Rabu, 27 Februari 2013

Tinggalkan Hal yang Tidak Penting


Di tulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman

Syarh Hadits ke-12 Arbain anNawawiyyah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه [حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak peting (berguna) baginya” “. (Hadits Hasan riwayat Tirmidzi dan lainnya)

PENJELASAN
Keislaman seseorang ada yang baik dan ada yang tidak baik. Salah satu bentuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat (berguna) baginya dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Apa hasil yang akan dicapai jika keislaman seseorang semakin baik? Semakin seseorang memperbaiki dan menyempurnakan keislamannya, maka semakin besar pahala yang diterima setiap ia beramal sholeh.
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
Jika seseorang membaguskan keislamannya, maka setiap kebaikan yang ia perbuat akan tecatat 10 kali lipat hingga 700 kali lipat (H.R alBukhari dan Muslim)

Baiknya keislaman seseorang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat satu sama lain. Setiap orang yang berbuat kebaikan, secara asal akan mendapat kelipatan kebaikan 10 kali lipat. Ini berlaku untuk semua orang.
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Barangsiapa yang datang dengan membawa kebaikan maka bagi dia akan mendapatkan 10 kali lipat. Barangsiapa yang datang dengan membawa keburukan, tidaklah ia dibalas kecuali sama dengannya dan mereka tidak didzhalimi (Q.S al-An’am:160)
 
Khusus orang yang baik keislamannya, kelipatan kebaikan yang ia perbuat akan lebih dari 10 kali lipat, yaitu hingga 700 kali.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidaklah berbuat dzhalim meski sebesar dzarrah. Jika ada kebaikan yang diperbuat, Allah akan melipatgandakannya dan memberikan padanya pahala yang agung (Q.S anNisaa’:40)

Itu adalah penjelasan dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas, bahwa secara asal setiap orang akan mendapatkan kelipatan 10 kali dari kebaikan yang diperbuat. Hanya untuk orang-orang yang bagus keislamannya, maka kelipatan pahala akan semakin banyak.

Perkataan Para Ulama’
Al-Imam asy-Syafi’i berkata : Barangsiapa yang ingin Allah membukakan dan menerangi hatinya, hendaknya ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna dan menjauhi kemaksiatan (Tahdziibul Asmaa’ karya al-Imam anNawawy (1/79))

Saif al-Yamani menyatakan : Sesungguhnya salah satu tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah Allah jadikan kesibukannya pada hal-hal yang tidak berguna (Thobaqoot alMuhadditsiin bi Asbahaan karya Abusy Syaikh al-Asbahaany (3/150)

Malik bin Dinar berkata : Jika engkau melihat hatimu menjadi keras, badanmu lemah, dan kekurangan pada rezekimu, ketahuilah bahwa engkau telah berbicara sesuatu hal yang tidak perlu (Faidhul Qodiir karya alMunawi (1/369))
Contoh Hal-hal yang tidak penting dan tidak berguna bagi seseorang
                                                                               
  1. Segala macam bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan adalah hal-hal yang bukan saja tidak penting bahkan lebih dari itu justru memberikan kemudharatan dan kerugian di dunia dan akhirat.
  2. Ingin ikut campur urusan orang lain padahal tidak ada kaitannya dengan dia.
Contohnya adalah ikut mencuri dengar pembicaraan orang lain. Dalam hadits dinyatakan :
وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dan barangsiapa yang menyimak percakapan satu kaum padahal mereka tidak suka (didengar) atau akan menjauh darinya (jika tahu), akan dituangkan timah panas pada telinganya di hari kiamat (H.R alBukhari) 

Termasuk bagian ini adalah ingin mengetahui kabar keseharian orang lain yang tidak penting untuk diketahuinya. Sebagian saudara kita kaum muslimin ada yang ikut-ikutan kebiasaan orang kafir untuk selalu mengikuti gosip maupun aktifitas keseharian para selebritis. Sungguh suatu hal yang sia-sia dan tidak berguna.
Demikian juga sikap sebagian orangtua yang terlalu masuk dalam urusan rumah tangga anaknya yang sudah berkeluarga. Tidak sedikit perceraian terjadi karena hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Athiyyah bin Muhammad Salim dalam Syarh alArbain anNawawiyyah. Seharusnya permasalahan rumah tangga sebisa mungkin tidak melibatkan pihak lain, kecuali jika keadaan mendesak dan butuh nasehat dari orang lain yang sholeh.
  1. Permainan yang melalaikan dari dzikir kepada Allah. Termasuk di antara hal ini adalah nyanyian dan musik.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia ada yang membeli ‘lahwal hadiits’ untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya sebagai bahan ejekan. Bagi mereka adzab yang menghinakan (Q.S Luqman: 6)

Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud sampai bersumpah 3 kali bahwa yang dimaksud dengan ‘lahwal hadiits’ dalam ayat itu adalah nyanyian (Tafsir at-Thobary (20/127)). Penafsiran ‘lahwal hadiits’ sebagai nyanyian juga berasal dari Aisyah dan Abu Umamah
Jual beli nyanyian dan pemasukan (penghasilan) dari nyanyian adalah haram, berdasarkan hadits :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُغَنِّيَاتِ وَعَنْ شِرَائِهِنَّ وَعَنْ كَسْبِهِنَّ وَعَنْ أَكْلِ أَثْمَانِهِنَّ
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari membeli wanita penyanyi, menjualnya, penghasilannya, dan dari memakan harganya (H.R Ibnu Majah dari Abu Umamah)

Demikian juga alat-alat musik, dalam hadits dinyatakan:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Sungguh-sungguh akan ada kaum-kaum dari umatku yang menghalalkan zina, sutra (untuk laki-laki), khamr, dan alat-alat musik (H.R alBukhari)

Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :
الدُّفُّ حَرَامٌ وَالْمَعَازِفُ حَرَامٌ وَالْكُوبَةُ حَرَامٌ وَالْمِزْمَارُ حَرَامٌ
Rebana adalah haram, ma’aazif (alat musik) adalah haram, Kuubah (gendang kecil) adalah haram, dan seruling haram (riwayat alBaihaqy dalam as-Sunan al-Kubra no 21529, disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Mathoolibul ‘Aaliyah no 2247)

Demikianlah hukum alat musik secara asal. Dalam keadaan tertentu diperkecualikan, seperti penggunaan rebana oleh penyanyi wanita kecil dengan nyanyian yang tidak mengandung kemunkaran di hadapan para wanita pada waktu pernikahan.
  1. Berlebihan dalam hal-hal yang mubah, seperti terlalu banyak makan, terlalu banyak tidur, dan semisalnya.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan makan dan minumlah, jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Q.S al-A’raaf:31)

Sumber : http://www.salafy.or.id/tinggalkan-hal-yang-tidak-penting/

Surat Al-Ikhlas (Memurnikan Tauhid)


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ () اللَّهُ الصَّمَدُ ()لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ()وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Katakanlah ; ”Dialah Allah Yang Maha Esa,
2. Allah adalah Tuhan tempat bergantung,
3. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia.”

Materi Surat
Surat ini berbicara tentang sifat-sifat Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Esa, Maha mengumpulkan semua sifat Kesempurnaaan, Maha dibutuhkan untuk selamanya, Yang tidak butuh kepada selain-Nya, Suci dari sifat-sifat kekurangan, sejenis, dan serupa.
Surat ini membantah kaum nashara yang berpegang pada “trinitas” dan membantah kaum musyrikin yang menjadikan bagi Allah ‘Ajawajalla anak cucu. Maha Tinggi Allah ‘Ajawajalla dari apa yang mereka ucapkan.

Penamaan Surat
Surat ini diberi banyak nama, dan yang paling masyhur; surat Al-Ikhlas karena berbicara tentang pemurnian tauhid bagi Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Suci dari segala kekurangan dan Yang tidak mempunyai seorangpun sekutu.

Korelasi Dengan Surat Sebelumnya
Surat Al-Kafirun mengandung pelepasan dari segala macam kekafiran dan kemusyrikan sedangkan surat ini untuk menetapkan Keesaan Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Istimewa dengan sifat-sifat Kesempurnaan, Maha diharapkan untuk selamanya, Maha Suci dari sekutu dan serupa. Oleh karenanya, keduanya dipasangkan dalam bacaan dari banyak shalat, sepertidua rakaat fajar (sunnah sebelum  Shubuh), dua rakaat thawaf, sunnah sesudah Maghrib, Istikharah (minta petunjuk), serta shalat musafir.

Keutamaannya
Banyak hadits yang membicarakankeutamaan surat ini dan bahwa dia membandingkan sepertiga bacaan Al-Quran. Imam Muslim dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasul Shalallahu’alaihiwassalam bersabda: ‘Berkumpullah…!! Karena saya hendak membacakan pada kalian sepertiga Al-Quran’. Lalu berkumpullah siapa yang ikut berkumpul, kemudian Rasul Shalallahu’alaihiwassalam keluar (dari rumah Beliau Shalallahu’alaihiwassalam yang bersambung dengan masjid) dan membaca qul huwallahu ahad.., dan masuk kembali. Maka sebagian kami berkata kepada sebagian yang lain: ‘Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam tadi bersabda bahwa “Saya akan bacakan pada kalian sepertiga Al-Quran..”, menurut saya nanti sore akan diteruskan, lalu Nabi Shalallahu’alaihiwassalam keluar lagi dan bersabda:’ Sesungguhnya saya telah bersabda kepada  kalian akan membacakan pada kalian sepertiga Al-Quran.
‘Ketahuilah Al-Ikhlas itu membandingi sepertiga Al-Quran!!.”

Sebab Turunnya
Imam Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Jarir mengeluarkan sebuah hadits dari Ubay bin Ka’ab bahwa kaum musyrikun berkata kepada Nabi Shalallahu’alaihiwassalam: “Wahai Muhammad jelaskan pada kami asal usul Rabbmu!!”, Maka Allah ‘Ajawajalla menurunkan surat Al-Ikhlas.

Kosa Kata
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa):
Katakanlah wahai Muhammad terhadap orang yang menanyakan padamu tentang Rabbmu: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
اللَّهُ الصَّمَدُ
(Allah Rabb tempat bergantung): Allah ‘Ajawajalla yang seharusnya segala ibadah hanya diperuntukkan bagi-Nya.
 الصَّمَدُ
(Allah tempat bergantung): Rabb yang menjadi tempat bergantung untuk selamanya dan menunaikan hajat.
لَمْ يَلِدْ
(Dia tidak beranak): Tidak hilang binasa, sebab tidak ada sesuatu yang beranak kecuali ia pasti hilang binasa.
وَلَمْ يُولَدْ
(Dan tidak pula diperanakkan): Bukan sesuatu yang baru yang tadinya tidak ada lalu ada. Dia ada pertama dan selamanya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia): Tidak ada seorangpun yang serupa atau sama dengan-Nya,
(tidak ada yang semisal dengan-Nya)

Makna Secara Global
قُلْ
(Katakanlah): Perkataan yang mantap, yakin, dan mengetahui benar maknanya.
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(Dialah Allah Yang Maha Esa) artinya: Terkhususkan keesaan untuk-Nya. Dialah Allah Yang Maha Esa, Yang sendiri mempunyai Kesempurnaan, Yang memiliki nama-nama yang indah, sifat-sifat sempurna nan tinggi, dan perbuatan yang suci, yang tidak ada keserupaan dan permisalan bagi-Nya.
اللَّهُ الصَّمَدُ
(Allah adalah Rabb tempat bergantung) artinya: Yang dituju dalam semua hajat. Para penghuni alam tinggi (malaikat) dan alam bawah (manusia) sangat bergantung kepada-Nya, memohon kebutuhan dan mengharap dalam segala kepentingan kepada-Nya, karena Dia Maha Sempurna dalam semua sifat-sifat-Nya. Al-Alim: Yang Sempurna Ilmu-Nya, Al-Halim: Yang Sempurna santun-Nya, Ar-Rahim: Yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, dan semua sifat-sifat Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Sempurna.
Diantara kemuliaan-Nya,
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
(Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan) karena kesempurnaan ketidak-butuhan-Nya pada yang lain.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia), tidak dalam nama-Nya, sifat-Nya, serta perbuatan-Nya. Jadi ,surat ini mengandung tauhidasma’ dan sifat.

Faedah Surat
1. Ma’rifah pada Allah ‘Ajawajalla dengan nama-nama dan sifat-sifatNya.
2. Penetapan tauhid dan nubuwwah
3. Batilnya menisbatkan anak pada Allah ‘Ajawajalla
4. Kewajiban ibadah hanya kepada Allah ‘Ajawajalla tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penyembahan, karena Dia adalah Allah ‘Ajawajalla Pemilik urusan Ketuhanan dan kehambaan, tidak selain Dia.

(diambil dari buku Ad-Durusil Muhimmah li Ammatil Ummah, Cahaya Tauhhid Pres)

Sabtu, 16 Februari 2013

Demonstrasi Hanya Menambah Petaka (Dilengkapi Fatwa Ulama Mengenai Demonstrasi)


Oleh : Ustadz Muktar


Siapa pun dengan pasti akan memprediksi,”Pasti akan berakhir rusuh!”.
Hati semakin bersedih dan jiwa bertambah sesak melihat kenyataan pada beberapa tempat di negeri ini. Korban luka berjatuhan bahkan ada yang berakhir dengan meregang nyawa. Batu-batu beterbangan diselingi dengan asap dan api bom molotov. Benda-benda tumpul entah kayu, besi atau lainnya. Terlihat jelas berada di tangan-tangan sekelompok anak muda yang menamakan diri mereka sebagai Barisan Mahasiswa.
Pihak aparat keamanan yang berusaha mengikuti prosedur dan protap pengamanan sesungguhnya telah cukup bersabar. Cacian dan celaan ditujukan kepada mereka. Aparat dilempari dan diludahi bahkan dipukuli, dan mereka pun manusia biasa. Sehingga terjadilah aksi baku balas antara demonstran dan aparat keamanan. Laa haula wa laa quwwata illa billah


Apa hasilnya? Kerugian dan kerugian lalu kerugian. Harta, nyawa, waktu, tenaga dan segala-segalanya. Tidak ada lagi rasa nyaman karena berganti ketakutan. Ketentraman masyarakat pun berangsur hilang setelah sebelumnya berkurang. Yang lebih menyedihkan lagi, pelaku-pelakunya justru berasal dari lapisan masyarakat yang disebut “kaum terpelajar”.

Ilustrasi di atas hanyalah sepenggal kisah dari catatan hitam dari aksi-aksi yang bernama demonstrasi, unjuk rasa, atau apapun nama lainnya. Dengan berbagai alasan yang dibumbui kata-kata menyentuh hati atau demi membela keadilan, aksi-aksi itupun dijalankan.”Melawan Tirani Lalim”,”Membela Hak-Hak Rakyat”,”Jihad Melawan Penguasa”,”Kami Menuntut Keadilan”,”Pemerintah Selalu Menyengsarakan Rakyat” dan masih seabreg slogan dan yel-yel lain kaum demonstran.
Sebenarnya bagaimanakah pandangan islam tentang hal ini? Berikut ini kami akan menukilkan fatwa dari beberapa ulama’ besar masa kini tentang hukum aksi demonstrasi atau unjuk rasa.

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Beliau pernah ditanya,
Apakah demonstrasi yang terdiri dari kaum laki-laki dan wanita dalam rangka menentang penguasa dan pemerintah termasuk salah satu sarana dakwah? Apakah orang yang meninggal dunia saat aksi demonstrasi dapat disebut sebagai mati syahid di jalan Allah?
Beliau menjawab : “Saya berpendapat ;
Demontrasi yang terdiri dari kaum laki-laki dan wanita bukanlah sebuah solusi. Akan tetapi, demonstrasi hanya akan menjadi sebab munculnya fitnah, keburukan, kedzoliman dan pelanggaran bagi sebagian orang tanpa hak.

Namun,ada cara-cara yang sesuai syari’at Islam yaitu dengan mengirim surat, menasehati dan ajakan kepada kebaikan dengan menempuh langkah-langkah yang baik. Demikianlah yang ditempuh oleh para ulama’dan juga yang dilakukan para sahabat Nabi dan para pengikut mereka dengan baik.
Dengan cara mengirimkan surat atau berdialog secara langsung berhadapan dengan pihak pemimpin atau penguasa,  tanpa menyebarluaskan di atas mimbar-mimbar atau tempat lain bahwa,”Pemerintah telah berbuat ini!Sehingga menjadi seperti itu!”. Wallahul musta’aan” ___________selesai

Fatwa Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani

Di dalam Silsilah Hadits Dhaifah pada hadits tentang kisah masuk Islamnya Umar bin Khattab dan keluarnya mereka bersama Nabi dalam dua barisan untuk melawan kaum musyrikin,  Syaikh Al Albani menjelaskan,
“Hadits di atas munkar”. Kemudian beliau menjelaskan ;
”Barangkali itu adalah sebabnya atau menjadi sebab sebagian saudara- saudara kita, para dai, berdalil tentang disyari’atkannya demonstrasi yang dikenal pada masa ini. Bahwa : “ demonstrasi termasuk cara berdakwah Nabi”.
Dan beberapa kelompok Islam masih berdalih dengannya. Mereka lupa bahwa demonstrasi termasuk kebiasaan dan metode orang-orang kafir”_______________selesai

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Beliau pernah ditanya,
“Mengenai pemerintah yang berhukum dengan hukum yang tidak diturunkan Allah. Kemudian pemerintah mengizinkan sebagian masyarakat untuk melakukan aksi demonstrasi, yang dinamakan‘ishoomiyyah (memperoleh kedudukan dengan hasil usaha sendiri)!Disertai undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri. Lalu,orang-orang tersebut melakukannya.
Apabila aksi mereka diingkari,mereka menjawab,”Kami tidak menentang pemerintah dan kami melakukannya dengan ketetapan pemerintah”.
Apakah hal ini diperbolehkan secara syari’at? Padahal ada pertentangan dengan dalil?
Beliau menjawab,
“Wajib bagimu untuk mengikuti Salaf!Apabila hal ini dilakukan oleh Salaf, maka pasti baik. Apabila tidak, pasti jelek. Tidak ada keraguan lagi jika demsontrasi itu jelek. Sebab, demonstrasi akan menghantarkan kepada kekacauan.Yang dilakukan oleh para demonstran maupun pihak lain.
Bahkan sering terjadi pelanggaran. Bisa saja pelanggaran terhadap kehormatan, harta maupun fisik orang. Karena dalam keadaan kacau/rusuh, orang seperti mabuk yang tidak mengetahui apa yang dia ucapkan dan apa yang dia lakukan!”___________selesai

Pembaca yang terhormat,
Demonstrasi seluruhnya buruk, Apakah diizinkan oleh pihak pemerintah maupun tidak? Jika ada sebagian pemerintah mengizinkan terselenggaranya aksi demonstrasi, maka hal itu hanyalah propaganda.
Misalnya dipulangkan ke hati, sungguh pemerintah manapun tidak akan menyukai bahkan sangat membenci. Namun, ia hanya berpura-pura saja.
Sebagaimana dia mengatakan,”Ini kan demokrasi!” Padahal demokrasi hanya akan membuka pintu kebebasan (tanpa aturan agama) bagi umat manusia. Hal ini bukanlah jalan Salaf!

Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi

Beliau mengatakan,
“Segala puji bagi Allah. Sungguh saya sering mengingatkan tentang (dampak negatif) demonstrasi di dalam khutbah hari raya maupun khutbah-khutbah jum’at”___________selesai

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Beliau menjelaskan,
“Agama kita  bukan agama yang kacau tanpa aturan, akan tetapi agama kita adalah agama yang mapan, teratur rapi,  dan mengajarkan ketenangan. Demonstrasi bukan termasuk amalan umat Islam. Kaum muslimin tidak mengenal demonstrasi!
Islam adalah agama yang mengajarkan ketenangan, kasih saying, dan kestabilan. Di dalam Islam tidak ada ajaran kekacauan,kerusuhan maupun menimbulkan fitnah. Inilah agama Islam
Hak-hak masyarakat dapat diperoleh dengan permohonan dan cara-cara syar’i. Adapun demonstrasi hanya akan menyebabkan kerusakan harta. Maka,perkara yang demikian tidak boleh” __________selesai

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Beliau pernah ditanya,
”Apakah juga termasuk dalam pengertian hadits tersebut ; seseorang yang melakukan demosntrasi untuk menentang kenaikan harga dan urusan dunia semisalnya? Apabila terjadi kedzoliman di sana?”
Beliau menjawab,
“Demonstrasi termasuk tindakan bodoh! Hal ini tidak dikenal (pada masa lalu oleh umat Islam). Demonstrasi adalah perkara yang baru saja muncul yang diadopsi kaum muslimin dari orang-orang kafir”_______selesai

Disusun oleh Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i
Referensi : Fatawa Al Ulama’ Fii Tahriimi Al Mudhoharaat (sebuah lembaran buletin)
Diterbitkan oleh Kementrian Urusan Islam,Wakaf,Dakwah dan Irsyad Kerajaan Arab Saudi
Sumber: http://www.salafy.or.id/2012/04/13/demonstrasi-hanya-menambah-petaka/
via http://kajianislamitb.wordpress.com/2012/04/16/demonstrasi-hanya-menambah-petaka/#more-950

Rabu, 13 Februari 2013

Sebarkanlah Salam Maka Kalian Akan Saling Mencintai



(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

Satu kebiasaan yang ringan namun bisa jadi jarang diterapkan di tengah keluarga kita adalah menyebarkan salam. Padahal banyak buah kebaikan yang bisa dipetik dari ucapan yang mengandung muatan doa ini.
Salah satu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat muslim adalah menyebarkan salam. Karena dengannya akan tumbuh rasa saling cinta di antara mereka, biarpun tidak saling mengenal.


Betapa banyak kita temui anjuran Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita untuk menyebarkan salam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia(1). Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)


Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”
(HR. Muslim no. 54)


Al-Imam An-Nawawi menjelaskan, dalam hadits ini terdapat anjuran kuat untuk menyebarkan salam dan menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin, baik yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal.
(Syarh Shahih Muslim, 2/35)

Beliau juga menjelaskan bahwa ucapan salam merupakan pintu pertama kerukunan dan kunci pembuka yang membawa rasa cinta. Dengan menyebarkan salam, semakin kokoh kedekatan antara kaum muslimin, serta menampakkan syi’ar mereka yang berbeda dengan para pemeluk agama lain. Di samping itu, di dalamnya juga terdapat latihan bagi jiwa seseorang untuk senantiasa berendah diri dan mengagungkan kehormatan kaum muslimin yang lainnya.
(Syarh Shahih Muslim, 2/35)

Al-Bara` bin ‘Azib menukilkan sabda Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wasallam :
أَفْشُوا السَّلاَمَ تَسْلَمُوا
“Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat.”
(HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 604: hasan)


Maksudnya di sini, kalian akan selamat dari sikap saling menjauh dan pemutusan hubungan, serta akan langgeng rasa saling cinta di antara kalian. Hati kalian pun akan bersatu, dan hilanglah permusuhan serta pertikaian.
(Faidhul Qadir, 2/22)

‘Abdullah bin ‘Amr mengatakan, Rasulullah ­shallallahu ‘alaihi wasallam  pernah bersabda:
اعْبُدُوا الرَّحْمَنَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَأَفْشُوا السَّلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِالسَّلاَمِ
“Ibadahilah Ar-Rahman, berikan makanan dan sebarkan salam, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1855, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)


Banyak nukilan ucapan para salaf kita yang shalih yang menunjukkan keutamaan mengucapkan salam. Di antaranya dari ‘Abdullah bin Mas’ud:
إِنَّ السَّلاَمَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ وَضَعَهُ اللهُ فِي الْأَرْضِ، فَأَفْشُوهُ بَيْنَكُمْ، إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَلَّمَ عَلَى الْقَوْمِ فَرَدُّوا عَلَيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ، لِأَنَّهُ ذَكَّرَهُمُ السَّلاَمَ، وَإِنْ لَمْ يُرَدَّ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَأَطْيَبُ
“Sesungguhnya As-Salam adalah salah satu nama Allah yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam di antara kalian. Sesungguhnya bila seseorang mengucapkan salam kepada suatu kaum, lalu mereka menjawab salamnya, maka dia memiliki keutamaan derajat di atas mereka karena dia telah mengingatkan mereka dengan salam. Dan bila tidak dijawab salamnya, maka akan dijawab oleh makhluk yang lebih baik darinya.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 793: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)


Abu Hurairah radiyallahu 'anhu pernah mengatakan:
أَبْخَلُ النَّاسِ الَّذِي يَبْخَلُ بِالسَّلاَمِ
“Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 795: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)


Setelah mengetahui keutamaan amalan ini serta pentingnya dalam kehidupan masyarakat muslimin, tentu tak layak bila kita remehkan. Lebih-lebih berkaitan dengan pendidikan anak-anak kita. Semenjak awal mestinya mereka dikenalkan dan dibiasakan dengan ucapan salam sebagaimana yang diajarkan oleh syariat ini.
Bagaimana mungkin akan kita biarkan anak-anak kita saling mengucapkan salam atau melontarkan sapaan dengan ucapan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau bahkan mengadopsi dari kebiasaan orang-orang kafir? Betapa banyak kaum muslimin yang masih membiasakan anak-anak mereka ketika berpisah melambaikan tangan sambil mengatakan, “Daaag!” Atau ketika bertemu dengan anak-anaknya dia menyapa, “Halo, Sayang!” Begitu pula si anak akan menjawab, “Halo, Papa! Halo, Mama!”

Betapa banyak itu terjadi, dan masih banyak pula gambaran yang lain. Sementara contoh yang begitu gamblang kita dapatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau biasa menyapa dan menyampaikan salam kepada anak-anak para sahabat.

Anas bin Malik, pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghabiskan masa kecilnya dalam bimbingan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ini menceritakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertemu dengan anak-anak kecil lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.”
(HR. Muslim no. 2168)


Peristiwa yang disaksikan oleh Anas bin Malik ini membekas dalam dirinya, sehingga Anas pun melakukannya. Diriwayatkan oleh Tsabit Al-Bunani, bahwa dia pernah berjalan bersama Anas bin Malik, melewati anak-anak kecil. Lalu Anas mengucapkan salam kepada mereka, dan mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ n يَفْعَلُهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu biasa melakukannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)


Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini diikuti pula oleh sahabat yang lainnya. Diceritakan oleh ‘Anbasah bin ‘Ammar:
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُسَلِّمُ عَلَى الصِّبْيَانِ فِي الكُتَّابِ
“Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar memberi salam kepada anak-anak kecil di kuttab(2).”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 797: shahihul isnad)


Al-Imam An-Nawawi menjelaskan tentang hadits Anas bin Malik di atas:
“Hadits ini menunjukkan disenanginya memberi salam kepada anak-anak yang berusia tamyiz.”
(Syarh Shahih Muslim, 14/148)


Al-Hafizh menukil penjelasan Ibnu Baththal: “Dalam pemberian salam kepada anak-anak ini terdapat pendidikan terhadap adab-adab syariat. Di dalamnya terkandung pula sikap menjauhi kesombongan pada diri orang-orang yang besar, perilaku tawadhu’, serta lemah-lembut kepada orang-orang di sekitar.”
|(Fathul Bari, 11/40-41)



** Memperdengarkan Ucapan Salam

Ketika menyampaikan salam, hendaknya seseorang memperdengarkan ucapan salamnya. Diriwayatkan oleh Tsabit bin ‘Ubaid:
أَتَيْتُ مَجْلِسًا فِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ فَقَالَ: إِذَا سَلَّمْتَ فَأَسْمِعْ، فَإِنَّهَا تَحِيَّةٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةٌ طَيِّبَةٌ
“Aku pernah mendatangi suatu majelis yang di situ ada ‘Abdullah bin ‘Umar. Maka beliau berkata, ‘Apabila engkau mengucapkan salam, perdengarkan ucapanmu. Karena ucapan salam itu penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan’.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 769: shahihul isnad)



** Ucapan Salam ketika Datang dan Pergi

Anak-anak sudah semestinya dibiasakan untuk mengucapkan salam ketika datang dan pergi. Perlu pula mereka mengetahui, ucapan salam yang lebih utama. Seseorang yang mengucapkan salam dengan sempurna tentu memiliki keutamaan.

Diceritakan oleh Abu Hurairah radiyallahu 'anhu:
إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ فِي مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُونَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا الْأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ
Ada seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu ‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat duapuluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tigapuluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 757: shahih)



** Yang Muda Memberi Salam pada yang Lebih Tua

Hendaknya anak-anak diajari pula agar memberi salam kepada orang yang lebih tua. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah:
يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ
“Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.”
(HR. Al-Bukhari no.6234 dan Muslim no. 2160)


Ibnu Baththal mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh: “Pemberian salam orang yang lebih muda (kepada yang lebih tua, –pent.) disebabkan hak orang yang lebih tua. Karenanya orang yang lebih muda diperintahkan untuk memuliakannya serta bersikap rendah hati kepadanya.”
(Fathul Bari, 11/22)


** Mengucapkan Salam ketika Masuk Rumah

Hal yang tak patut ketinggalan dalam pembiasaan salam adalah mengucapkan salam ketika masuk rumah. Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia:
“Apabila kalian memasuki rumah, maka ucapkanlah salam bagi diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan.”
(An-Nur: 61)


Yang dimaksudkan di sini, mencakup rumah miliknya maupun rumah orang lain, baik di rumah itu ada orang ataupun tidak. Makna firman Allah ta’ala: “Maka ucapkanlah salam bagi diri kalian”, hendaknya seseorang mengucapkan salam kepada yang lainnya. Karena kaum muslimin itu bagaikan satu individu, dari sisi saling cinta dan saling menyayangi serta mengasihi di antara mereka. Sehingga ucapan salam disyariatkan ketika memasuki semua rumah, tanpa dibedakan rumah yang satu dengan yang lain.
(Taisirul Karimir Rahman, hal. 575)

Dijelaskan pula oleh para pendahulu kita yang shalih, di antaranya Mujahid dan Qatadah, “Apabila engkau masuk rumah untuk menemui keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka. Apabila engkau masuk rumah yang tak berpenghuni, ucapkanlah:السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ .
(Tafsir Ibnu Katsir, 5/431)


Ini perlu dibiasakan pada anak-anak, karena orang yang masuk rumah dengan mengucap salam memiliki keutamaan. Diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: (مِنْهَا) وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Ada tiga orang yang mendapat jaminan dari Allah subhanahu wata’ala, (di antaranya) seseorang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka dia mendapatkan jaminan dari Allah subhanahu wata’ala.”
(HR. Abu Dawud no. 2494, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
 
** Menjawab Salam dengan yang Lebih Baik

Tak lepas dari permasalahan ini, anak-anak diajarkan pula cara menjawab salam sebagaimana dituntunkan oleh syariat. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan:
“Dan apabila kalian diucapkan salam penghormatan, balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa”
(An-Nisa`: 86)


Al-Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, balaslah dengan ucapan salam yang lebih utama daripada yang dia ucapkan, atau balaslah sebagaimana yang dia ucapkan. Sehingga membalas dengan menambah ucapan salam itu disunnahkan, dan membalas dengan ucapan yang sama itu diwajibkan.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/269)


Demikian yang semestinya dilakukan oleh setiap orangtua dalam menanamkan kebiasaan ini. Begitu pula hendaknya yang ditempuh oleh seorang pengajar yang mendidik anak-anak.
Dinasihatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Seorang pengajar apabila memasuki kelas hendaknya mengucapkan salam dengan mengatakan السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, dan hendaknya dia mengetahui bahwa ini adalah perilaku Islami yang agung, yang memperkuat ikatan cinta dan kepercayaan di antara murid, maupun antara pengajar dengan muridnya.”
Beliau menambahkan: “Tidak sepantasnya salam yang diucapkan itu berupa kalimat ‘selamat pagi’ atau ‘selamat sore’. Namun tidak mengapa bila setelah mengucapkan salam dia ucapkan perkataan itu dengan sedikit perubahan, seperti misalnya ‘Semoga Allah berikan kebaikan padamu pagi ini’, sehingga ucapan itu mengandung makna doa….”
(Nida` ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal. 17)


Inilah tuntunan Islam dalam mempererat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin. Tentunya, harus kita tinggalkan kebiasaan-kebiasaan yang jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai gantinya, menghidupkan sunnah yang demikian benderang ini dalam kehidupan kita dan anak-anak kita.
Wallahu ta’ala a’lamu bish­-shawab

sumber: http://asysyariah.com/menyebarkan-salam.htm

Selasa, 12 Februari 2013

Seputar Valentine's Day (Fatwa-Fatwa Ulama dalam Menyikapinya)

Bismillah

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Semoga ALLAH Azza Wa Jalla senantiasa menjaga kita dari hal-hal yang tidak disukai olehNya.

Pernah denger Valentine ? Pasti donk, namanya juga anak muda. ! Nah, karena anak muda, coba simak bacaan dibawah ini.

Saudara pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua..
Jauh dari ilmu agama dan cinta terhadap dunia beserta segenap perhiasannya, adalah dua sebab mendasar yang membuat kaum muslimin semakin jauh dari agamanya. Di sisi lain arus deras dari kebudayaan barat (baca: kafir) terus merongrong umat ini, dengan embel-embel modernisasi, intelektual, aspiratif, dan lain sebagainya. Sehingga membuat segala sesuatunya (cara makan, gaya busana, pola hidup bermasyarakat, bahkan dalam berpolitik), baik atau tidaknya diukur dari budaya barat.

Dalam kondisi seperti inilah umat Islam yang ‘semakin minder’ dengan agamanya sangat mudah dipengaruhi, diombang-ambingkan, ikut-ikutan semata, bagaikan asap yang terbang mengikuti arah angin berhembus. Valentine’s Day misalnya, tidak sedikit dari kaum muslimin terkhusus kalangan remajanya ikut larut dalam perayaan ini, meski tidak tahu-menahu hakikat sebenarnya dari perayaan tersebut (lihat Al-Ilmu edisi 6/ II/ VII/ 1430).

Risalah ini kami tujukan kepada para muda-mudi umat Islam yang masih sayang pada dirinya, juga untuk para orang tua yang kelak (di yaumul akhir) akan ditanya tentang kepemimpinannya (terhadap keluarganya), juga untuk para pendidik yang masih peduli dengan adab dan akhlak anak didiknya, dan segenap kalangan yang masih mencintai Islam ini sebagai agamanya.
Berikut ini kami sampaikan fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah berkaitan dengan Valentine’s Day.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
Beliau ditanya: Telah banyak tersebar baru-baru ini perayaan Valentine’s Day (‘Idul Hubb) -terkhusus di kalangan pelajar putri- itu merupakan salah satu hari raya orang-orang Kristen. Pada hari itu mode dan pakaian serba merah semua, baik pakaian maupun sepatu. Mereka saling tukar/menghadiahkan bunga berwarna merah. Kami mohon penjelasan tentang hukum perayaan seperti ini, dan bimbingan untuk kaum muslimim dalam permasalahan ini? Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara anda.
Jawaban: Merayakan Valentine’s Day dilarang karena beberapa sebab:
1. Hal tersebut merupakan perayaan bid’i (yang diada-adakan) tidak ada dasarnya dalam syari’ah.
2. Dapat mengantarkan kepada kecintaan dan birahi.
3. Hal tersebut menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara yang rendah dan menyelisihi bimbingan as-salafush shalih radhiyallaahu’anhum.
Maka tidak diperbolehkan pada hari tersebut melakukan syi’ar-syi’ar hari raya Valentine’s Day sedikit pun, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, dan yang lainnya. Wajib atas setiap muslim untuk merasa mulia dengan agamanya dan tidak bersikap oportunis dengan gampang mengikuti setiap seruan.

Saya mohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, dan agar Dia melindungi kami dengan perlindungan dan taufiq-Nya.
[Majmu' Fatawa wa Rasail ibni 'Utsaimin XVI/124]
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Lajnah ditanya: Pada tanggal 14 Februari setiap tahun masehi sebagian orang merayakan hari kasih sayang yang dikenal dengan Valentine’s Day. Pada hari itu mereka saling memberi hadiah bunga mawar merah, memakai baju merah, dan saling memberikan ucapan selamat. Demikian juga pabrik-pabrik permen, membuat permen dengan warna merah dan membuat gambar hati padanya. Tidak ketinggalan juga sebagian toko mempromosikan barang-barang khas hari tersebut. Bagaimana pendapat anda:
1. Merayakan hari tersebut?
2. Membeli dari toko-toko pada hari tersebut?
3. Para pemilik toko yang tidak ikut merayakan hari tersebut tetapi menjual kepada orang yang hendak membeli hadiah pada hari tersebut?
Jazaakumullahu khairan (semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas anda semua dengan kebaikan)
Jawaban: Dalil-dalil yang tegas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus kesepakatan para Salaful Ummah, bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Adapun hari raya selain kedua hari tersebut, baik perayaan berkenaan dengan seseorang, kelompok, peristiwa, atau makna apapun, maka itu merupakan hari raya yang diada-adakan dalam agama. Tidak boleh bagi pemeluk agama Islam untuk merayakannya, menyetujuinya, ataupun menampakkan kegembiraan terhadap hari tersebut, serta tidak boleh pula membantu (perayaan tersebut) sedikitpun. Karena perbuatan tersebut termasuk melanggar batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala, dan barang siapa yang melanggar batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Berikutnya, disamping ia perayaan yang diada-adakan dalam agama, ia juga merupakan hari rayanya orang kafir, maka itu dosa di atas dosa. Karena pada perbuatan tersebut terdapat unsur tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir dan loyalitas kepada mereka.

Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kaum mukminin dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan Allah subhanahu wa ta’ala juga melarang kaum muslimin dari berloyalitas kepada mereka dalam kitab-Nya yang mulia.
Telah pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4031, Ahmad II/50]

Valentine’s Day termasuk jenis yang dimaksudkan di atas, karena ia termasuk hari raya watsaniyyah (paganisme/para penyembah berhala) nashraniyyah. Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir untuk ikut merayakan hari raya tersebut, atau menyetujuinya, atau turut mengucapkan selamat. Sebaliknya, wajib atasnya untuk meninggalkan dan menjauhinya dalam rangka memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, serta menjauhi sebab-sebab yang mendatangkan kemurkaan dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian juga haram atas seorang muslim untuk turut membantu/berpartisipasi pada hari perayaan tersebut ataupun hari raya kafir/bid’ah terlarang lainnya, dalam bentuk apapun, baik makanan, minuman, jual beli, produksi, hadiah, kartu-kartu ucapan selamat, iklan, atau yang lainnya. Karena itu semua merupakan bentuk kerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan, serta bentuk kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Bertakwalah (takutlah) kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Keras adzab-Nya.” (Al-Maidah: 2)

Wajib atas setiap muslim untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam semua kondisinya, terutama ketika fitnah dan kerusakan banyak bermunculan. Wajib atasnya untuk jeli berpikir dalam rangka waspada dari terjatuh dalam kesesatan umat yang dimurkai (Yahudi) dan umat yang tersesat (Nashrani), dan orang fasik yang tidak percaya akan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak peduli sama sekali terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan memohon hidayah-Nya dan keteguhan diri di atasnya. Karena sesungguhnya tidak ada yang memberi hidayah dan mengokohkannya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

Wabillahi taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala alihi wa sallam.
[Fatwa No. 21203]
Fatwa ini ditandatangani oleh: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Asy-Syaikh (Ketua), Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid (Anggota), Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (Anggota), dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan (Anggota).

Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakan Valentine’s Day?
Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Dan Hari Kasih Sayang adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Sehingga apa yang menghalangi untuk merayakannya?

Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:
1. Hari Raya Dalam Islam Telah Ditentukan
Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hari raya merupakan salah satu syi’ar yang sangat agung. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali hari Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha. Perkara ibadah harus ada dalilnya. Tidak boleh seseorang membuat hari raya sendiri yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang ataupun selainnya yang diada-adakan adalah perbuatan mengada-adakan (bid’ah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang menetapkan syariat.

2. Tasyabbuh Terhadap Orang-orang Kafir.
Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi paganis, juga menyerupai kaum Nashrani yang meniru mereka (Romawi), padahal ini tidak termasuk (amalan) agama mereka. Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nashrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, maka bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka menirunya dari para penyembah berhala?

Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir -baik penyembah berhala atau ahli kitab- baik dalam aqidah, ibadah, maupun dalam adat yang menjadi kebiasan, akhlak, dan perilaku mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali-’Imran: 105)

Dan juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya Telah diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4031, Ahmad II/50]

Tasyabbuh terhadap orang kafir dalam perkara agama mereka -diantaranya adalah Hari Kasih Sayang- lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Karena agama mereka tidak terlepas dari tiga hal: yang diada-adakan, atau yang telah dirubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Sehingga tidak ada sesuatupun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

3. Perayaan Kasih Sayang Untuk Semua Manusia.
Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam. Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak menzhaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik dengan syarat; tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala bahkan memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta, dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan yang ada di batin akan melahirkan sikap menyerupai.” [Al-Iqtidha': I/490]

4. Kasih Sayang Karena Syahwat.
Kasih sayang yang dimaksud dalam tasyabbuh ini semenjak dihidupkan oleh kaum Nashrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran di luar hubungan pernikahan. Buahnya, tersebarnya zina dan kekejian yang karenanya pemuka agama Nashrani -pada waktu itu- menentang dan melarangnya.
Kebanyakan para pemuda muslimin merayakannya pun karena menuruti syahwat dan bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nashrani. Namun hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh terhadap orang kafir dalam salah satu perkara agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, yang merupakan pintu menuju zina.

Wallahu ta’ala a’lam bis showab.
Buletin Islam AL ILMU Edisi: 8/II/VIII/1431
Link : http://www.darussalaf.or.id/aqidah/seputar-valentines-day-fatwa-fatwa-ulama-dalam-menyikapinya/

Bahasan Singkat Tentang Menutup Aurat

Bismillah

Ditulis Oleh Ustadz Marwan

Propaganda musuh-musuh islam senantiasa dan semakin dilancarkan dalam  segala sisi kehidupan. Hal tersebut telah ter-nash-kan dalam Firman Allah Ta’aala berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh musuh-musuh islam dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Allah Ta’aala berfirman :
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ 
Dan tidaklah akan pernah meridhai kalian orang-orang Yahudi dan Nasrani hingga kalian ikuti millah (agama) mereka….(Al-Baqarah : 120).
Di antara perkara yang dilancarkan oleh musuh-musuh islam terhadap kaum muslimin adalah upaya mereka untuk menghancurkan wanita-wanita muslimah dengan propaganda yang mereka serukan di antaranya seruan  persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala bidang tanpa terdapat pengecualian, emansipasi, tabbaruj (memamerkan aurat tubuh) dan selainnya.

Maka kaum muslimin secara umum dan terkhusus wanita-wanita muslimah harus tersadar akan hal tersebut. Bahwa berhijab mengenakan pakaian yang sesuai dengan ketentuan syari’at adalah bukan perkara berganti seragam ala timur tengah setelah seseorang memahami agamanya dengan benar (sesuai ungkapan perkataan sebagian orang). Wanita-wanita muslimah mengenakan hijab dengan menutup wajah-wajah mereka urusannya bukan perkara  menguntungkan para pedagang pakaian dari negeri Saudi, Yaman atau Pakistan, sehingga urusannya bukan masalah mencintai produk dalam atau luar negeri. Akan tetapi semua itu dikenakan adalah dalam rangka upaya untuk taat atas perintah Allah dan Rasul-Nya.

Di bawah ini kami bawakan dua fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana tuntunan syari’at yang mulia ini dalam memberikan batasan hukum atas aurat wanita ketika di sisi wanita yang lain sebagaimana disebutkan di dalam kitab Liqaa-aatul Baabil Maftuh pada pertanyaan nomor 940.

Pertanyaan : Fadzilatusy-Syaikh, Apa yang boleh bagi seorang wanita untuk membuka anggota badannya di sisi wanita yang lain?

Jawab : Wajib bagi wanita untuk memakai baju syar’i yang berfungsi sebagai penutup. Dan dulu gambaran  pakaian wanita-wanita para sahabat adalah sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang selainnya : Yaitu pakaian dari telapak tangan sampai mata kaki ketika di dalam rumah-rumah mereka. Dan jika mereka keluar rumah, mereka memakai pakaian yang panjang yang melebihi dari kaki-kaki mereka sepanjang satu jengkal, dan Nabi shollallohu’alaihi wa sallam memberikan rukhshah /keringanan kepada mereka sampai satu telapak hasta yaitu agar menutupi kaki-kaki mereka. Ini berkenaan dengan wanita yang berpakaian. Dan jika mereka mengangkat pakaian lebih tinggi dari keadaan itu berarti termasuk seorang yang berpakaian tapi telanjang.

Adapun berkaitan dengan wanita yang melihat maka tidak boleh baginya untuk melihat aurat wanita yaitu tidak boleh untuk melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut, semisal ketika seorang wanita sedang membuang hajatnya, maka saat tersebut tidak boleh seorang wanita melihat kepada wanita tadi. Karena berarti melihat auratnya. Adapun yang di atas pusar atau di bawah lutut maka jika seorang wanita terkadang terbuka dari padanya karena suatu keperluan, misalnya seorang wanita mengangkat pakaiannya dari betisnya karena ia melewati tanah becek misalnya atau ia menghendaki untuk mencuci betisnya dan di sisinya terdapat wanita yang lain maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Atau mengeluarkan payudaranya untuk menyusui anaknya di hadapan para wanita maka yang demikian ini tidaklah mengapa.

Akan tetapi tidaklah difahami dari perkataan kita, sebagaimana yang difahami sebagian para wanita yang kurang memiliki pengetahuan, bahwa maknanya adalah bahwa seorang wanita boleh memakai pakaian yang hanya menutupi pusar dan lututnya saja, maka ini adalah kekeliruan dalam  pemahaman. Dan demikian itu adalah kesalahan yang besar terhadap kitabulloh dan  sunnah RosulNya dan kesalahan besar dalam memahami syari’ah Alloh dan kesalahan besar terhadap Salaful Ummah. Barangsiapa yang mengatakan : Sesungguhnya wanita itu boleh hanya memakai sirwal yang hanya menutupi apa yang ada di antara pusar dan lutut. Apakah demikian ini pakaian para wanita ? maka tidak mungkin!

Bagi wanita wajib untuk memakai pakaian pada badannya dari telapak tangan sampai mata kaki. Adapun wanita yang lain yang melihat pada wanita ( secara hukum ) maka boleh untuk melihat di atas dada dan betis akan tetapi tidak boleh baginya melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut. Jika terbuka pakaiannya maka wanita yang lain tidak boleh melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut.

Pertanyaan : Fadzilatusy-Syaikh, aku telah membaca tulisan anda yaitu sebagai jawaban ketika terdapat pertanyaan kepada anda : Bagi seorang wanita ia boleh membuka di hadapan  mahromnya yaitu dari wajah, kepala, lutut, dua telapak tangan, dua lengan, dua kaki dan dua betis dan ditutup selain dari pada itu. Apakah perkara tersebut adalah mutlak, secara khusus yaitu bahwa pendapat anda ya syaikh, berkaitan dengan pakaian pendek untuk anak-anak wanita dan wanita secara umum adalah tidak boleh?

Jawab : Kami kalau mengatakan bahwa boleh untuk membuka demikian dan demikian maka bukanlah maknanya adalah hendaklah pakaian tersebut dengan batasan tersebut. Akan tetapi  kita anggap bahwa seorang wanita memakai pakaian yang menutupi sampai mata kaki, kemudian dalam keadaan tersebut apabila terbuka betisnya karena sesuatu hal dari aktifitasnya, maka yang demikian ini tidaklah berdosa jika tidak ada di tempat tersebut kecuali mahromnya atau tidak ada di situ kecuali para wanita.
Adapun mengenakan pakaian yang pendek maka kami melarang dan memperingatkannya, karena kami mengetahui –walaupun perkara tersebut adalah boleh- karena dengan berjalannya waktu akan diletakkan lebih banyak dari perkara tersebut sebagaimana kebiasaan dalam masalah selain ini. Yaitu manusia melakukan sesuatu pada awal waktu dalam bentuk suatu perkara yang mubah, kemudian berkembang dengan berjalannya waktu kepada perkara yang diharomkan dan tidak ada keraguan tentang keharomannya, sebagaimana bahwa Nabi shollallohu’alaihi wa sallam mengatakan :
لا تَنْظُر المَرْأةُ إلى عَورَةِ المَرْأة.
Artinya : Janganlah seorang wanita melihat kepada aurot wanita.
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim npmor (338) Kitab Al-Haidh).
Bukanlah maknanya bahwa seorang wanita itu boleh untuk memakai pakaian  yang hanya menutupi apa yang ada di antara pusar dan lututnya saja. Tidaklah seorangpun berpendapat demikian, akan tetapi maknanya kalau terbuka dari seorang wanita apakah dadanya, atau betisnya bersamaan dengan pakaian yang dikenakan tersebut adalah mencukupinya, maka yang demikian ini tidaklah diharomkan melihatnya dari sisi sesama wanita. Kita ambil permisalan : Seorang wanita dalam keadaan menyusui anaknya dan terbuka payudaranya karena dalam rangka menyusui anaknya, maka kita tidak mengatakan bagi si wanita lain, sesungguhnya penglihatanmu terhadap payudara si wanita tersebut adalah harom. Karena yang demikian itu bukanlah aurot (bagi si wanita lain tersebut,pent). Adapun kalau ada seorang wanita dan ia mengatakan : Aku tidaklah memakai pakaian kecuali sirwal (celana panjang) saja yang hanya  menutupi antara pusar dan lutut, maka tidaklah seorangpun berpendapat dengan pendapat demikian ini, dan perkara tersebut adalah tidak boleh. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- telah menyebutkan bahwa pakaian kalangan para sahabat wanita adalah dari telapak tangan sampai mata kaki mereka, yang demikian ini ketika di rumah-rumah mereka. Adapun jika mereka keluar ke pasar maka suatu  perkara yang diketahui yaitu tentang hadits Ummu Salamah bahwa para wanita itu menjulurkan pakaiannya. Dan Nabi shollallohu’alaihi wa sallam memberikan rukhshoh sampai satu jengkal hasta *. Yaitu karena agar tidak terbuka kedua kakinya jika berjalan. (Liqoaatul Baabil Maftuh –Al-Liqoouts-Tsamin-‘Ashar-, pertanyaan nomor 660).
* ( Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzy nomor (3580) Kitab Al-Libas dan ia mengatakan : Hadits ini hasan shohih. Abu Dawud nomor (4117) Kitab Al-Libas. Ibnu Majah nomor (3580) Kitab Al-Libas. An-Nasai nomor ( 5336) Kitab Az-Ziinah.

Demikian bahasan singkat berkaitan dengan menutup aurot sesuai dengan tuntunan syari’ah antara sesama wanita dan wanita di hadapan mahramnya. Bagaimana dengan seorang wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahromnya. Di dalam syari’ah ini juga telah membahas perkara tersebut. Sehingga sekali lagi kita tekankan bahwa menutup aurat (dalam hal ini adalah memakai pakaian yang paling memenuhi sesuai ketentuan syari’at) apakah untuk kalangan laki-laki dan wanita dengan upaya mengikuti generasi para shahabat sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah urusannya adalah bukan masalah mengganti seragam setelah mengenal pemahaman agama ini dengan benar. Demikian pula bukan urusannya dalam rangka mengikuti program cinta produk dalam negeri atau luar negeri, dan demikian pula urusannya bukan masalah apakah menguntungkan para pengusaha pakaian dari negeri-negeri timur tengah, Saudi, Yaman atau Pakistan atau Negara lain. Tetapi urusannya adalah upaya untuk mengikuti jejak generasi salaful ummah bagaimana mereka berpakaian dengan pakaian yang paling memenuhi syarat sesuai ketentuan syari’at.

Sumber : http://www.salafy.or.id/bahasan-singkat-tentang-menutup-aurat/

Senin, 11 Februari 2013

Faedah Shalawat Untuk Nabi صلى الله عليه وسلم & Hukum Menyingkat Tulisan Shalawat

Bismillah


 Oleh: Samâhatusy Syaikh ‘Abdul ‘Azîz ibn ‘Abdullâh ibn Bâz رحمه الله

Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW atau dengan tulisan Arab صلعم, singkatan dari صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم?

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz رحمه الله menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah عز وجل, menyepakati Allah سبحانه وتعال dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم. Allah عز وجل berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
(Al-Ahzab: 56)
Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau صلى الله عليه وسلم dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim رحمه الله dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”
Dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه juga, disebutkan bahwa Rasululah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لا تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلا تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَصَلُّوْ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُمَا كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan2 dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id3. Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”4
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah pula bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”5
Bershalawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.
Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah عز وجل kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya ص atau صلعم ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah عز وجل dalam firman-Nya:
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
* Ibnu Shalah رحمه الله dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan وَسَلَّمَ.
* Al-‘Allamah As-Sakhawi رحمه الله dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan ص, صم atau صلعم.6 Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
* As-Suyuthi رحمه الله berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang syariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah عز وجل:
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan صلعم, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz رحمه الله yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

2. Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)

3. Tempat Kumpul-kumpul. -pent.

4. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani رحمه الله dalam Shahih Abi Dawud. (-pent.)

5 HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil رحمه الله dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.” (-pent.)

6 Dalam bahasa kita sering disingkat dengan SAW. (-pent.)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91. Dinukil untuk http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy dan memperbanyak dengan menyertakan sumbernya.

Hukum Ibadah Yang Disertai Riya

Bismillah

riya'1 

Apa hukum ibadah yang disertai riya?
Jawab:
Berikut ini jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin terhadap pertanyaan di atas.

Riya yang menyertai ibadah itu ada tiga macam:

1. Riya yang sejak awal mendorong seseorang untuk melakukan ibadah.
Contohnya, seseorang melaksanakan shalat untuk Allah Subhanahu wata’ala dengan tujuan mendapat pujian/sanjungan manusia atas shalatnya. Riya yang seperti ini membatalkan ibadah.

2. Riya menyertai ibadah di tengah-tengah pelaksanaan ibadah.
Artinya, di awal ibadah ia ikhlas melakukannya karena Allah Subhanahu wata’ala, kemudian di tengah ibadah datanglah riya. Ibadah seperti ini tidak luput dari dua kemungkinan:

(a). Ibadah yang awal tidak berkaitan dengan akhir ibadah, maka yang awal (yang ikhlas semata karena Allah Subhanahu wata’ala) sah sedangkan yang didatangi riya batal.
Misalnya, seseorang memiliki uang seratus riyal yang ingin disedekahkan. Pada kesempatan pertama, ia mengeluarkan sedekah lima puluh riyal dengan ikhlas. Ketika hendak mengeluarkan lima puluh riyal yang tersisa, datanglah riya. Untuk kasus yang semacam ini, sedekah yang awal sahih dan diterima, sedangkan sedekah yang belakangan adalah sedekah yang batil karena keikhlasannya telah dicampuri riya.

(b). Ibadah yang awal berkaitan dengan yang akhir.
Pada ibadah yang seperti ini, seseorang tidak lepas dari dua keadaan:
(1) Ia berusaha menolak riya tersebut dan tidak merasa tenang dengannya. Bahkan, ia berusaha berpaling dari riya dan membencinya.
Jika seperti ini, riya tersebut tidak berpengaruh sedikit pun terhadap ibadah, berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya, Allah memaafkan dari umatku apa yang diucapkan oleh jiwanya (betikan hati) selama belum diamalkannya1 atau diucapkannya (dengan lisan).”2

(2) Ia merasa tenang-tenang saja dengan riya yang muncul tersebut dan tidak berusaha menolaknya.
Apabila demikian keadaannya, batallah seluruh ibadahnya karena ibadah yang awal bergandengan dengan yang akhirnya.
Contoh kasusnya, seseorang memulai shalatnya dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wata’ala. Datang riya pada rakaat yang kedua (tanpa ia berusaha melawan dan melepaskan diri darinya), maka batallah seluruh shalatnya karena bagian yang awalnya bergandengan dengan yang akhirnya.

(3). Riya datang setelah selesai melakukan ibadah.
Hal ini tidak memengaruhi ibadah yang telah selesai dilakukan dan tidak membatalkannya karena ibadah tadi telah selesai. Ibadah tersebut sah, tidak rusak disebabkan oleh riya yang muncul setelahnya.
Yang perlu diketahui, tidak termasuk riya ketika seseorang merasa gembira saat ada orang yang mengetahui ibadahnya karena hal itu muncul setelah ia selesai melakukan ibadah. Tidak pula termasuk riya ketika seseorang merasa senang dengan ketaatan yang telah dilakukannya karena hal itu justru menjadi bukti akan keimanannya.
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Siapa yang kebaikannya menggembirakannya dan kejelekannya menyusahkannya, maka dia adalah seorang mukmin.”3

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang hal tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin.”4
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/206—207)

Catatan Kaki:
1 Oleh anggota badan.
2 HR. Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dalam Shahih-nya, dan selain keduanya.
3 HR. ath-Thabarani dan dinyatakan sahih dalam Shahihul Jami’ no. 6294.
4 HR. Muslim dalam Shahih-nya.
sumber: http://asysyariah.com/ibadah-disertai-riya.html