Minggu, 15 Februari 2015

Fiqih Tentang Masalah Wanita

Bismillah
Darah Wanita
Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mendapatkan haid atau nifas.
Saudariku muslimah…
Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Butuh untuk diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta`ala. Kita lihat kenyataan yang ada banyak wanita buta terhadap permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini. Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba menerangkan kepada pembaca seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin… ! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat… !
Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berjudul “Risalah fid Dima Ath Thabi`iyyah Lin Nisa’ disertai dengan tambahan dari sumber yang lain .
Saudariku Muslimah…
Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Illahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi menahan dia dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.
Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk yang awal, kami akan menyinggung masalah haid.
Haid
Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar`i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a`lam”.
Pendapat Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur .
Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid“. Pendapat ini yang dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, Allah Ta`ala berfirman :
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci dari haid“. (Al Baqarah: 222)
Dalam ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama waktunya.
Kedua, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang haid saat ia sedang melakukan ibadah haji :
Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada tidaknya darah.
Ketiga, batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu untuk diterangkan bila memang harus ada pembatasan.
Keempat, banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan maka darah itu adalah darah istihadhah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadhah“.
Haidnya Wanita Hamil
Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapatnya Imam Malik , Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Kejadian Haid
Ada beberapa macam kejadian haid.
Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari haidnya berhenti.
Kedua, terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”. (HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab “Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid”.)
Keempat, keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah (ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.
Hukum-Hukum Haid
Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:
Shalat dan Puasa
Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :
Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan setengah agamanya“. (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)
Adapun puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha, ketika ada yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadla shalatnya bila telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat“. (HR. Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“. (HR. Muslim no. 69)
Thawaf di Baitullah
Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang melakukan amalan haji :
Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Adapun amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.
Jima’ (bersetubuh)
Diharamkan bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah ta`ala berfirman:
“…maka jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka suci“. (Al Baqarah: 222)
Selain jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)“. (HR. Abu Daud no. 2165, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no. hadits 1897)
Talak
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah ta`ala:
Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. ( Ath Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya”. (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):
Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya `iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah ta`ala berfirman :
Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya“. (Ath Thalaq: 4)
Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu`.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.
Masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya
Perhitungan masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :
Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” ( Al Baqarah: 228)
Mandi Haid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu’anha :
Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu mandilah dan shalatlah“. (HR. Bukhari no. 325)
Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda :
Ambillah secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut“. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)
Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur. Wallahu a`lam bishawwab. Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami persembahkan untukmu Muslimah….!
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis : Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah Judul: Darah Wanita


Najis, Mudah Dijumpai Jarang Dikenali

Bismillah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)
Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah I. Contoh yang paling mudah, ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini –walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci–. Terkadang sesuatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Di waktu lain, sesuatu yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah I, kita akan mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri z. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah r  pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Selesai shalat, beliau r mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau r ada kotoran, dan beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Al-Imam Ahmad dan berkata Asy-Syaikh Muqbil t tentang hadits ini dalam karya beliau Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih Al-Bukhari)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah r:
“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun sedikit– disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia –baik banyak ataupun sedikit– adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim. Sedangkan apa yang berasal dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 223) dan Al-Imam Muslim (no. 287):
“Ummu Qais bintu Mihshan Al-Asadiyyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah r, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafadz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut)”
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air pada tempat yang terkena sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan –baik yang dimakan dagingnya maupun tidak– adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat dari Anas bin Malik z yang menerangkan bahwa Rasulullah r  memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah)  datang menemui Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Rasulullah r pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi r dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.”
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 269) dan Al-Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumullah dari hadits ‘Ali z ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah r. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Ibnu Daqiqil ‘Id t mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah r memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim.
3. Wadiy
Wadiy adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hukum wadiy sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Al-Imam An-Nawawi t di dalam kitab Al-Majmu’ menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadiy itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadiy.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita. Namun masih ada dari mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara hal ini sangat penting bagi mereka.
Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr x. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah r. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah r bersabda, “Apabila darah haidh mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya. Kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t di dalam Subulus Salam -setelah membawakan hadits di atas-: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Al-Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haidh.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’.
Rasulullah r bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi r:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah I:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut…” (Al-Maidah: 96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas c tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan () adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan () adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah r bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih, HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah, 1/480)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits:
“Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3320)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak. Sedangkan Nabi r memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya.” (Subulus Salam)
Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu a‘lam bish-shawab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat (benda-benda yang najis) agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah I.
Wallahu a’lam.

http://asysyariah.com/najis-mudah-dijumpai-jarang-dikenali/