidak disyariatkan untuk melafalkan niat sebagaimana telah lewat pembahasannya) [Mu’jamul Wasith hal.1806].
Wudhu disyariatkan berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Al-Ma`idah:6].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidak akan diterima shalat salah seorang dari kalian jika berhadats hingga dia berwudhu.” Mutaffaq ‘alaih.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin t ketika ditanya tentang tata cara wudhu, beliau berkata, “Tata cara wudhu yang syar’i itu ada dua sisi:
Sisi pertama: Tata cara wajib di mana tidak sah wudhu tanpanya, yakni yang disebutkan dalam firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai mata kaki….” (al-Maidah: 6)
Mencuci wajah sekali, termasuk madhmadhah (berkumur) dan istinsyaq (menghirup air ke hidung), mencuci dua tangan dari ujung-ujung jari sampai siku sekali. Ketika mencuci lengan ini, orang yang berwudhu hendaknya memerhatikan kedua telapak tangannya dengan turut mencucinya bersamaan dengan mencuci tangan. Karena sebagian manusia melalaikan hal ini hingga tidak mencucinya, namun hanya mencuci lengannya. Ini jelas satu kesalahan.
Setelah itu ia mengusap kepala sekali termasuk mengusap kedua telinga karena kedua telinga merupakan bagian dari kepala. Sebagai penutup wudhunya, ia mencuci kedua kakinya termasuk mata kaki sekali. Demikian tata cara wudhu yang wajib dan tidak boleh ditinggalkan.
Sisi kedua: tata cara yang mustahab (sunnah) yang akan kami sebutkan berikut ini dengan memohon pertolongan kepada Allah:
-Membaca basmallah ketika seseorang hendak berwudhu
-Mencuci kedua telapak tangan tiga kali
-Madhmadhah dan istinsyaq tiga kali dengan tiga kali cidukan
-Mencuci wajah tiga kali
-Mencuci kedua lengan sampai siku masing-masing tiga kali, dimulai dari lengan kanan kemudian dilanjutkan lengan kiri
-Mengusap kepala sekali, dengan membasahi kedua telapak tangannya kemudian menjalankan kedua tangannya tersebut dari depan kepalanya sampai ke belakang kepala kemudian dari belakang kepala ia jalankan kembali ke depan.
-Mengusap telinga dengan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinga sementara kedua ibu jarinya mengusap bagian luar telinga
-Mencuci kedua kaki sampai mata kaki masing-masingnya tiga kali, dimulai dari kaki kanan kemudian kaki kiri.
  • Setelah itu ia berdoa:
    أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah sendiri-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang membersihkan/menyucikan dirinya.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/150—151)
Memulai dari Kanan
Disunnahkan mendahulukan bagian tubuh yang kanan ketika berwudhu dengan berdalil hadits yang umum dari ‘Aisyah x:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Rasulullah menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam mengenakan sandalnya, menyisir rambutnya, dalam bersuci, dan dalam seluruh keadaannya2.” (Shahih, HR. al-Bukhari no. 168, 5854, dan Muslim no. 268)
Yang menyebutkan secara khusus tentang memulai dari bagian kanan ini adalah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya.
إِذَا لَبِسْتُمْ وَإِذَا تَوَضَّئْاتمُ ْ فَابْدَءُوْا بِمَيَامِنِكُمْ
“Apabila kalian mengenakan pakaian dan berwudhu, hendaklah kalian mulai dari bagian yang kanan.”
(Hadits ini sahih sesuai dengan persyaratan al-Imam al-Bukhari sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami‘us Shahih 1/507)
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Ulama bersepakat tentang sunnahnya mendahulukan bagian yang kanan dari yang kiri ketika mencuci tangan dan kaki dalam berwudhu. Siapa yang menyelisihinya maka hilang darinya keutamaan sunnah, namun wudhunya tetap sah.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160)
keterangan:
  1. Niat
Niat adalah ketetapan dan kemantapan hati untuk mengerjakan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (Taisirul ‘Allam, 1/23). Dan niat ini merupakan syarat seluruh amalan ibadah, tidak sebatas amalan wudhu (asy-Syarhul Mumti’, 1/157).
Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan….”
(Shahih, HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Ibnul Mundzir berkata, “Ucapan Rasulullah di atas menunjukkan niat itu umum dikenakan pada seluruh amalan dan tidak dikhususkan sesuatu pun darinya, baik itu amalan yang wajib (fardhu) maupun yang sunnah (nafilah).” (al-Ausath, 1/371)
Namun yang perlu diperhatikan, niat ini tempatnya di hati, bukan dilafadzkan dengan lisan. Bahkan bid‘ah hukumnya bila niat itu dilafadzkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tempat niat itu di hati, bukan di lisan. Hal ini merupakan kesepakatan para imam kaum muslimin dalam seluruh ibadah seperti thaharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan selainnya. Seandainya seseorang berucap dengan lisannya namun berbeda dengan apa yang ada di niatannya (hatinya) maka yang teranggap adalah apa yang dia niatkan, bukan yang dia lafadzkan. Seandainya ia mengucapkan niat dengan lisannya sementara tidak terbetik niat itu di hatinya maka hal ini tidaklah teranggap, menurut kesepakatan para imam kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 22/217—218)
Tasmiyah (membaca basmalah)
Dalam permasalahan tasmiyah ini, sering dibawakan hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda:
لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ketika mengerjakannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if (lemah).” At-Tirmidzi meriwayatkan yang semisal dengan hadits ini dari Sa’id bin Zaid dan Abu Sa’id. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Dalam permasalahan ini tidak ada satu pun hadits yang kokoh (yang bisa jadi hujjah/pegangan).” (Bulughul Maram, hlm. 26)
Ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca basmalah ini. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah.
Mereka yang berpendapat wajib di antaranya Ishaq bin Rahawaih, mazhab Dzhahiriyah, salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad1, al-Hasan al-Bashri, Abu Bakar serta asy-Syaukani rahimahumullah (Tamamul Minnah, hlm. 89, al-Mughni, 1/73). Mereka berdalil dengan hadits di atas.
Menurut pendapat ini, apabila ada orang yang meninggalkan membaca basmalah dengan sengaja, maka tidak sah wudhunya karena ia meninggalkan perkara yang wajib dalam wudhu. Namun apabila ia tidak mengucapkannya karena lupa atau meyakini tidak wajib, wudhunya tidak batal. (al-Majmu’, 1/387)
Ibnul Mundzir (al-Ausath, 1/367—368) berkata, “Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam permasalahan wajibnya tasmiyah sebelum berwudhu. Mayoritas ahlul ilmi menganggap sunnah/disenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah apabila ia hendak berwudhu, sebagaimana mereka menganggap sunnah, tidak wajib membaca basmalah sebelum makan dan minum, tidur, serta yang lainnya. Kebanyakan mereka mengatakan tidak apa-apa bagi seseorang untuk meninggalkan tasmiyah saat hendak wudhu, karena sengaja ataupun lupa. Demikian pendapat Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad ibnu Hambal, Abu ‘Ubaid, dan ashabur ra’yi.”
Ini juga pendapat yang dipegangi jumhur ulama, Abu Hanifah, dan lainnya. (al-Majmu’, 1/386)
Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Aku menyenangi bagi seseorang untuk menyebut nama Allah saat hendak berwudhu. Bila ia lupa, maka ia mengucapkannya ketika ingat selama ia sedang menunaikan wudhunya. Bila ia meninggalkan tasmiyah karena lupa atau sengaja, maka tidak akan merusak wudhunya, insya Allah.” (al-Umm, 1/31)
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Disunnahkan tasmiyah sebelum wudhu, dalam seluruh ibadah dan juga perbuatan-perbuatan lainnya, sampaipun dalam bersenggama (jima’).” (al-Majmu’, 1/386)
Beliau juga menyatakan bahwa tasmiyah ini termasuk sunnah-sunnah wudhu, bila meninggalkannya dengan sengaja maka tidak membatalkan wudhu.
Ibnu Hazm berkata, “Disenangi mengucapkan tasmiyah ketika hendak berwudhu, bila ada seseorang yang meninggalkannya maka wudhunya tetap sempurna.” (al-Muhalla, 2/49)
Dengan pemaparan di atas, maka yang kuat di antara pendapat-pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan sunnah, bukan wajib, karena dalil yang dijadikan sandaran yang mengisyaratkan wajibnya tasmiyah adalah dha’if/lemah. At-Tirmidzi berkata menukilkan ucapan al-Imam Ahmad, “Aku tidak mengetahui dalam bab ini satu hadits pun yang memiliki sanad yang jayyid/bagus.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/21)
Walaupun di kalangan ahlul ilmi ada yang mensahihkan hadits ini, namun al-Bazzar mengatakan bahwa pengertian hadits itu dibawa kepada makna ‘tidak ada keutamaan wudhu bagi orang yang tidak mengucapkan nama Allah’, bukan maknanya ‘tidak boleh wudhu bagi orang yang tidak membaca basmalah’.” (at-Talkhis, 1/112)
Mencuci Kedua Telapak Tangan

Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman bin ‘Affan menyatakan:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ z دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ n تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Ia pernah melihat ‘Utsman meminta diambilkan air untuk wudhu, lalu dituangkannya air dari bejana ke atas dua telapak tangannya dan mencucinya sebanyak tiga kali. Kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya. Setelah itu, ia mencuci wajahnya sebanyak tiga kali, mencuci kedua lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, ia mengusap kepalanya, lalu mencuci kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu seperti wudhuku ini dan beliau bersabda, ‘Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak terbetik di dalam hatinya selain dari perkara shalatnya, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu’.”
(Shahih, HR. al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
‘Utsman memeragakan tata cara wudhu Nabi secara lengkap dan sempurna dengan maksud agar dapat lebih dipahami dan lebih tergambar di benak. (Taisirul ‘Allam, 1/37)
Mencuci kedua telapak tangan ini hukumnya sunnah menurut kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawi (Syarah Muslim, 3/105, al-Majmu’, 1/391) dan Ibnul Mundzir (al-Ausath, 1/375). Walaupun Nabi terus-menerus melakukannya, hukumnya tidaklah menjadi wajib, karena dalam ayat wudhu (surat al-Ma’idah ayat 6), tidak disebutkan mencuci kedua telapak tangan. (asy-Syarhul Mumti’, 1/137)
Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar

Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut, kemudian berkumur-kumur dengannya, lalu disemburkan keluar. (Fathul Bari, 1/335)
Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh ke dalam hidung.  (al-Mughni, 1/74, Nailul Authar, 1/203)
Sedangkan istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Syarah Shahih Muslim, 3/105)
Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) kecuali bila sedang puasa. (al-Mughni, 1/74, al-Majmu’ 1/396, Subulus Salam, 1/73, Nailul Authar, 1/212)
Nabi bersabda:
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali bila engkau sedang puasa.”
(HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718, dan selain keduanya, serta disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/512)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Nabi sesekali pernah madhmadhah dan istinsyaq dengan satu cidukan. Di waktu lain dengan dua cidukan dan sekali waktu tiga cidukan. Beliau menyambung antara madhmadhah dan istinsyaq ini. Beliau mengambil dari cidukan tersebut, setengahnya untuk mulut dan setengahnya lagi untuk hidung, dan tidak mungkin melakukan pada satu cidukan kecuali dengan cara ini. Adapun dengan dua dan tiga cidukan memungkinkan untuk memisahkan serta menyambung madhmadhah dan istinsyaq. Namun petunjuk Nabi dalam hal ini adalah beliau menyambung antara keduanya (tidak memisahkan dengan cidukan yang berbeda) sebagaimana terdapat haditsnya dalam Shahihain dari hadits Abdullah bin Zaid, bahwasanya Rasulullah melakukan madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan, dan beliau lakukan hal itu sebanyak tiga kali. Dalam satu lafadz beliau melakukan madhmadhah dan istinsyaq dengan tiga cidukan. Inilah yang paling sahih dalam permasalahan ini.” (Zadul Ma’ad, 1/48—49)
Dalam Sunan Abi Dawud, dibawakan riwayat ‘Ali bin Abi Thalib yang mencontohkan tata cara wudhu Rasulullah. Di antara cara wudhunya tersebut ia melakukan madhmadhah dan istintsar tiga kali dengan menggunakan (satu cidukan) tangan yang dipakai untuk mengambil air wudhu. (Disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/508)
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib di atas menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istintsar dari satu telapak tangan dengan sekali cidukan, dan dilakukan sebanyak tiga kali, dengan memerhatikan penghematan dalam menggunakan air, karena mulut dan hidung itu (dianggap) satu anggota atau bagian dari wajah. Sementara hadits Abdullah bin Zaid (HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235) menunjukkan sunnahnya madhmadhah dan istinsyaq dari satu telapak tangan dengan tiga cidukan. Demikian keterangan asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam ketika memberi keterangan hadits ‘Ali dan Abdullah bin Zaid c dalam kitabnya Taudhihul Ahkam.
Adapun hadits yang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dari hadits Thalhah bin Musharrif, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Rasulullah adalah dha’if (lemah), karena adanya perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim. Al-Hafizh berkata tentangnya, “Orang ini dha’if.” Yahya ibnul Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah meninggalkan haditsnya. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Tahdzibul Asma’, “Ulama bersepakat terhadap pen-dha’if-annya” (at-Talkhis, 1/112). Di samping itu ada illat (penyakit) lain dalam hadits ini.
Kita cukupkan perkataan Ibnul Qayyim tentang memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq dengan cidukan berbeda, bahwasanya tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam permasalahan ini. (Zadul Ma’ad, 1/49)
Dalam istinsyaq ini disenangi menggunakan tangan kanan, sedangkan istintsar dengan tangan kiri.3 (al-Majmu’, 1/396, Nailul Authar, 1/209)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Mencuci Wajah

Mencuci wajah ketika berwudhu secara jelas disebutkan Allah dalam surat al-Maidah ayat 6 yang di dalamnya juga memuat anggota-anggota tubuh yang wajib, bahkan rukun, untuk dicuci (dibasuh) dan diusap (untuk bagian kepala).
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah-wajah kalian dan lengan-lengan kalian sampai siku. Usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian hingga mata kaki….” (al-Maidah: 6)
Dengan demikian, sangat jelas hukum mencuci wajah ini, sebagaimana disebutkan al-Imam an-Nawawi dalam Syarah-nya, “Ulama bersepakat tentang wajibnya mencuci wajah, kedua lengan, dan kedua kaki (di dalam berwudhu).” (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Batasan wajah yang harus dicuci adalah di bawah tempat tumbuhnya rambut kepala, (yang biasanya, red.) di bagian paling atas dahi sampai ke dagu, dan dari cuping/daun telinga kanan ke cuping telinga kiri, termasuk rahang. (al-Umm, 1/25, al-Muhalla, 2/49, asy-Syarhul Mumti’, 1/149, 171—172)
Al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya membawakan bab “Mencuci wajah dengan dua tangan dari satu cidukan”, dengan hadits:
ثُمَّ أَخَذَ غُرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلىَ يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا وَجْهَهُ
“Kemudian Ibnu ‘Abbas (yang mencontohkan wudhu Nabi) mengambil satu cidukan air, lalu menggabungkan satu tangannya dengan tangannya yang lain, dan mengusap wajahnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 140)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil mencuci wajah dengan menggunakan dua tangan secara bersama-sama walau dengan satu cidukan. Karena satu tangan terkadang tidak menyempurnakan pencucian wajah.” (Fathul Bari, 1/04)
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Disenangi untuk mengambil air dengan kedua telapak tangan ketika hendak mencuci wajah, karena hal tersebut lebih mudah dan lebih dekat untuk membaguskan wudhu.” (Syarah Shahih Muslim, 3/122)
Menyela-nyela Jenggot

Saat mencuci wajah, disenangi pula bagi yang memiliki jenggot untuk menyela-nyela jenggotnya. (al-Ausath, 1/386, al-Mughni, 1/74)
Al-Imam at-Tirmidzi berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi dan orang-orang setelah mereka berpandangan adanya menyela-nyela jenggot. Demikian pula yang dikatakan al-Imam asy-Syafi’i. Al-Imam Ahmad juga berkata, ‘Jika seseorang lupa menyela-nyela jenggotnya, maka hal tersebut tidak menjadi permasalahan’.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/24)
Di antara para sahabat Nabi yang diriwayatkan menyela-nyela jenggotnya adalah ‘Ali bin Abu Thalib, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan bin ‘Ali, Ibnu ‘Umar, dan Anas g. (al-Ausath, 1/381)
Asy-Syaikh Muqbil berkata, “Jenggot juga disela-sela ketika berwudhu. Telah datang berita dari Nabi bahwasanya beliau menyela-nyela jenggotnya, sekalipun al-Imam Ahmad mengatakan tidak ada satu pun hadits yang sahih dalam pengusapan jenggot ini. Namun mungkin yang beliau maksudkan adalah tidak ada hadits yang shahih bila dilihat secara masing-masingnya, namun tidaklah menolak kemungkinan hadits-hadits tersebut bila dikumpulkan jalan-jalannya pantas dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Mencuci Lengan

Adapun mencuci lengan dinyatakan dengan ayat:
“Dan (basuhlah) lengan-lengan kalian sampai siku.” (al-Maidah: 6)
Demikian pula hadits Humran, maula (bekas budak) ‘Utsman, yang menyebutkan tentang pencucian lengan sampai ke siku. Sehingga dipahami dari ayat dan hadits ini bahwa mencuci lengan itu dimulai dari ujung jari hingga siku. Namun ada perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang batasan mencuci lengan ketika berwudhu ini, yakni apakah siku termasuk bagian yang dicuci atau tidak.
Perselisihan mereka timbul karena perbedaan memaknakan huruf jar dalam firman Allah, apakah huruf jar tersebut bermakna الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ (akhir/sampai) atau bermakna مَعَ (bersama/beserta). (al-Muhalla, 2/51, al-Ausath, 1/390, Fathul Bari, 1/366)
Mazhab Dzahiriyyah, sebagian pengikut al-Imam Malik1, serta selainnya memaknakan dengan الْغَايَةُ وَالْاِنْتِهَاءُ. Sehingga mereka menyatakan bahwa siku tidak wajib disertakan dalam pencucian karena yang wajib dicuci hanyalah lengan sampai batas siku (dan siku tidak termasuk di dalamnya). Hal ini sama dengan firman Allah:
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari.” (al-Baqarah: 187)
Sementara jumhur ulama termasuk imam yang empat memaknakan إِلَى dengan مَعَ. Dengan demikian, siku pun ikut dicuci saat berwudhu. Sehingga huruf jar tersebut maknanya seperti dalam firman Allah:
“Dan janganlah kalian memakan harta mereka bersama dengan harta kalian.” (an-Nisa’: 2) [Fathul Bari, 1/366, al-Ausath, 1/391, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15]
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Jumhur ulama sepakat tentang wajibnya mencuci mata kaki dan siku. Sementara Zufar dan Dawud adz-Dzahiri bersendirian dalam pendapat keduanya dengan menyatakan tidak wajib. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 3/107, al-Majmu’, 1/430)
Demikian pula yang dikatakan asy-Syaukani dalam Nailul Authar (1/207).
Namun dari kedua pendapat yang ada, pendapat kedua (yang menyatakan siku ikut dicuci) inilah yang kuat dari sisi dalil, seperti ditunjukkan dalam riwayat Muslim dari hadits Nu’aim bin Mujmir yang pernah melihat Abu Hurairah berwudhu dengan mencuci lengannya hingga melewati sikunya2. Di akhir hadits tersebut Abu Hurairah berkata, “Demikianlah aku melihat Rasulullah berwudhu.” (HR. Muslim no. 246) [al-Majmu’, 1/430, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, asy-Syarhul Mumti’, 1/150, Ijabatus Sa’il, hlm. 29]
Ishaq bin Rahawaih berkata, “إِلَى dalam ayat bisa dimungkinkan bermakna الْغَايَةُ dan bisa pula bermakna مَعَ, tetapi As-Sunnah menjelaskan bahwa huruf tersebut bermakna مَعَ.” (Fathul Bari, 1/366, Subulus Salam, 1/65)
Mengusap Kepala

Allah berfirman:
“Dan usaplah kepala-kepala kalian.” (al-Maidah: 6)
Ayat di atas menunjukkan kepala tidaklah dibasuh sebagaimana anggota wudhu lainnya tetapi hanya diusap. Namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batasan yang wajib diusap. (Syarah Shahih Muslim, 3/107)
Perbedaan tersebut timbul karena adanya perbedaan dalam memaknakan huruf ba dalam firman Allah di atas (Fathul Bari, 1/366).
Pendapat yang ada:
1.    Cukup mengusap sebagian kepala, sebagaimana pendapat al-Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikut al-Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza’i rahimahumullah. Mereka kemudian berbeda pendapat lagi tentang seberapa batasan sebagian kepala tersebut. Ada yang mengatakan setengahnya, ada yang dua pertiganya, ada yang mengatakan bila diusap ubun-ubun maka sudah mencukupi, dan ada pula yang mengatakan sehelai pun sudah cukup.
2.    Wajib mengusap seluruh kepala. Demikian pendapat al-Imam Malik dan Ahmad rahimahumallah, dan inilah pendapat yang rajih. (Majmu’ Fatawa, 21/122—123, 124, Bidayatul Mujtahid, hlm. 15, Taisirul ‘Allam, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam telah bersepakat bahwasanya yang dicontohkan dalam As-Sunnah adalah mengusap seluruh kepala sebagaimana hal ini telah pasti dalam hadits-hadits yang sahih dan hasan dari Nabi. Tidak satu pun perawi (sahabat) yang menukilkan tata cara wudhu Nabi yang menyebutkan bahwasanya Nabi mencukupkan mengusap sebagian kepalanya.” (Majmu’ Fatawa, 21/122)
Ditegaskan lagi oleh beliau bahwa pendapat yang benar dalam pengusapan kepala adalah mengusap seluruhnya, karena yang demikian ini ditunjukkan oleh dzahir (teks) Al-Qur’an. (lihat Majmu Fatawa, 21/123, 125)
Ibnul Qayyim berkata, “Tidak didapati satu hadits sahih pun dari Nabi bahwasanya beliau mencukupkan mengusap sebagian kepala. Akan tetapi bila beliau mengusap ghurrah (rambut bagian depan)nya, beliau sempurnakan dengan mengusap di atas imamah (sorban)nya.” (Zaadul Ma’ad, 1/49)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Lafadz ayat (wudhu) yang datang itu secara global. Oleh karena itu, bisa jadi yang diinginkan dalam mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala dengan pernyataan huruf ba yang ada dalam ayat adalah huruf zaidah (tambahan), atau bisa pula mengusap sebagian kepala dengan memaknakan huruf ba yang ada sebagai tab’idhiyyah (bermakna sebagian). Akan tetapi bila ditinjau dari perbuatan Nabi maka akan diketahui dengan jelas bahwa yang dimaukan adalah yang awal (mengusap seluruh kepala). Tidak pula didapatkan penukilan dari Nabi yang menunjukkan beliau mengusap sebagian kepala, kecuali dalam hadits al-Mughirah yang mengabarkan beliau mengusap ghurrah dan imamahnya….” (Fathul Bari, 1/363)
Sementara asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa seandainya seseorang hanya mengusap jambulnya tanpa mengusap bagian kepala lainnya maka hal tersebut tidaklah mencukupinya. Dalilnya firman Allah, “Usaplah kepala-kepala kalian”, dan Allah tidaklah mengatakan, “Usaplah sebagian kepala-kepala kalian.” Huruf ba dalam bahasa Arab tidaklah datang dengan makna tab’idh sama sekali. Ibnu Burhan berkata, “Siapa yang menganggap huruf ba dalam bahasa Arab datang dengan makna tab’idh maka sungguh ia telah salah dan keliru.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/151)
Abdullah bin Zaid ketika mencontohkan wudhu Nabi, mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya:
فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
“Lalu beliau mengedepankan kedua tangannya tersebut dan membelakangkannya. Beliau memulai dari depan kepalanya kemudian menjalankan kedua tangannya sampai tengkuknya kemudian beliau mengembalikan keduanya ke posisi awal ia mengusap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 185 dan Muslim no. 235)
Dalam hadits Abdullah bin Zaid di atas didapati bahwa beliau mengusap kepalanya dari depan kepala dengan kedua tangannya, kemudian beliau mengarahkannya ke belakang kepalanya, lalu mengembalikan ke arah depan. Juga didapatkan faedah bahwasanya beliau mengusap kepalanya hanya sekali. Demikian pula yang disebutkan dalam hadits ‘Ali:
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap kepalanya sekali.” (HR. Abu Dawud no. 99, at-Tirmidzi no. 48, dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih, 1/508)
Al-Imam at-Tirmidzi mengatakan dalam Sunan-nya, “Pengusapan kepala dengan hanya sekali inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi dan orang-orang setelah mereka. Demikian pendapat yang dipegangi Ja’far bin Muhammad, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah. Mereka semua meriwayatkan pengusapan kepala hanya sekali saja.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/26)
Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa yang dicontohkan dalam As-Sunnah dalam pengusapan kepala adalah mengusapnya hanya sekali.” (Nailul Authar, 1/228)
Demikian pula yang dikatakan al-Mubarakfuri dalam syarahnya terhadap hadits-hadits yang terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi, 1/135).
Adapun hadits yang menunjukkan pengusapan kepala sebanyak tiga kali3 diperselisihkan ulama tentang keshahihannya. Namun yang rajih (kuat), hadits tersebut dha’if (lemah). Lihat pembahasan dha’ifnya hadits tersebut dalam Nailul Authar (1/228—300).
Ibnul Qayyim  mengatakan, “Yang benar, Nabi tidak mengulang pengusapan kepala (yakni beliau hanya mengusapnya sekali), bahkan sekalipun beliau mengulang pencucian anggota wudhu lainnya. Adapun untuk kepala, beliau hanya mengusapnya sekali. Demikianlah keterangan yang datang dari beliau secara jelas. Tidak ada kabar/berita yang shahih sama sekali dari beliau yang menyelisihi hal tersebut. Bahkan kabar yang selain ini periwayatannya bisa jadi shahih namun tidak sharih (tidak jelas menunjukkan pengulangan dalam mengusap kepala), ataupun periwayatannya itu sharih namun tidak sahih.” (Zadul Ma’ad, 1/49)
Abu Dawud berkata, “Hadits-hadits ‘Utsman yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali.” (Zadul Ma’ad, 1/49, Nailul Authar, 1/230)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (21/126).
Mengusap Telinga

Telinga diusap bersamaan dengan mengusap kepala karena Nabi bersabda:
الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” (HR. Abu Dawud no. 115, at-Tirmidzi no. 37, dan Ibnu Majah no. 438, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 36)
Asy-Syaikh Muqbil berkata tentang hadits di atas, “Dengan banyaknya jalan-jalannya, hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 29)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata, “Maksud dari hadits ini adalah dibolehkan mengusap dua telinga bersamaan mengusap kepala dengan menggunakan air yang sama (tidak mengambil air baru). Demikian pendapat al-Imam Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah.” (‘Aunul Ma’bud, 1/154)
Al-Imam asy-Syaukani berkata, “Hadits di atas menunjukkan dua telinga itu merupakan bagian dari kepala, maka keduanya diusap bersama dengan mengusap kepala dan ini merupakan pendapat jumhur.” (Nailul Authar, 1/231)
At-Tirmidzi berkata, “Yang diamalkan di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi dan orang-orang setelah mereka adalah dua telinga tersebut bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dipegangi Sufyan, Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/28)
Demikian pula pendapat ‘Atha, Sa’id ibnul Musayyib, al-Hasan, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, an-Nakha’i, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, Malik bin Anas, Qatadah, an-Nu’man, dan pengikutnya, rahimahumullah. (al-Ausath, 1/402)
Yang diusap dari telinga ini adalah bagian luar dan dalamnya4, tanpa mengambil air baru namun cukup air sisa mengusap kepala. (Zadul Ma‘ad, 1/49, al-Ausath, 1/404, Subulus Salam, 1/75)
Adapun hukum mengusap telinga itu sendiri diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok sahabat dan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum mengusap kepala, dengan dalil hadits yang telah disebutkan di atas, “Dua telinga termasuk bagian dari kepala.” Inilah pendapat yang rajih (kuat).
Sementara jumhur ulama berpendapat mengusap telinga hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. (al-Ausath, 1/400—403)
Mengusap Kepala dengan Air Baru

Al-Imam at-Tirmidzi t dalam Sunan-nya membawakan bab “Keterangan yang datang dari Nabi bahwasanya beliau mengambil air baru untuk mengusap kepalanya”, dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Zaid:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيُّ n تَوَضَّأَ، وَأَنَّهُ مَسَحَ رَأْسَهُ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدَيْهِ
“Ia pernah melihat Nabi n berwudhu dan beliau mengusap kepalanya bukan dengan air sisa yang ada pada kedua tangannya.”
Kemudian al-Imam at-Tirmidzi t menyatakan, “Mayoritas ahlul ilmi mengamalkan hadits ini, mereka berpandangan untuk mengambil air baru ketika mengusap kepala.” (Sunan Tirmidzi, 1/26—27)
Inilah pendapat yang rajih dari kalangan ahlul ilmi, insya Allah.
Adapun pendapat yang membolehkan mengusap kepala dengan air sisa yang ada pada kedua lengan dengan berpegang dengan hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz —bahwasanya Nabi mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada pada kedua lengannya–, merupakan pendapat yang lemah. Karena, hadits yang dijadikan dalil tersebut pada matannya ada kegoncangan (idhthirab), di mana periwayatan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 384) dari Syarik, dari Ibnu ‘Aqil, dari ar-Rubayyi’, menyelisihi matan yang ada dengan pernyataan Rasulullah mengambil air baru kemudian beliau mengusap kepalanya. Juga di dalam sanad hadits ini ada Ibnu ‘Aqil yang dia itu dibicarakan oleh para imam seperti al-Imam Ahmad. Al-Imam Ahmad mengatakan, “Ibnu ‘Aqil ini munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya).” Bisa kita lihat pembicaraan hadits ini dalam ‘Aunul Ma’bud (1/150—151) dan Tuhfatul Ahwadzi (1/115—117).
Ibnul Mundzir t setelah membawakan perselisihan yang ada, menyatakan, “Yang aku senangi bila seseorang ingin mengusap kepalanya, hendaklah ia mengambil air baru. Namun bila hal itu tidak ia lakukan dan ia mengusap kepalanya dengan air yang masih ada di tangannya dari sisa mencuci lengan, maka aku berharap hal tersebut mencukupinya.” (al-Ausath, 1/392)
Wallahu ta’ala a’lam.

1 Adapun riwayat lain, beliau berpendapat sunnah dan ini yang zhahir (tampak) dari pendapat beliau, kata Ibnu Qudamah t dalam al-Mughni (1/73).
2 Lafadz ‘dalam segala keadaan” pada hadits ini umum, namun dikecualikan pada beberapa perkara, seperti masuk WC, keluar masjid, dan semisalnya dimulai dengan yang kiri. (Fathul Bari, 1/339)
3 Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali z yang disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i hadits no. 89.



Hukum Fidyah dan Penjelasan Lengkapnya


Bismillah

catatanmms148

1. Bagi Siapa Fidyah itu ?

Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya (yang ditinggalkan, red) seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) “Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa, hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin”. (QS Al Baqarah 184).


Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu

Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh (sudah dihapuskan hukumnya, red) berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa Radiyallahu ‘anhu, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari atas seorang miskin. (HR Bukhari 8/135).

Oleh karena itulah Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu dianggap menyelisihi jumhur shahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan) : “Diberi rukhsah (keringanan, red) bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa, hendaknya memberi makan seorang yang miskin dan tidak ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).

Telah sahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud (381), Al Baihaqi (4/230), Abu Daud (2318) sanadnya shahih).

Sebagian orang ada yang melihat zhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh (dalil yang menghapuskan, red), hingga mereka menyangka Hibrul Ummah (Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan!!!.

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al Baqarah 185) Mansukh

Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena salafush shalih Radiyallahu ‘anhu menggunakan kata ‘naskh’ untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak, zhahir dan selainnya, adapun mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya, sehingga mereka menamakan istitsna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai ‘naskh’. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan zhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa Arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al Muwafaqat (3/118) karya Asy Syathibi).

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang Arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilah (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan salafus shalih dengan pengertian yang baru, yang mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i mutakahirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum

Yang menguatkan hal ini, ayat diatas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang biasa berpuasa, atau tidak biasa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Salamah bin al Akwa Radiyallahu ‘anhu : “Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, barangsiapa yang mau berpuasa, maka berpuasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat (yang artinya) : “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan –ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al Baqarah 185).

Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhshah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itusendiri. Jika rukhshah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja, kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan (ditolak, red) itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?

Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, hukum pertama mansukh dengan dalil al Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari Sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari Kiamat.

Yang menguatkan akan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui juka khawatir akan keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya.”

Dan yang menambah jelas lagi hadits Mu’adz bin Jabal Radiyallahu ‘anhu : “Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam saat datang ke Madinah, menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura’, sampai kemudian Allah mewajibkan puasa (Ramadhan) turunlah ayat : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS Al Baqarah 183).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat : (yang artinya) “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al Qur’an…” (QS Al Baqarah 185).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukim dan sehat, serta memberi keringanan (rukhshah) bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya…” (HR Abu Daud dalam Sunannya (507), Al Baihaqi dalam sunannya (4/200), Ahmad dalam Musnad (5/246-247) dan sanadnya shahih.

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa Radhiyallahu ‘anhu dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : “itu mansukh”, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman shahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahli ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh al Qurthubi dalam tafsirnya. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/288).

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz hanya ijtihad ?

Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim, apa yang telah tsabit (tetap penyebutannya) dari Ibnu Abbas dan Mu’adz hanyalah semata-mata pendapat, ijtihad dan pengkabaran, sehingga tidak bisa naik ke tingkatan hadits marfu’ yang bisa mengkhususkan perkara yang sifatnya umum dalam al Qur’an, membatasi yang mutlak dan menafsirkan yang global, maka jawabannya adalah sebagai berikut :

a. Dua hadist ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan RasulNya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua sahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya al Qur’an, mengabarkan ayat Al Qur’an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits yang musnad. (Lihat Tadribur Rawi (1/192-193) karya Imam Suyuthi, ‘Ulumul Hadits (24) karya Ibnu Shalah).

b. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, darimana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari Sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh (sudah dibatalkan, red).

Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatrkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (Al Baihaqi dalam as Sunan (4/230) dari jalan Imam Syafi’I, sanadnya shahih).

Daruquthni meriwayatkan (1/207) dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, beliau (Ibnu Umar) berkata : “Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha’.” Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha’, sanadnya jayyid”. Dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

c. Tidak ada sahabat yang menentang Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu. (Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (3/21)).

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya

Keterangan ini menjelaskan makna : “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui”, yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya”, dia bayar fidyah tidak mengqadha’.”

7. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib mengqadha’

Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena al Qur’an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir : (yang artinya) “Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah 184).

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firmanNya : (yang artinya) “Dan wajib orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) : memberi makan seorang miskin.” (QS Al Baqarah 184).

Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat itu, bahwa ayat ini adalah khusus untuk mereka.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab “Fidyah”. Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia

Dikutip dari: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=756, Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Judul: Siapa yang layak membayar fidyah secara syar’i ?

Fidyah & yang terkait dengannya

Diantara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (البقرة: ١٨٤

‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]

a. Pihak – Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah

1. Orang yang sudah lanjut usia.

Orang yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, :

ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.

Shahabat Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata : “Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum (pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505]

2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya

Seorang yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau juga berkata tentang ayat di atas :

لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى

“Tidaklah diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. [An-Nasa`i] [1])

3. Wanita hamil dan menyusui.

Para ‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa beliau jilid 1 hal. 497-498.

Sedangkan permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :

Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya. Dalil Pendapat Pertama ini adalah :

1. Firman Allah subhanahu wata’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا . البقرة: ١٨٤

“…Barang siapa dalam kondisi sakit …”

Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.

2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه الخمسة)

“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad].([2])

Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah subhanahu wata’ala mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir.

Pendapat ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Bin Baz [3]), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin [4]), dan Al-Lajnah Ad-Da`imah [5])

Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, wajib atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.

Di antara dalil mereka yaitu :

1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]

“Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud] [6])

2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :

إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا

(Ibnu Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai berkata : kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qodho’ bagi keduanya. [Ath-Thabari] [7])

Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

“Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari] [8])

Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).

3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :

الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي

“Wanita hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”

Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. [9])

Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya.

Namun apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.

Di antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147. [10])

Dari tiga pendapat di atas, kami lebih meyakini pendapat kedua sebagai pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pendapat ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh dua shahabat terkemuka, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai turjuman dan mufassir Al-Qur`an, dan ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma , wallahu ta’ala a’lam.

[1] HR. An-Nasa`i no. 2317. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni (2404) dengan lafazh :

وَلاَ يُرَخَّصُ إِلاَّ لِلْكَبِيرِ الَّذِى لاَ يُطِيقُ الصَّوْمَ أَوْ مَرِيضٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُشْفَى.

“Tidaklah dizinkan (untuk membayar fidyah dalam ayat tersebut) kecuali untuk orang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu bershaum atau seorang yang sakit dalam keadaan dia tahu bahwa penyakitnya sulit disembuhkan.”

Atsar tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh dalam Al-Irwa` IV/17

[2] Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shohih Sunan Abu Daud no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush Shohih jilid 2 hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan.

[3] Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam hal. 171

[4] Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin

[5] Fatawa Al-Lajnah no. 1453.

[6] HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` no. 912.

[7] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.

[8] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.

[9] Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17 – 25.

[10] Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 – 326.

Sumber dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=256 judul asli Fidyah Dan Berbagai Hukum Yang Terkait Dengannya, Dinukil dari http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1356 Judul: Fidyah & yang terkait dengannya