Senin, 09 Desember 2013

Musik = Suara Setan



Bismillah

Membersihkan rumah dari suara setan
Allah berfirman dalam kalam-Nya yang agung:
"Hasunglah siapa yang engkau sanggupi dari kalangan mereka dengan suaramu." 
(Al-Isra: 64)
Mujahid menerangkan, suara setan adalah laghwi (ucapan sia-sia/main-main) dan nyanyian/lagu.
(Tafsir Ath-Thabari, 8/108)
Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al-Asy’ari, mengingatkan kita bahwa nyanyian, musik berikut alatnya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik berkata: Rasulullah bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِن أُمَّتِي أَقوَامٌ يَستَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُم، يَأتِيهِم– يَعنِي الفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَينَا غَدًا. فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ أَخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ
"Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya, Allah Azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau diguncang dengan sekuat-kuatnya. Sementara yang selamat dari mereka, Allah ubah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat." 
(HR. Al-Bukhari no. 5590)
Musik dan lagu merupakan perkara yang jelas keharamannya (Lihat pembahasan lebih detail tentang musik dan lagu dalam rubrik Kajian Utama Majalah Asy-Syariah edisi 40.).
Allah mengingatkan:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan.”
(Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas c dan Abdullah bin Mas’ud, juga pendapat Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah merahmati mereka– ayat ini turun berkenaan dengan musik dan nyanyian.
(lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani t, hal. 142-144)
Abdullah bin Mas’ud sampai mengatakan,
“Musik/nyanyian akan menumbuhsuburkan kemunafikan di dalam qalbu.”(Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10)
Al-Imam Malik ketika ditanya tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian, beliau menjawab, "Sungguh menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang fasik."
(Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244 dengan sanad yang shahih)
Al-Imam Ath-Thabari berkata, "Telah sepakat ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian." (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita haramnya nyanyian sebagai suara setan. Maka bila dalam sebuah rumah selalu disenandungkan lagu-lagu dan diputar musik, niscaya setan akan menempati rumah tersebut. Setan ini tentunya tidak sendiri. Ia akan memanggil bala tentaranya dari segala penjuru, lalu mereka menebarkan kerusakan dalam rumah tersebut serta membuat perselisihan serta perpecahan, kemarahan, dan kebencian di antara anggota-anggotanya. Karenanya, janganlah kita menjadikan rumah kita sebagai sarang setan, tempat mereka beranak-pinak.

Hukum Seputar Musik



Bismillah


Fatwa Tentang Nyanyian
Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (seorang ulama)
Pertanyaan:
Kepada Yang Mulia Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi dan Ketua Lembaga Ulama Besar serta Komisi Tetap Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
Yang terhormat Syaikh Abdull Aziz bin Baz Rahimahullah
Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh.
Apakah hukum nyanyian, haramkah atau tidak? Meskipun dalam kenyataan saya mendengarkannya dengan maksud hanya untuk hiburan? Dan apakah hukum memainkan alat musik biola dengan nyanyian-nyanyian klasik? Apakah membunyikan genderang dalam pernikahan diharamkan? Namun saya mendengar bahwa hal tersebut halal ataukah bagaimana hukumnya saya tidak mengerti. Semoga Allah memberikan ganjaran serta mengarahkan langkah anda sekalian ke jalan yang benar. 
Jawab:
Sesungguhnya mendengarkan nyanyian adalah haram dan mungkar, serta merupakan penyakit hati dan menyebabkan mengerasnya hati, juga menghalangi dari berdzikir kepada Allah dan shalat. Kebanyakan ahli ilmu telah menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan di antara manusia ada orang yang menjual perkataan yang tidak berguna ” (Luqman:6)
“Lahwa Al_Hadits” (perkataan yang tidak berguna) ditafsirkan dengan “nyanyian”.
Dan Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu Anhu bersumpah bahwasanya yang dimaksudkan “Lahwa Al-Hadits” adalah “nyanyian”. Dan apabila bersama nyanyian tersebut dimainkan alat musik seperti rebana, mandolin, biola dan genderang maka menjadi bertambah sangat keharamannya.
Sebagian ulama menyatakan bahwa nyanyian dengan alat musik diharamkan sama sekali. Maka kewajiban kita memperingatkan hal tersebut dan hal ini benar karena Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya (yang artinya): ”Sungguh akan ada beberapa kaum dari ummatku yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan bunyi-bunyian yang merdu (musik dan nyanyian)” (hadits shahih riwayat Bukhari dan Abu Dawud)
Saya mewasiatkan kepada anda serta semuanya untuk mengalihkan kesibukan dengan kegiatan yang bermanfaat sebagai ganti mendengarkan nyanyian dan musik.
Adapun pernikahan, maka disyariatkan padanya untuk membunyikan rebana dengan nyanyian yang biasa digunakan, yaitu nyanyian yang di dalamnya tidak ada ajakan kepada perbuatan yang haram dan tidak ada pula pujian yang diharamkan. Pada waktu malam pengantin, khusus bagi wanita untuk mengumumkan pernikahan serta untuk membedakan antara pernikahan dengan perzinaan, sebagaimana dibenarkan melakukannya di dalam sunnah Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Adapaun gendang dalam pesta pernikahan tidak diperbolehkan, akan tetapi cukup hanya dengan rebana. Dan tidak boleh menggunakan pengeras suara dalam mengumumkan nikah. Adapun yang disebut dalam nyanyian-nyanyian yang biasa digunakan dalam pernikahan, yaitu: nyanyian yang tidak mengandung fitnah dan akibat yang buruk serta tidak menyakiti muslimin. Juga tidak boleh memperpanjang waktu, tetapi cukup dengan waktu singkat yang telah dapat mencapai maksud pengumuman nikah. Karena memperpanjang waktu akan menyebabkan hilangnya shalat fajr yaitu tidak bisa menunaikan pada waktunya karena tidur. Dan itu merupakan perbuatan haram yang sangat besar dan merupakan perbuatan orang-orang munafik.
Diambil dari kitab “Fatawa Hammah wa Risalah fii sifati Sholatin Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam”
oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
sumber: majalah dinding AL-ILMU
Majelis Ta’lim Salafy STT Telkom Bandung

Rabu, 04 Desember 2013

Mau Tahu Hukumnya Nonton Televisi ? Baca yaa ..



Tanya:
Apa Hukum Televisi?

Jawab:
Tidak diragukan, bahwa keberadaan televisi dewasa ini hukumnya haram. Meskipun sebenarnya televisi, demikian juga radio, alat perekam, atau alat semacamnya merupakan bagian-bagian dari nikmat Allah Suhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 34: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya.”
Sebagaimana kita ketahui, pendengaran, penglihatan ataupun lidah adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai nikmat untuk hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, kebanyakan nikmat ini menjadi adzab atas orang yang memilikinya. Sebab mereka tidak menggunakannya di jalan yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara itu, televisi, radio, alat perekam dan sejenisnya dikatakan sebagai nikmat, kapan hal itu terjadi ? Jawabnya, pada saat mempunyai nilai manfaat untuk umat.
Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyanyian haram, ataupun perbuatan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya. Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya. Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan.
Jika telah terdapat Daulah Islamiyah, dan dapat menerapkan kurikulum ilmiah yang berfaedah bagi umat, maka berkaitan dengan televisi untuk saat itu; saya tidak hanya mengatakan boleh (jaiz) tetapi wajib hukumnya.
(Dinukil dari al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40, Edisi Indonesia “25 fatwa”, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah terbitan Semarang, 1995)

Tanya : Wanita Muslimah Zaman Sekarang Banyak Menghabiskan Bulan Ramadhan Dengan Begadang Di Depan Televisi Atau Video Atau Siaran Dari Parabola Atau Berjalan Di Pasar-Pasar Dan Tidur, Apa Saran Anda Kepada Wanita Muslimah Ini ?

Jawab :
Yang disyari’atkan bagi kaum Musimin baik pria mupun wanita adalah menghormati bulan Ramadhan, dengan menyibukkan dirinya pada perbuatan-perbuatan ketaatan serta menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat dan pekerjaan buruk lainnya di setiap waktu, lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan karena kemuliaan Ramadhan. Begadang untuk menonton film atau sinetron yang ditayangkan televisi atau video atau lewat parabola atau mendengarkan musik dan lagu (saat ini media berkembang, VCD, DVD, IPod, MP3 player, via HP, red), semua perbuatan itu adalah haram dan merupakan perbuatan maksiat, baik di bulan Ramadhan ataupun bukan. Dan jika perbuatan itu dilakukan di bulan Ramadhan maka dosanya akan lebih besar.
Kemudian jika begadang yang diharamkan ini ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban dan meninggalkan shalat karena tidur di siang hari, maka ini adalah perbuatan maksiat lainnya. Begitulah watak perbuatan maksiat, saling dukung mendukung, jika suatu perbuatan maksiat dilakukan maka akan menimbulkan perbuatan maksiat lainnya, begitu seterusnya.
Haram hukumnya wanita pergi ke pasar-pasar kecuali untuk keperluan yang mendesak. Keluarnya wanita harus sebatas keperluan dengan syarat ia harus menutup aurat serta menjauhkan diri dari bercampur dengan kaum pria atau berbicara dengan mereka kecuali sebatas keperluan hingga tidak menimbulkan fitnah. Dan hendaknya ia jangan terlalu lama keluar rumah hingga melalaikan shalatnya karena keburu tidur ketika sampai di rumah, atau menyia-nyiakan hak-hak suami dan anak-anaknya. [Majmu 'Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baaz]

Tanya : Bagaimana Hukumnya Sandiwara (Sinetron, Film, Red) ?

Jawab : Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,’Telah bersabda Rasulullah, “Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. ” [Dikeluarkan Imam At Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya]
Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda :
“Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”[Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315).]
Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata, ‘Dan sungguh Ibnu Mas’ud berkata,
“Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda.”
Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar’i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[Majmu Fatawa(32/256)]
(Dinukil dari Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah hal 84-93, Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
=================================================================================
silahkan dibaca juga:
Film & sandiwara, bai’at adalah sarana dakwah bid’ah
http://www.salafy.or.id/2004/10/13/film-sandiwara-baiat-adalah-sarana-dakwah-bidah/
Film & sandiwara, nyanyian adalah sarana dakwah bid’ah (2)http://www.salafy.or.id/2004/10/13/film-sandiwara-baiat-adalah-sarana-dakwah-bidah/
http://www.salafy.or.id/2004/10/13/film-sandiwara-nyanyian-adalah-sarana-dakwah-bidah-2/
Film & sandiwara, nyanyian adalah sarana dakwah bid’ah (3)
http://www.salafy.or.id/2004/10/13/film-sandiwara-nyanyian-adalah-sarana-dakwah-bidah-3/

Hak-Hak Istri Atas Suaminya

Catatanmms 15

HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMINYA
(Bagian 3)

 Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah Ta’ala berkata di dalam kitabnya Manhajus Salikin:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berbuat baiklah kalian kepada istri.”
[Muttafaqun 'alaihi] 

 Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala menjelaskan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berbuat baiklah kalian kepada istri. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tapi jika dibiarkan, akan selalu bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah (berlemah-lembutlah) kalian kepada istri.”
[Bukhari dan Muslim]

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian agar para suami sadar dan mau menerima keadaan yang sebenarnya dari seorang wanita.

Wanita adalah makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.

Sifat itu akan selalu ada pada mereka kecuali yang dirahmati Allah Ta’ala.

Silakan suami bersenang-senang dengannya, mendapatkan berbagai maslahat, dan bergaul bersamanya; tapi bersamaan dengan itu semua, sadarlah bahwa pada diri istrimu ada kebengkokan.

Akan tetapi, kenyataan yang ada janganlah dijadikan sebagai alasan untuk suami membiarkannya dalam kebengkokan, dan tidak berusaha untuk memperbaikinya.

Tidak, tidak seperti itu. Upaya perbaikan ini babnya lain, dan sangat luas.

 Wahai suami,
Di antara hak istri atas suami adalah mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang baik dari suaminya.

Engkau bimbing dia, engkau ajak dia kepada yang ma’ruf, dan engkau cegah dia dari perkara yang mungkar.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
[at-Tahrim: 6]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
[Thaha: 132]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Dan beliau (Nabi Ismail ‘alaihis salam) memerintahkan keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan beliau adalah seorang yang diridhai di sisi Rabb-Nya.”
[Maryam: 55]

Maka, wajib atas suami untuk menjalankan tanggung jawabnya kepada istri.

 Hendaknya suami selalu membantu istrinya agar tetap istiqamah di atas agama-Nya, dan semangat dalam mempelajari ilmu agama.

 Hendaknya pula, suami memerintahkan istrinya untuk menjalankan perkara yang ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan mungkar.

Dengan upaya itulah, engkau akan mendapatkan pahala.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para istri beliau.

Beliau melakukan shalat malam. Ketika sudah mendekati waktu fajar, beliau membangunkan Aisyah seraya berkata, “Bangunlah engkau, dan shalatlah witir.”

Pernah suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari, lalu beliau berkata, “Subhanallah, apa yang telah diturunkan pada malam ini berupa fitnah-fitnah, dan apa yang diturunkan-Nya berupa perbendaharaan dunia.
Siapa yang mau membangunkan mereka yang ada di kamar-kamar ini (istri-istri beliau)?
Duhai, betapa banyak orang yang berpakaian di dunia, tapi telanjang di akhirat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Semoga Allah merahmati sang suami, dia bangun di malam hari untuk shalat malam, lalu dia pun membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan/malas-malasan, sang suami memerciki wajahnya dengan air. Dan semoga Allah merahmati istri. Dia bangun di waktu malam untuk shalat malam, lalu dia pun membangunkan suaminya. Jika enggan/malas bangun, istri pun memerciki wajahnya dengan air.”

 Hendaknya suami memerintahkan istri agar berpegang teguh dengan agama Islam, istiqamah di atas agama, dan menjauhkannya dari perbuatan mungkar, seperti: meninggalkan shalat, mendengarkan musik, menggambar makhluk hidup, tabarruj, dll.

 Hendaknya suami berusaha menjaga kehormatannya, dan kemuliaannya, serta membantunya dalam menjalankan ketaatan kepada Rabb-Nya.

Itulah hak-hak istri atas suami.

 Hendaknya pula, suami berakhlak yang baik bersamanya.
Apabila suatu saat istrinya ditimpa sakit, suami pun berusaha untuk mengobatinya.

Tentunya semua itu disesuaikan dengan kemampuannya.
Jika memang ternyata dia tidak mampu, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Terkadang, seorang istri ditimpa dengan penyakit yang menelan biaya jutaan.
Maka, termasuk mempergauli istri dengan baik, dalam kondisi seperti itu, sang suami tidak meninggalkannya, atau bahkan menceraikannya, agar bisa lari dari beban biaya pengobatan yang besar.

Jangan, jangan seperti itu, wahai suami.
Yang benar adalah suami berusaha untuk membiayai pengobatan istrinya, walaupun mungkin dengan bantuan para muhsinin/ahlul khair, atau dengan berhutang.
Meskipun hal itu (berhutang), tidak wajib baginya.
Akan tetapi, jika dia mampu, ini termasuk bab mempergauli istri dengan baik.

Karena, bab tentang hak-hak suami istri sangatlah luas.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),
” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
[al-Baqarah: 228]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.”
[an-Nisa: 19]

Wallahu a’lam bish shawab
Bersambung, insya Allah.

Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.

Faidah dari Ustadz Abu Umar Ibrohim Fiyuz Yaman

Forward dari WhatsApp SalafyIndonesia

******

🌼🌼🌼 HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI 🌼🌼🌼
(Bagian 1)

★ Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, "Wajib atas suami untuk menafkahi dan memberi pakaian kepada istri."

 Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny menjelaskan:

 Di antara hak istri atas suaminya adalah dinafkahi dan diberi pakaian dengan cara yang baik.

Sebagaimana suami memiliki hak atas istrinya, demikian pula istri memiliki hak atas suaminya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
[an-Nisa: 34]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.”
[an-Nisa: 19]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya),
” Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang baik.”
[al-Baqarah: 228]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
” Sesungguhnya istrimu memiliki hak atasmu.”
[Muttafaqun 'alaih]

Jadi, wanita memiliki hak atas suaminya sebagaimana suami juga memiliki hak atas istrinya.


 Di antara hak istri atas suami adalah nafkah.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.”
[al-Baqarah: 233]

Perintah ini ditujukan untuk suami.
Jadi, wajib atas suami untuk menafkahi istrinya dan memberi pakaian kepadanya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah al-Qusyairi, beliau berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah, "Apa hak istri atas kita?"
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Engkau memberinya makan, jika engkau makan; dan engkau memberinya pakaian, jika engkau berpakaian; janganlah engkau memukul wajah, mencelanya, dan memboikot istri kecuali di rumah."

Inilah hak istri atas suami.

Maka, wajib atas suami untuk menafkahi istrinya dengan cara yang baik.
Dan termasuk dari nafkah adalah pakaian.

Bagi para istri,
Janganlah engkau menyusahkan suamimu (dengan berbagai tuntutanmu).
Hendaklah engkau bersabar atas kefakiran dan sedikitnya harta suamimu.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya."
[ath-Thalaq: 7]

Barang siapa yang diluaskan rezekinya oleh Allah, hendaknya dia berbuat baik kepada istri dan anak2nya serta menyenangkan mereka, karena hal ini termasuk mempergauli mereka dengan cara yang baik.

(Asy-Syaikh Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir terhadap ayat di atas,
“Hendaklah orang yang kaya (mampu), menafkahi (istrinya) dari kekayaannya, dan janganlah dia menafkahi istrinya seperti nafkah yang diberikan oleh orang yang fakir-pen).

Akan tetapi, tentunya nafkah yang diberikan itu tidak berlebih-lebihan, boros, menghambur-hamburkan harta, dan tidak merusak/menimbulkan dampak yang buruk bagi mereka.

Karena, terkadang dengan banyaknya nafkah, harta, dan pemberian, hal itu justru tidak baik dan merusak mereka.

Wallahu a’lam bish shawab.
Bersambung, insya Allah.

Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.

Faidah dari Al Ustadz Abu Umar Ibrohim Fiyuz Yaman
*******




HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI
(Bagian 2)

★Asy-Syaikh as-Sa’di★ berkata,
” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.’”
[an-Nisa: 19]


 Di antara hak istri atas suami adalah mendapatkan hak di ranjang (jimak).


Telah lewat pada penjelasan yang lalu bahwa di antara tujuan pernikahan adalah menjaga kehormatan dengan melakukan perkara yang dihalalkan oleh Allah atas suami istri, yaitu jimak.

Hendaklah suami memerhatikan dan menunaikan hak istri pada sisi ini.
Janganlah sang suami sampai menelantarkan dan meninggalkan istri pada sisi ini, sehingga istri tidak mendapatkan haknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا: يَا رَسُولَ الله أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهِ وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أجر

” Dan pada hubungan jimak kalian juga sedekah.
Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah seseorang yang melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala?"
Beliau menjawab, “Bukankah kalau dia melampiaskannya pada yang haram, dia berdosa?
Maka begitulah, jika dia melampiaskannya pada yang halal, dia pun mendapatkan pahala.”
[Muslim]


 Di antara hak istri atas suami sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ

“Berbuat baiklah kepada wanita. Sesungguhnya istrimu ibarat tawanan di sisimu.”

Perhatikan wahai para suami, camkan dan resapi maknanya!
Sesungguhnya istrimu itu ibarat tawanan di sisimu.
Maka, berbuat baiklah kepada tawananmu.
Suami adalah pemimpin.
Akan tetapi, hendaknya dia berlemah lembut terhadap istri.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauh dari sekelilingmu.”
[Ali Imran: 159]

Sekali lagi, suami hendaknya yang lembut terhadap istri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan untuk berlemah lembut terhadap tawanan, dan berbuat baik kepadanya, serta bersabar terhadap gangguan yang datang darinya dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau adalah sayyid bani Adam, sebaik-baik manusia.
Istri beliau adalah sebaik-baik wanita.
Tapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersabar ketika dijauhi oleh sebagian istrinya sehari penuh.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah). Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
[an-Nisa: 19]

Wahai suami,
Jika engkau tidak suka kepadanya, bersabarlah dan janganlah engkau terburu-buru menceraikannya!

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
[an-Nisa: 19]

Walaupun terkadang istri telah menyakiti hatimu, bersabarlah!
Jika engkau bersabar terhadapnya, semoga Allah memperbaiki istrimu di masa mendatang, dan menjadikannya qurrata a’yun (penyejuk hatimu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah sampai seorang mukmin (suami) membenci mukminah (istri); jika dia tidak suka kepada (beberapa) perangainya, pasti dia akan suka terhadap perangai yang lain.”
[Muslim]

Inilah timbangan bagi kalian!
Wahai suami, janganlah engkau meminta kesempurnaan pada istrimu.
Lihatlah di sekelilingmu!
Ternyata di antara laki2 saja, sedikit yang memiliki akhlak dan perangai yang sempurna.
Terkadang dia kelihatan baik, tapi lambat laun ternyata dia juga memiliki sifat yang jelek, walaupun itu jumlahnya satu, dua, tiga, atau empat.

Demikian pula halnya wanita. Apabila kesempurnaan jarang terdapat pada laki2, bagaimana mungkin engkau menuntut kesempurnaan pada wanita.

Lihatlah, terkadang wanita itu kurang bagus akhlaknya, tapi agamanya bagus.
Terkadang pula agamanya bagus, akan tetapi pemboros (kurang bisa mengelola keuangan dengan baik).
Terkadang dia cantik, tapi buruk perangainya.
Terkadang ada sifat buruk, tapi dia penyayang terhadapmu, anak2, dan orang tuamu.
Terkadang, terkadang, dan terkadang,…

Walhasil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah sampai seorang mukmin (suami) membenci mukminah (istri); jika dia tidak suka kepada (beberapa)perangainya, pasti dia akan suka terhadap perangai yang lain.”
[Muslim]

Sikap inshaf (adil), jujur, dan dewasa sangatlah diperlukan.
Hendaklah dia adil dan jujur terhadap dirinya.
Ketahuilah, sebagaimana engkau mengakui segala kekurangan yang ada pada dirimu, janganlah engkau menuntut kesempurnaan pada orang lain, terkhusus kepada wanita (istri).

Wallahu a’lam bish shawab.
Bersambung, insya Allah…

Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush.

Faidah dari Al Ustadz Abu Umar Ibrohim Fiyuz Yaman

Forward dari WhatsApp SalafyIndonesia