Minggu, 30 Juni 2013

Untuk Anda yang berjumpa Ramadhan

Wahai saudaraku ku tulis ini sebagai nasehat untukku dan untukmu tentang apa yang harus kita persiapkan atau kita lakukan bagi kita yang berjumpa di bulan Ramadhan ada beberapa pesan dan nasehat untuk kita semua dengan harapan kita melewati ramadhan ini lebih berarti.
Pesan pertama: Syukuri nikmat berjumpa dengan bulan Ramadhan
Diantara nikmat yang besar dimana Allah memberikan kesempatan kepada kita berjumpa di bulan ramadhan ini, bulan yang penuh berkah/kebaikan kesempatan kita untuk beramal, maka syukuri wahai para hamba Allah nikmat ini. Coba kita pikirkan siapa yang sudah tidak bersama kita lagi ada bulan ramadhan ini, namun Allah masih memanjangkan umur kita sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat kepada Allah dan beramal shalih. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya.” (an-Nahl:18)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Pergunakanlah yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sempitmu, dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hakim no 7846 – an-Nasa’i no 11832 dan dishahhihkan oleh syaikh Al-Albani di Shahih Al-Jami’ no 1077)
Wahai saudaraku siapa tahu ramadhan ini adalah ramadhan terakhir kita, bukankah ramadhan yang dulu ternyata ramadhan yang terakhir untuk si fulan atau si alan yang telah meninggal, atau belum tentu kalau kita berjumpa pada ramadhan yang akan datang kita dalam keadaan sehat, bisa menunaikan ibadah puasa, shalat terawih atau ibadah yang lainnya. Oleh karena itu perhatikanlah hal ini wahai saudaraku. Jangan engkau sia-siakan atau engkau biarkan ramadhan ini berlalu begitu saja.
Pesan kedua: Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya.
Marilah kita isi bulan ini dengan banyak beribadah kepada Allah, dengan melaksanakan puasa, shalat terawih, membaca al-Qur’an, memperbanyak shadaqah disamping ibadah-ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat:56)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan kerena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no 38 dan Muslim no 1817)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang mendirikan (shalat) malam pada bulan tramdhan kerena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no 37 dan Muslim no 1815)
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم َحرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an -ed) maka baginya satu kebaikkan, dan setiap satu kebaikkan dilipatgandakan sepuluh kali lipat kebaikkan yang sama dengannya, aku tidak mengatakan bahwa “alif lam min” satu huruf, akan tetapi “alif” satu huruf, “lam” satu huruf  dan mim “satu huruf” (HR. at-Tirmidzi no. 2910 dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam al-Miskaat : 2173 dari Abdullah bin Mas’ud)
Wahai
Pesan Ketiga: Ibadah tidak diterima oleh Allah kecuali dengan memenuhi dua syarat, ikhlas dan mutaba’ah (sesuai dengan apa yang dicontohkan/dituntukan oleh Rasulullah).
Tentu seorang muslim mengingikan ketika menjalankan perintah Allah sesuai dengan apa yang Allah inginkan, sehingga amalannya terhitung sebagai amalan shalih yang kelak menjadi pemberat timbangan amalan kebaikannya. Amalan shalih tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat.
Pertama : Ikhlas
Sesorang harus ikhlas dalam ibadahnya hanya mencari ridha Allah, mengharap pahala Allah.
Allah Subhanahu wata’aala berfirman:
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar : 3)
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Az-Zumar : 11)
Kedua : Mutaba’ah (sesuai dengan apa yang dicontohkan/dituntukan oleh Rasulullah).
Seseorang dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus sesuai dengan apa yang dicontohkan atau diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru didalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak termasuk didalamnya maka amalannya tertolak “ (HR. Bukhari no 2697 dan Muslim no 4589)
Pesan Keempat: Mengilmui Tatacara Ibadah yang Ingin Kita Lakukan
Agar amal ibadah kita sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya inginkan adalah dengan menuntut ilmu, belajar bagaimana taca cara shalat yang benar, tata cara puasa yang sesuai dengan Rasulullah dan ibadah lainnya. Berkata Asy-Syaikh Al ‘Allamah Shaleh Al Fauzan Hafidazhullah: “Demikanlah seharusnya seorang muslim untuk mempelajari hukum shaum (puasa), dan berbuka, waktu dan sifatnya. Sehingga dapat melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang disyariatkan, sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sehingga puasanya benar dan diterima disisi Allah, maka yang demikian itu (mempelajari puasa –pent) termasuk perkara yang penting sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ” (Ahdzab : 21) (Al Mulakhos Al Fiqhi : 306)
Pesan Kelima: Bersemangat Untuk Menganjurkan/Mengarahkan Kepada Kaum Muslimin kepada kebaikan.
Antusias dan semangat kaum muslimin untuk melakukan kebaikan, ibadah dan ketaatan kepada Allah secara umum meningkat di bulan ramadhan, maka dari itu gunakan kesempatan ini untuk mengarahkan atau menganjurkan kepada mereka perkara-perkara kebaikan. Ajak mereka ngaji di pengajian yang membahas permasalahan agama dengan pemahaman yang benar, dakwahin mereka dengan cara memberi buku atau majalah yang membahas tentang ilmu syar’i atau cara yang lainnya.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada pentunjuk (kebaikan –ed), maka dia selalu mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim no. 6980)
Pesan Keenam: Meninggalkan Perkara-Perkara atau Majelis-Majelis yang Tidak Bermanfaat.
Majelis-majelis ghibah, mengadu domba, permainan-permaian sia-sia seperti amin karambol, catur atau yang lainnya. Sungguh bulan ramadhan adalah bulan dimana kita harus meningkatkan amal ibadah serta ketaatan kita kepada Allah. Bukan malah melewatkan dengan perkara yang haram atau sia-sia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan jelek dan perbuatan jelek tidak ada kebutuhan Allah bagi hambanya untuk meninggalkan makan dan minum “ (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu)
Itulah diantara perkara yang penting untuk saya ingatkan untuk diri saya sendiri dan kaum muslimin. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan kaum muslimin untuk mengisi bulan ramadhan ini dengan berbagai  macam ibadah dan amalan kebaikan.
Abu Ibrahim Abdullah al-Jakarty

Senin, 24 Juni 2013

Bid’ah yang Sering Dilakukan Sebelum Berangkat dan Ketika Berhaji

BISMILLAHIRAHMANIRAHIM

Perjalanan suci menuju Baitullah membutuhkan bekal yang cukup. Disamping harta yang dengannya bisa sampai ke Baitullah, bekal ilmu pun sangat mutlak dibutuhkan. Dengan ilmu, seseorang akan terbimbing untuk melakukan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Lebih dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan kesalahan, sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan baginya kecuali al jannah.
Berangkat dari harapan inilah, pada edisi kali ini kami angkat perkara-perkara mungkar baik berupa bid’ah (hal-hal yang diada-adakan dalam agama) ataupun kesalahan-kesalahan haji yang dapat menghalangi seseorang untuk meraih predikat haji mabrur.
Diantara kemungkaran-kemungkaran itu adalah sebagai berikut :

Kemungkaran Sebelum Berangkat Haji

1. Mengadakan pesta (selamatan) sebelum berangkat haji dengan bacaan do’a-do’a ataupun shalawat, yang terkadang diiringi dengan pentas musik. Perbuatan ini tidak ada dasarnya sama sekali dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
2. Melantunkan adzan sebelum berangkat.
3. Mengharuskan ziarah kubur sanak famili dan orang-orang shalih.
4. Keyakinan masyarakat bahwa calon jama’ah haji diiringi Malaikat sepekan sebelum keberangkatannya, sehingga mereka pun berdatangan kepadanya untuk minta do’a.
5. Kepergian wanita ke Baitullah tanpa disertai mahram. Bahkan ada istilah ‘persaudaraan nisbi’, yaitu wanita yang dimahramkan saat berhaji dengan pria yang bukan mahramnya, sehingga keduanya dapat bermumalah seperti layaknya dengan mahram yang sebenarnya. Demikian pula ‘nikah nisbi’, yaitu dinikahkannya seorang wanita baik sudah bersuami atau belum dengan seorang lelaki yang akan berhaji, sehingga keduanya dapat bermumalah seperti layaknya suami istri. Ini adalah kemungkaran yang tidak diridhoi Allah.
6. Berhaji hanya dalam rangka ziarah ke kubur Nabi .
7. Sholat dua rakaat ketika akan berangkat haji

Kemungkaran Ketika Berihram Dan Bertalbiyah

1. Tidak berihram ketika melewati miqat. Hal ini banyak terjadi –khusus untuk jama’ah haji Indonesia– pada kloter yang langsung menuju Makkah. Mereka tidak berihram ketika melewati miqat (Yalamlam) dan baru berihram di Jeddah.
2. Bertalbiyah bersama yang dipimpin oleh seseorang diantara mereka.
3. Mengenakan pakaian ihram dengan membuka pundak kanan (yaitu pakaian atas bagian kanan diletakkan dibawah ketiak sedangkan yang kiri tetap diatas pundak kiri, semestinya hal ini khusus ketika thawaf saja).
4. Bacaan talbiyah diganti dengan tahlil dan takbir.

Kemungkaran Ketika Melakukan Thawaf

1. Mandi sebelum thawaf.
2. Melafadzkan niat thawaf.
3. Mengangkat tangan saat menyentuh Hajar Aswad seperti mengangkat tangan ketika sholat.
4. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad
5. Sholat Tahiyyatul Masjid sebelum thawaf.
6. Hanya mengeliling bangunan Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijr Isma’il.
7. Berjalan cepat (raml) pada seluruh putaran yang tujuh, padahal hal itu hanya dilakukan pada 3 putaran pertama dan itu pun khusus pada thawaf qudum saja.
8. Berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad sampai-sampai terjadi saling mencaci, bahkan sampai berkelahi.
9. Mengusap Hajar Aswad dalam rangka tabarruk (mengais berkah) dan meyakini bisa memberikan manfaat dan menolak bala’.
10. Mencium atau mengusap sebagian atau semua pojok Ka’bah –bahkan seluruh dindingnya–. Tidak jarang pula mereka menarik-narik kiswah (kain penutup Ka’bah), bahkan menyobeknya untuk dijadikan jimat.
11. Membaca do’a/dzikir khusus setiap kali putaran, padahal boleh baginya berdo’a dengan do’a apa saja yang ia senangi.
12. Bersedekap ketika thawaf.
13. Keyakinan bahwa siapa yang bisa menggapai dinding bagian atas dari pintu Ka’bah maka dia berhasil memegang Al ‘Urwatul Wutsqa, yaitu:
لا اله الاّ الله.
14. Berdesak-desakan untuk sholat di belakang maqom Ibrohim sehingga mengganggu jama’ah yang lainnya, padahal boleh baginya untuk sholat di belakang maqom Ibrohim walaupun agak jauh darinya, dan bila tidak memungkin boleh di bagian manapun dari masjid.
15. Lebih parah lagi bila sholatnya lebih dari 2 raka’at.
16. Berdo’a bersama seusai thawaf sambil berdiri dengan satu komando, tragisnya dengan suara keras sehingga mengganggu jama’ah yang lainnya.

KEMUNGKARAN KETIKA MELAKUKAN SA’I

1. Berwudhu’ terlebih dahulu untuk sa’i meski ia dalam keadaan suci.
2. Naik ke Bukit Shofa dan menyentuhkan badan ke dindingnya.
3. Ketika naik ke bukit Shofa dan Marwah menghadap ke Ka’bah kemudian bertakbir tiga kali sambil mengangkat tangan seperti dalam sholat.
4. Berlari-lari kecil antara Shofa dan Marwah, padahal menurut sunnah dilakukan diantara dua tanda hijau saja.
5. Sholat dua raka’at seusai sa’i.

KEMUNGKARAN KETIKA DI ARAFAH

1. Mandi untuk menyambut Hari Arafah.
2. Wuquf di Arafah pada tanggal 8 dalam rangka ihtiyath (hati-hati)
3. Melakukan wuquf di luar batas wilayah Arafah.
4. Menentukan dzikir atau do’a khusus yang tidak diajarkan oleh Rasulullah .
5. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
6. Keyakinan bahwa wuquf di Arafah pada Hari Jum’at merupakan haji akbar dan senilai dengan 72 kali haji.

KEMUNGKARAN KETIKA DI MUZDALIFAH

1. Tergesa-gesa saat beranjak dari Arafah menuju Muzdalifah.
2. Mandi untuk menginap di Muzdalifah.
3. Tidak segera melaksanakan sholat Maghrib saat tiba di Muzdalifah dan justru sibuk mengumpulkan kerikil.
4. Wuquf di Muzdalifah tanpa menginap.

KEMUNGKARAN SAAT MELEMPAR JUMRAH

1. Mandi sebelum melempar jumrah.
2. Mencuci kerikil dahulu sebelum dilemparkan.
3. Melempar jumrah bukan dengan kerikil tapi dengan batu besar, sepatu, atau yang lainnya.
4. Keyakinan bahwa melempar jumrah adalah dalam rangka melempari syaithan. Sehingga tidak jarang mereka lemparkan benda-benda lain, seperti sandal, payung, botol, dan yang lainnya, agar lebih menyakitkan bagi syaithan.
5. Berdesak-desakan, bahkan untuk dapat melempar ada yang menyakiti jama’ah haji lainnya.
6. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut secara sekaligus, semestinya satu persatu sambil diiringi takbir.
7. Mewakilkan pelemparan kepada orang lain, sedangkan ia mampu.

KEMUNGKARAN SAAT MENYEMBELIH DAN TAHALLUL

1. Mengganti hewan sembelihan dengan uang.
2. Menyembelih hewan qurban untuk haji tamattu’ di Makkah sebelum hari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah)
3. Menggundul dari sebelah kiri, atau menggunduli seperempat bagian kepala saja.
4. Berthawaf di seputar masjid yang ada di dekat tempat pelemparan jumrah.
5. Tidak melakukan sa’i setelah thawaf ifadhah dalam haji tamattu’.

I. KEMUNGKARAN KETIKA THAWAF WADA’

1. Meninggalkan Mina pada hari nafar (12 atau 13 Dzulhijjah) sebelum melempar jumrah dan langsung melakukan thawaf wada’ kemudian kembali ke Mina untuk melempar jumrah. Setelah itu mereka langsung pulang ke negara masing-masing. Padahal semestinya sebagai penutup dari seluruh manasik haji adalah thawaf wada’.
2. Berjalan mundur ketika selesai dari thawaf wada’ dengan anggapan sebagai tanda penghormatan terhadap Ka’bah.
3. Membaca do’a-do’a tertentu sebagai “ucapan selamat tinggal” terhadap Ka’bah.

J. KEMUNGKARAN KETIKA BERADA DI KOTA MADINAH

1. Sengaja meniatkan safar untuk menziarahi makam Rasulullah . Semestinya diniatkan untuk mendatangi Masjid Nabawi.
2. Menitipkan pesan melalui jama’ah haji dan para penziarah untuk disampaikan kepada Nabi. Lebih aneh lagi disertai foto/KTP yang bersangkutan.
3. Praktek-praktek kesyirikan yang dilakukan di kuburan Nabi, antara lain:
Sengaja sholat dengan menghadap kubur
Bertawasul atau minta syafa’at kepada beliau
Mengusap-usap dinding kuburan untuk ngalap berkah, dan tidak jarang disertai tangisan bahkan histeris.
Berdo’a atau meminta secara langsung kepada Rasulullah untuk mencukupi kebutuhannya seperti rizki, jodoh dan yang lainnya.
4. Meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi merupakan bagian dari manasik haji.
5. Keyakinan bahwa haji seseorang tidaklah sempurna tanpa menetap di Madinah selama 8 hari untuk sholat 40 waktu, yang diistilahkan dengan “arba’inan”. K. KEMUNGKARAN SETIBA DI KAMPUNG HALAMAN
1. Mempopulerkan gelar ’pak Haji’ atau ‘bu Haji’, sampai-sampai ada yang marah/tidak respon bila tidak dipanggil ‘Haji’.
2. Merayakannya dengan pesta-pesta sambil diiringi shalawat badar.
3. Meminta barakah kepada orang yang pulang haji, dengan keyakinan bahwa para malaikat mengelilinginya.

HADITS PALSU ATAU LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT

Dari Anas bin Malik ?, ia berkata: bahwasanya Rasulullah bersabda:
لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ العَذَابِ وَبَرِىءٌ مِنَ النِّفَاقِ مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاَةً لاَ يَفُوْتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ
“Barangsiapa yang sholat di masjidku (Masjid Nabawi) sebanyak empat puluh (40) sholat, tanpa ada satupun yang terlewati, maka ditetapkan baginya: bebas dari an naar, selamat dari adzab, dan terlepas dari nifaq. ” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani)
Keterangan:
Hadits ini munkar (lebih parah daripada dho’if atau lemah), karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Nabith, dan ia seorang yang tidak dikenal (majhul), serta menyelisihi seluruh perawi hadits Anas ? ini. (Lihat Silsilah Adh Dho’ifah no. 364 atau Silsilah Ash Shohihah, 6/318 karya Asy Syaikh Al Albani)

SERUAN UNTUK SELURUH KAUM MUSLIMIN


Hukum Meramaikan Perayaan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka (Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya–pen) dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka (diantaranya Natal dan Tahun Baru Masehi–pen). Tidak pula dalam bentuk makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh mengadakan pesta, atau memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main yang kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/tempat tertentu dalam rangka untuk menyemarakkan perayaan tersebut-pen). ”
(Majmu’ Fatawa 25/329).
Sumber Bacaan:
1. Mu’jamul Bida’ karya Asy Syaikh Raid bin Sabri bin Abi Alfah.
2. At Tahqiq wal Idhoh karya Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
3. Hajjatun Nabi karya As Syaikh Al Albani.
4. Manasikul Hajji wal Umroh karya As Syaikh Ibnu Utsaimin
5. Sifat Hajjatin Nabi karya As Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir karya Majmu’ah minal ‘ulama.
Sumber : Buletin Dakwahn Al Ilmu, Jember
assalafy. org sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Buletin Dakwah Al Ilmu, Jember

Selasa, 18 Juni 2013

Cara Mudah Memahami Fiqh Haji

Bismillahirahmanirahim


Ustadz Sofyan Chalid Ruray 

Memahami fiqh haji dalam waktu kurang lebih 1 menit dalam 6 poin berikut:
  1. Tanggal 8 Dzulhijjah: Melakukan ihram, pergi ke Mina sebelum zhuhur. Sholat zhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh di Mina (dengan mangqoshor sholat 4 raka’at menjadi dua raka’at tanpa dijama’), mabit (bermalam) di Mina.
  2. Tanggal 9 Dzulhijjah: Setelah terbit matahari pergi ke Arafah, sholat zhuhur dan ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor dengan satu adzan dan dua iqomah. Berdiam di Arafah sambil berdzikir dan doa sampai terbenam matahari. Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah untuk bermalam di sana. Lakukan sholat maghrib dan isya’ dijama’ dan diqoshor, lalu bermalam di Muzdalifah dan sholat shubuh di sana.
  3. Tanggal 10 Dzulhijjah: Pergi ke Mina sebelum terbit matahari, melempar jamroh ‘aqobah, menyembelih hadyu, memendekkan atau mencukur rambut, thawaf ifadhahdan sa’yumabit di Mina.
  4. Tanggal 11 Dzulhijjah: Jika matahari telah tergelincir, melempar tiga jamrah, dimulai dari jamroh sughro (yang terletak di samping masjid Al-Khaif), lalu jamroh wustho, lalu jamroh kubro (yang dikenal dengan jamroh ‘aqobah). Kembali mabit di Mina.
  5. Tanggal 12 Dzulhijjah: Melakukan amalan yang sama dengan tanggal 11 Dzulhijjah. Kembali mabit di Mina, kecuali bagi yang telah berniat untuk bersegera mengakhiri amalan hajinya (mengambil nafar awwal), hendaklah melakukan thawaf wada’.
  6. Tanggal 13 Dzulhijjah: Melakukan amalan yang sama dengan amalan tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah lalu melakukan thawaf wada’.
Dengan melaksanakan 6 poin ini selesai sudah seluruh rangkaian ibadah haji. Adapun rinciannya sebagai berikut.
Syarat-syarat Haji
  1. Beragama Islam,
  2. Berakal sehat,
  3. Berusia baligh,
  4. Merdeka (bukan budak),
  5. Memiliki kemampuan, yang mencakup.
  • Kemampuan harta, yaitu memiliki ongkos dan bekal perjalanan setelah memenuhi kewajiban nafkah, membayar hutang dan lain-lain,
  • Kesehatan badan,
  • Jalan yang aman untuk sampai ke baitullah,
  • Mampu untuk melakukan perjalanan,
  • Bagi wanita wajib disertai mahram atau suami,
  • Dan tidak sedang dalam kondisi ‘iddah.
Waktu Melakukan Haji
Waktu melakukan haji atau bulan-bulan haji yang disyari’atkan untuk seorang masuk ke dalam amalan-amalan haji, dimulai sejak awal bulan Syawwal sampai dengan sebelum terbit fajar pada malam tanggal 9 Dzulhijjah.
  • Jika seorang baru mulai melakukan haji pada tanggal 9 Dzulhijjah, luput darinya amalan-amalan sunnah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah.
  • Jika dia mulai pada malam tanggal 9 Dzulhijjah, luput darinya amalan-amalan sunnah haji pada siang hari tanggal 9 Dzulhijjah, bahkan terancam hajinya tidak sah jika tidak sempat wuquf di Arafah sebelum terbit fajar.
Macam-macam Haji:
  1. Haji tamattu’ (inilah haji yang paling afdhal), yaitu seorang masuk pada amalan-amalan haji pada bulan-bulan haji, yang dimulai dengan amalan umroh terlebih dahulu dengan mengucapkan di miqot“Allahumma labbaika ‘umrotan mutamatti’an biha ilal hajj”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melaksanakan umroh dengan cara yang sama seperti tata cara umroh yang kami jelaskan sebelumnya. Setelah melakukan umroh, halal baginya segala sesuatu yang tadinya diharamkan ketika ihram, sampai tanggal 8 Dzulhijjah baru kemudian berihram kembali untuk menyempurnakan amalan-amalan haji yang tersisa.
  2. Haji qiron, yaitu seorang berniat haji dan umroh secara bersama-sama pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqot“Labbaika hajjan wa ‘umrotan”.Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan sa’yu (untuk sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelahsa’yu tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan amalan-amalan yang akan kami jelaskan insya Allah.
  3. Haji ifrod, yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umroh pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqot“Labbaika hajjan”. Sama dengan haji qiron; setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan sa’yu (untuk sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelahsa’yu tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan amalan-amalan yang akan kami jelaskan insya Allah.
Perbedaan Mendasar Antara Haji IfrodTamattu’ dan Qiron
  1. Perbedaan pada niat.
  2. Tidak ada kewajiban menyembelih hewan hadyu bagi yang melaksanakan haji ifrod. Adapun bagi yang melakukan haji tamattu’ dan qiron selain penduduk Mekkah, wajib bagi mereka hadyu.
  3. Pada haji tamattu’, boleh melakukan tahallul setelah melakukan umroh, sehingga halal bagi yang melakukan haji tamattu’ semua yang diharamkan ketika ihram sampai masuk tanggal 8 Dzulhijjah.
  4. Pada haji tamattu’ terdapat dua kali sa’yu, yang pertama ketika umroh dan yang kedua setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Sedangkan dalam hajiqiron dan ifrod hanya terdapat satu sa’yu, boleh dilakukan setelah thawaf qudum atau setelah thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Adapun persamaan ketiga bentuk haji ini diantaranya, terdapat 3 macam thawaf, yaituthawaf qudum (dilakukan ketika pertama kali sampai ke Mekkah), thawaf ifadhah(dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah) dan thawaf wada’ (dilakukan sebelum meninggalkan Mekkah).

Urutan Amalan-amalan Haji Sesuai Tanggal

Tanggal 8 Dzulhijjah:
1.      Pada waktu dhuha, melakukan ihram dari miqot atau dari tempat tinggal masing-masing (bagi yang haji tamattu’ yang tinggal di Makkah dan Mina, baik yang muqim maupun musafir, dengan mengucapkan, “Labbaika hajjan”, sedang bagi yang haji qirondan ifrod maka tetap dalam keadaan ihrom sebelumnya).
  • Wanita haid juga berihram namun tidak melakukan sholat dan thawaf.
  • Disunnahkan untuk melakukan amalan-amalan sunnah ihrom sebagaimana ihram untuk umroh.
2.      Pergi ke Mina sebelum masuk waktu zhuhur dan melakukan sholat zhuhur, ashar, maghrib dan isya di Mina, dengan mengqoshor sholat yang empat raka’at menjadi dua raka’at namun tanpa dijama’.
3.      Mabit (bermalam) di Mina dan melakukan sholat shubuh juga di Mina.
4.      Memperbanyak ucapan talbiyah (terus diucapkan sampai sebelum melempar jamrah ‘aqobah):
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Disunnahkan mengeraskan bacaan talbiyah ini di perjalanan ke Mina. Namun tidak disyari’atkan membacanya secara berjama’ah dengan membentuk sebuah koor.
Tanggal 9 Dzulhijjah:
1.      Setelah terbit matahari di hari Arafah, pergi ke Arafah sambil membaca tahlil atautakbir
  • Sebelum sampai ke Arafah disunnahkan untuk singgah di Namiroh, satu tempat di dekat Arafah, dan tetap di situ sampai sebelum matahari tergelincir.
  • Jika matahari telah tergelincir disunnahkan lagi untuk pergi ke ‘Urnah, tempatnya lebih dekat ke Arafah dibanding Namiroh, di sinilah disunnahkan bagi seorang pemimpin atau wakilnya menyampaikan khutbah yang sesuai dengan keadaan hari itu.
  • Melakukan sholat zhuhur dan ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor dengan satu adzan dan dua iqomah. Dan tidak ada sholat sunnah antara dzuhur dan ashar.
  • Setelah itu masuk ke Arafah -jika memang belum sampai di Arafah- sampai melewati tanda-tanda Arafah yang telah dibuat oleh pemerintah. Jika memungkinkan hendaklah menghadap kiblat sekaligus menghadap Jabal Rahmah, jika tidak maka tidak apa-apa di seluruh tempat di Arafah dengan menghadap kiblat saja.
  • Tidak disyari’atkan untuk mendaki dan melaksanakan sholat di Jabal Rahmah berdasarkan ijma’, jika seorang menganggap itu termasuk bagian dari ibadah maka itu termasuk bid’ah.
  • Tidak boleh mengikuti dan menaati para petugas haji yang memerintahkan jama’ah haji untuk keluar dari Arafah dan berangkat ke Muzdalifah sebelum terbenam matahari, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah Ta’ala.
  • PERINGATAN: Hendaklah jama’ah haji memastikan dia telah berada di area Arafah, sebab keberadaan jama’ah haji di Arafah pada hari ini termasuk rukun haji, jika tidak dilaksanakan maka tidak sah hajinya. Kalau dia ragu hendaklah bertanya kepada ulama untuk memastikan.
2.      Selama di Arafah hendaklah memperbanyak dzikir dan doa, disunnahkan memperbanyak ucapan talbiyah dan tahlil. Hal ini terus dilakukan sampai terbenam matahari. Dan tidak disunnahkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa sehingga mereka lebih terfokus untuk doa dan dzikir.
3.      Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah dengan penuh ketenangan dan menyibukkan diri dengan talbiyah dan istighfar. Jika seorang pergi ke Muzdalifah sebelum terbenam matahari dan dia tidak kembali ke Arafah sebelum terbenam matahari maka wajib baginya fidyah berupa sembelihan, dilakukan di Mekkah dan dibagikan bagi fakir miskin Mekkah, dan tidak memakan darinya sedikitpun.
  • Jika seorang berhalangan untuk sampai ke Arafah sebelum terbenam matahari maka tidak mengapa baginya untuk pergi ke Arafah pada malamnya –selama belum terbit fajar- meskipun hanya sekedar lewat di Arafah, lalu ke Muzdalifah.
4.      Sampai di Muzdalifah pada waktu maghrib maupun isya’, segera melakukan sholat maghrib dan isya’ dijama’ dan diqoshor dengan satu adzan dan dua iqomah. Tidak ada sholat sunnah antara maghrib dan isya’. Jika khawatir tidak akan sampai ke Muzdalifah kecuali setelah tengah malam maka hendaklah sholat di perjalanan, karena tidak boleh menunda sholat sampai melewati tengah malam.
5.      Wajib mabit di Muzdalifah pada malam ini, disunnahkan setelah sholat maghrib dan isya’ untuk langsung tidur pada malam ini dan tidak menyibukkan diri dengan khutbah maupun mengumpulkan batu untuk melempar jamrah, dan tidak harus menyiapkan batu untuk melempar Jamrah dari Muzdalifah.
6.      Sholat shubuh di Muzdalifah. Setelah sholat shubuh, pergi ke al-masy’arul haramyaitu bukit yang ada di Muzdalifah, jika memungkinkan untuk menaikinya, menghadap kiblat, membaca tahmid, takbir, tahlil dan berdoa. Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa. Hal ini dilakukan sampai menjelang terbit matahari, kemudian pergi ke Mina sebelum matahari terbit.
  • Barangsiapa tidak bermalam di Muzdalifah atau meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam dengan sengaja maka dia berdosa dan wajib atasnya fidyah; menyembelih seekor kambing, dibagikan kepada fakir miskin tanah Haram dan tidak makan darinya sedikitpun. Kecuali bagi orang yang terhalang untuk sampai ke Muzdalifah, jika dia sampai ke Muzdalifah setelah tengah malam atau mendekati shubuh lalu melakukan sholat shubuh di Muzdalifah maka tidak ada fidyah atasnya.
  • Jika petugas haji memaksa jama’ah untuk meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam maka tidak wajib fidyah atas mereka karena terpaksa.
  • Jika seorang tidak bisa memasuki Muzdalifah karena terhalang juga tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
  • Jika seorang mabit tanpa memastikan bahwa dia telah berada di Muzdalifah lalu menjadi jelas baginya setelah terbit fajar maka wajib atasnya fidyah
  • Dibolehkan bagi wanita, orang-orang yang lemah seperti orang tua dan anak-anak, juga para pengurus mereka, baik supir, mahram dan pengurus lainnya, untuk meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam dan langsung menuju jamrah ‘aqobah untuk melempar meskipun sebelum terbit fajar. Juga dibolehkan bagi mereka langsung ke Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah dan sa’yu, kemudian kembali ke Mina.
Tanggal 10 Dzulhijjah:
1.      Pergi ke Mina sebelum terbit matahari dengan tenang dan sambil mengucapkantalbiyah
  • Disunnahkan jika telah sampai di Muhassir (satu tempat yang termasuk Mina) untuk mempercepat langkah semampunya, lalu mengambil jalan tengah yang menyampaikan ke jamroh ‘aqobah.
  • Boleh mengambil 7 buah batu kecil (untuk melempar jamrah ‘aqobah) di Muzdalifah atau di perjalanan ke Mina, baik mengambilnya sendiri atau diambilkan oleh orang lain.
  • Tidak disyari’atkan untuk mencuci batu-batu tersebut.
2.      Setelah tiba di Mina, berhenti mengucapkan talbiyah di jamroh ‘aqobah dan hendaklah segera melempar jamroh ‘aqobah dengan 7 buah batu secara berturut-turut dan memastikan (atau dengan persangkaan yang kuat) batu tersebut masuk di area (lubang atau lingkaran) lemparan, dan tidak mengapa jika batu tersebut keluar lagi dari area.
  • Jika tidak masuk ke area lemparan harus mengulanginya.
  • Tidak boleh melempar 2 buah batu atau lebih secara sekaligus.
  • Mengangkat tangan pada setiap lemparan sambil bertakbir
  • Tidak boleh melempar dengan selain batu kecil, seperti sandal, batu besar dan lain-lain.
  • Tidak melempar dengan batu yang sudah digunakan sebelumnya.
  • Tidak ada dzikir atau ucapan khusus ketika melempar dan tidak juga harus meyakini bahwa di situ ada setan yang sedang dilempar, maskipun asal disyari’atkannya melempar ini adalah perbuatan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika melempar setan.
  • Tidak disyari’atkan untuk berdiri sejenak dan berdzikir setelah melempar jamroh ‘aqobah ini.
  • Bagi yang tidak mampu melempar boleh mewakilkannya kepada orang lain dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan haji.
  • Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya dulu baru kemudian untuk orang lain.
  • Bagi yang mampu melempar sendiri namun berhalangan maka tidak boleh mewakilkannya, akan tetapi boleh baginya menunda semua lemparan sampai tanggal 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar awal) dan sampai sebelum terbit matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
  • Bagi yang mewakili kedua orang tuanya hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
  • Setelah melempar, sudah bisa masuk pada tahallul awal menurut sebagian ulama namun pendapat yang lebih lebih hati-hati untuk mengakhirkan tahallul awal sampai setelah memendekkan rambut atau mencukurnya, atau setelah thawaf ifadhah dansa’yu (bagi yang belum sa’yu setelah thawaf qudum, yakni yang melakukan haji qirondan ifrod).
o   Tahallul awwal artinya telah halal melakukan hal-hal yang tadinya diharamkan seperti mengenakan pakaian yang membentuk tubuh, minyak wangi dan lain-lain kecuali bercumbu dan melakukan hubungan suami istri, tidak boleh dilakukan kecuali setelahtahallul tsani, yaitu setelah melakukan thawaf ifadhah dan sa’yu.
  • Jamroh ‘aqobah adalah jamroh kubro, yang letaknya paling dekat dengan Makkah dibanding jamroh sughro dan wustho.
  • Waktu melempar jamroh ‘aqobah sampai sebelum terbenam matahari pada hari ini bagi yang tidak berhalangan.
3.      Setelah melempar jamroh ‘aqobah, lalu menyembelih hadyu (bagi yang melakukan haji tamattu’ dan qiron) di Mina.
  • Hewan hadyu dan fidyah syaratnya sama dengan hewan qurban dari segi umur dan tidak cacat. Untuk satu orang 1 ekor kambing atau 1/7 sapi atau 1/7 unta.
  • Boleh menyembelih di tempat mana saja sepanjang masih berada dalam batas-batas tanah Haram di Mina dan Makkah.
  • Disunnahkan untuk menyembelih sendiri jika memungkinkan, jika tidak boleh mewakilkan.
  • Barangsiapa yang tidak mendapatkan hewam hadyu maka wajib baginya berpuasa 3 hari ketika masa haji ini dan 7 hari ketika sudah kembali ke negerinya.
  • Puasa ini boleh dikerjakan sebelum tanggal 10 Dzulhijjah maupun pada hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah). Kecuali hari Arafah, lebih afdhal untuk berbuka agar bisa lebih banyak berdoa dan berdzikir pada hari itu.
  • Puasa ini juga boleh dilakukan secara berurutan maupun tidak berurutan.
  • Berpuasa lebih afdhal daripada meminta-minta hewan hadyu kepada orang lain.
  • Disunnahkan untuk makan sebagian hewan sembelihan ini, menghadiahkannya dan bersedekah dengannya.
  • Boleh pula berbekal untuk perjalanan pulang dengan sebagian dari sembelihan hadyuini.
  • Waktu menyembelih sampai sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah.
4. Setelah menyembelih hewan hadyu, lalu memendekkan atau mencukur rambut.
  • Mencukur lebih afdhal, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mendoakan 3 kali bagi yang mencukur dan 1 kali bagi yang memendekkan.
  • Tidak cukup memendekkan atau mencukur sebagian, namun harus seluruh rambut.
  • Bagi wanita hanya memotong pada ujung-ujung rambutnya sepanjang kuku.
  • Bagi yang ingin berkurban tidak mengapa baginya untuk memendekkan dan mencukur rambut. Berbeda dengan orang yang tidak berhaji, tidak boleh memotong rambutnya sebelum menyembelih kurbannya.
5.      Setelah memotong atau memendekkan rambut, lalu melakukan thawaf ifadhah dan sa’yu. Ini termasuk rukun, tidak sah haji tanpanya.
  • Setelah melakukan tahallul awwal, disunnahkan untuk mengenakan minyak wangi sebelum pergi melakukan thawaf ifadhah.
  • Boleh menggunakan pakaian ihram dan pakaian biasa jika telah melempar jamroh ‘aqobah dan memendekkan atau mencukur rambut, yakni telah masuk pada tahallul awwal.
  • Kemudian melakukan thawaf ifadhah di kakbah sebanyak 7 kali dengan cara yang sama seperti penjelasan pada thawaf umroh, kecuali idhthiba’ dan berlari-lari kecil pada tiga putaran yang pertama tidak dilakukan lagi.
  • Setelah thawaf, disunnahkan untuk sholat 2 raka’at di belakang maqom Nabi Ibrahim‘alaihissalam.
  • Setelah sholat dua raka’at, lalu melakukan sa’yu antara Shafa dan Marwa sebanyak 7 kali bagi yang melakukan haji tamattu’ dan bagi yang belum melakukan haji qiron danifrod yang belum melakukan sa’yu setelah thawaf qudum. Dan sa’yu dalam haji dan umroh termasuk rukun.
  • Tidak mengapa jika ada selang waktu yang panjang antara thawaf dan sa’yu, bahkan boleh menunda sa’yu pada hari setelahnya, namun yang afdhal dilakukan secara berurutan.
  • Tahallul tsani telah masuk dengan selesainya thawaf ifadhah dan sa’yu, maka telah halal semua yang tadinya diharamkan bagi muhrim (orang yang berihram), termasuk berhubungan suami istri.
  • Disunnahkan untuk minum zam-zam.
  • Tidak mengapa mengakhirkan thawaf ifadhah dan dilakukan bersama dengan thawaf wada’, yakni meniatkan thawaf ifadhah dan wada’ bersamaan dengan satu thawafsaja. Boleh juga meniatkan thawaf ifadhah saja, dan itu sudah mencakup thawaf wada’. Namun tidak terhitung thawaf ifadhah jika hanya meniatkan thawaf wada’.
  • Wanita yang haid sebelum thawaf ifadhah hendaklah dia dan mahramnya menunggu sampai suci lalu melakukan thawaf ifadhah. Namun jika terpaksa harus kembali ke negerinya maka setelah suci dia harus kembali lagi ke Mekkah untuk melakukanthawaf ifadhah.
  • Waktu thawaf ifadhah dimulai setelah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah dan akhirnya tidak ada batas, namun afdhalnya tidak diakhirkan sampai keluar dari hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah).
  • Disunnahkan sholat zhuhur di Mekkah atau di Mina.
  • Disunnahkan bagi imam untuk berkhutbah di Mina di sekitar jamrah ketika waktudhuha telah meninggi untuk mengajarkan manasik haji yang tersisa.
  • Tidak ada shalat idul adha bagi jama’ah haji.
  • Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, pada hari ini ada empat amalan yang disyari’atkan yaitu: melempar jamroh ‘aqobah, menyembelih hadyu, memendekkan atau mencukur rambut, melakukan thawaf ifadhah dan ditambah sa’yu (sehingga menjadi lima, bagi yang melakukan haji tamattu’ dan bagi yang melakukan haji qiron dan ifrod namun belum melakukan sa’yu setelah thawaf qudum). Disunnahkan untuk melakukan 4 atau 5 amalan ini secara berurutan, namun jika seorang melakukannya tidak berurutan karena suatu halangan maka tidak mengapa.
6.      Wajib mabit di Mina pada malam hari ini (tanggal 10 Dzulhijjah) dan malam tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah (kecuali bagi yang mengambil nafar tsani, hendaklah mereka meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari pada tanggal 12 Dzulhijjah.
  • Batasan Mina dari lembah Muhassir sampai ke jamroh ‘aqobah.
  • Dianggap telah mabit di Mina jika seorang bermalam di Mina sebagian besar dari waktu malam. Apakah dihitung setelah terbenam matahari sampai lewat tengah malam. Atau sebelum tengah malam sampai terbit fajar.
  • Mabit di Mina tidak harus tidur, yang penting berada di Mina pada sebagian besar atau seluruh waktu malam.
  • Tidak mengapa pada siang hari ketika masyaqqoh, untuk kembali ke Mekkah pada siang hari lalu kembali lagi ke Mina pada malam harinya, namun yang lebih afdhal tetap tinggal di Mina pada siang dan malam harinya.
  • Boleh tidak mabit di Mina bagi mereka yang meiliki halangan seperti sakit, menjaga orang sakit dan lain-lain. Juga bagi mereka yang memiliki kesibukan untuk kemaslahatan haji seperti para petugas haji, petugas keamanan dan lain-lain.
  • Disunnahkan pada setiap malam mabit di Mina untuk mengunjungi kakbah dan melakukan thawaf.
  • Barangsiapa yang meninggalkan satu malam mabit di Mina dengan sengaja tanpa‘udzur maka hendaklah dia bertaubat dan bersedekah sesuai kemampuan, jika dia menyembelih hewan maka itu lebih baik.
  • Jika seorang telah berusaha namun tidak mendapat tempat mabit di Mina, maka tidak mengapa dia mabit di Mekkah atau Muzdalifah atau ‘Aziziyah, dan tidak ada fidyahatasnya.
  • Tidak boleh turun ke lembah Muhassir.
  • Selama mabit di Mina hendaklah memperbanyak dzikir dan doa.
Tanggal 11 Dzulhijjah:
1.      Jika matahari telah tergelincir, jama’ah haji melempar tiga jamrah, dimulai darijamroh sughro (yang terletak di samping masjid Al-Khaif), lalu jamroh wustho, lalujamroh kubro (yang dikenal dengan jamroh ‘aqobah)
  • Masing-masing dilempar dengan 7 buah batu kecil, jadi totalnya 21 buah.
  • Caranya sama dengan melempar jamroh ‘aqobah yang sudah dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah.
  • Setelah melempar jamroh sughro, disunnahkan maju ke sebelah kanan lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa menghadap kiblat .
  • Setelah melempar jamroh wustho, disunnahkan maju ke sebelah kiri lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa menghadap kiblat .
  • Setelah melempar jamroh kubro, tidak disunnahkan untuk berdoa sebagaimana pada jamrah sughro dan wustho, tapi langsung pergi meninggalkan jamrah.
  • Posisi yang disunnahkan ketika melempar jamrah ‘aqobah adalah menjadikan arah kakbah di samping kanan dan Mina di samping kiri.
  • Bagi yang tidak mampu melempar boleh mewakilkannya kepada orang lain dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan haji.
  • Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya dulu baru kemudian untuk orang lain.
  • Bagi yang mampu melempar sendiri namun berhalangan maka tidak boleh mewakilkannya, akan tetapi boleh baginya menunda semua lemparan sampai tanggal 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar awal) dan sampai sebelum terbit matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
  • Bagi yang mewakili kedua orang tuanya hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
  • Tidak boleh melempar jamrah di pagi hari, sebelum tergelincir matahari.
  • Jika seorang berhalangan, boleh baginya melempar jamrah di malam hari. Namun yang afdhal melempar sebelum terbenam matahari.
2.      Pada malam hari, wajib kembali ke Mina untuk mabit.
3.      Barangsiapa yang meninggalkan mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah dengan sengaja tanpa ‘udzur maka hendaklah dia bertaubat dan wajib atasnya fidyahberupa sembelihan, disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada fakir miskin Mekkah. Jika meninggalkan salah satu malam saja maka wajib atasnya taubat dan bersedekah sesuai kemampuan, dan tidak wajib atasnya menyembelih.
4.      Ketentuan mabit di Mina pada hari ini sama dengan malam sebelumnya.
Tanggal 12 Dzulhijjah:
1.      Melakukan amalan yang sama dengan tanggal 11 Dzulhijjah.
  • Kecuali mabit di Mina, bagi yang telah berniat untuk bersegera mengakhiri amalan hajinya (mengambil nafar awwal) maka hendaklah dia melempar jamrah setelah matahati tergelincir dan meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari.
  • Bagi yang terhalang, seperti karena macet dan ramainya manusia maka tidak mengapa dia melempar jamrah atau meninggalkan Mina setelah terbenam matahari.
  • Adapun bagi yang tidak berniat untuk bersegera dan telah terbenam matahari, maka tidak boleh lagi baginya mengambil nafar awwal. Dia harus menyempurnakan mabit di Mina pada malam hari ini dan mengambil nafar tsani.
2.      Wajib melakukan thawaf wada’ sebelum meninggalkan Mekkah untuk mengakhiri amalan haji.
  • Kecuali bagi penduduk Mekkah, tidak diwajibkan atas mereka thawaf wada’. Akan tetapi bagi yang ingin melakukan safar meninggalkan Mekkah pada hari-hari haji hendaklah dia melakukan thawaf wada’.
  • Juga tidak diwajibkan bagi wanita haid dan nifas.
  • Barangsiapa yang tidak melakukan thawaf wada’ dengan sengaja maka dia berdosa, wajib atasnya taubat dan fidyah berupa sembelihan.
  • Bagi yang melakukan thawaf wada’ sebelum melempar jamrah maka tidak sahthawafnya, jika dia tidak mengulang kembali wajib atasnya fidyah berupa sembelihan.
  • Demikian pula bagi yang mewakilkan pelemparan jamrah, hendaklah dia melakukanthawaf wada’ setelah orang yang mewakilinya selesai melempar.
  • Disunnahkan untuk membawa air zam-zam ke negerinya.
  • Setelah melakukan thawaf wada’ tidak boleh lagi tinggal di Mekkah kecuali karena suatu hajat yang wajib seperti telah masuk waktu shalat atau karena suatu keperluan yang berhubungan dengan safarnya seperti membeli hadiah, menunggu teman safarnya dan lain-lain.
  • Adapun yang masih tinggal di Mekkah selain karena alasan yang dibolehkan di atas, seperti membeli sesuatu untuk dijual kembali maka wajib atasnya melakukan thawaf wada’ kembali. Karena wajib menjadikan thawaf wada’ sebagai akhir dari amalan haji, bukan yang lainnya.
  • Tidak disyari’atkan keluar dari Masjidil Haram dari pintu yang bernama babul wada’, sebagaimana tidak pula disyari’atkan bagi yang baru datang untuk masuk dari pintubabus salam.
  • Bagi yang menggabungkan thawaf ifadhah dengan thawaf wada’ maka tidak mengapa walaupun setelahnya dia melakukan sa’yu, sebab sa’yu di sini bagian dari thawaf ifadhah, sehingga terhitung sebagai akhir amalannya adalah thawaf.
  • Tidak disyari’atkan bertabarruk atau berziarah ke jabal nur, gua hira, jabal tsaur, masjid jin dan berbagai tempat bersejarah lainnya.
  • Tidak disyari’atkan berjalan mundur ketika meninggalkan kakbah.
Tanggal 13 Dzulhijjah:
1.      Melakukan amalan yang sama dengan amalan tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar tsani, yakni belum melakukan thawaf wada’ pada tanggal 12 Dzulhijjah).
  • Perbedaan hari ini dengan 2 hari sebelumnya pada waktu melempar jamrah. Jika waktu melempar jamrah pada dua hari sebelumnya berakhir pada malam hari, maka pada hari ini berakhir ketika terbenam matahari.
  • Nafar tsani ini lebih afdhal dibanding nafar awwal.
2.      Melakukan thawaf wada’ sebelum meninggalkan Mekkah, sebagaimana penjelasan pada hari sebelumnya di atas.
  • Dengan melakukan thawaf wada’, berakhir pula seluruh rangkaian ibadah haji, semoga kaum muslimin dapat meraih haji yang mabrur.
Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.
Rujukan:
  1. Catatan pribadi dari pelajaran fiqh pada kitab Ad-Durorul Bahiyyah karya Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah, 1430 H.
  2. Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz–rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah, BabShifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
  3. Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
  4. Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
  5. Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Iedhafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H. sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/11/06/cara-mudah-memahami-fiqh-haji/
    https://catatanmms.wordpress.com/2011/09/30/cara-mudah-memahami-fiqh-haji/

Shalat Tarawih

Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi ), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)

• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu ‘anhum ‘ajma’in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih

Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:

1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu ‘anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wassallam).
Wallahu a’lam

Sumber : http://www.salafy.or.id/shalat-tarawih/

Selasa, 11 Juni 2013

Proses Syar'i Sebuah Pernikahan

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim 

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab,
“Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan
 Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

- Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

- Wanita tersebut masih gadis[1], yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)

2. Nazhar (melihat calon pasangan hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata,
“Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)

Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)

Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa,
“Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)

Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan
wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

- Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

- Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
- abul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)

5. Walimatul ‘urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. Setelah akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah x.
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.

Sumber: http://www.darussalaf.org/stories.php?id=1218