Selasa, 11 Februari 2014

Bekal Untuk Jama’ah Haji Meraih Predikat Haji Mabrur

Bismillah

Berikut nasehat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika beliau ditanya:
‘Ada seorang muslim yang hendak menunaikan ibadah haji, apa saja hal-hal yang semestinya dia lakukan agar ibadah hajinya diterima insya Allah?’[1]
Beliau mengatakan:
Beberapa hal yang semestinya dia lakukan agar hajinya diterima adalah:
1.Berniat bahwa ibadah hajinya tersebut ditunaikan dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wajalla, inilah yang dimaksud dengan ikhlas.
2. Dan hendaknya dia juga mengikuti (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunaikan manasik hajinya, dan inilah yang dimaksud dengan mutaba’ah.
Sesungguhnya setiap amalan shalih itu tidak akan diterima (di sisi Allah ‘azza wajalla) kecuali dengan terpenuhinya dua syarat yang pokok tersebut, yaitu: ikhlas dan mutaba’ah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al-Bayyinah: 5]
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan tersebut.”[2]
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan kami, maka amalannya tersebut tertolak.”[3]
Inilah kewajiban terpenting bagi seorang jama’ah haji, untuk dia mendasarkan amalannya di atas keikhlasan kepada Allah ta’ala dan mutaba’ah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji:
“Hendaknya kalian mengambil dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian.”[4]
Dan di antara hal yang semestinya dilakukan oleh seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji adalah harta/uang yang digunakan itu berasal dari harta yang halal, karena menunaikan ibadah haji dengan menggunakan harta yang haram, maka ini hukumnya adalah haram. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hajinya tidak sah jika seseorang berhaji dengan menggunakan harta yang haram.
Sebagian ulama juga ada yang mengatakan dalam bait syairnya:
“Jika engkau berhaji dengan harta yang asalnya haram.
Maka pada hakekatnya engkau tidak berhaji, akan tetapi untanya sajalah yang berhaji.”
Yakni hanya untanya (kendaraannya) sajalah yang berhaji.
Dan di antara hal yang semestinya dilakukan oleh seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji adalah menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Allah ‘azza wajalla, berdasarkan firman-Nya:
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” [Al-Baqarah: 197]
Maka hendaknya dia menjauhi segala yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla secara umum, baik ketika haji maupun yang lainnya, seperti perbuatan fasik, maksiat, ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, mendengarkan alat-alat permainan (musik) dan yang semisalnya.
Dan hendaknya dia juga menjauhi dari segala yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla secara khusus ketika haji, seperti rafats, yaitu menggauli istri. Dan juga (termasuk yang diharamkan adalah) memotong rambut. Dia juga harus menjauhi (tidak mengenakan) pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dipakai ketika ihram. Dengan kata lain, dia harus menjauhi semua mahzhuratul ihram (hal-hal yang terlarang ketika ihram).[5]
Dan bagi seorang jama’ah haji, hendaknya dia juga bersikap lembut, mudah (toleran), dan pemurah (suka memberikan bantuan kepada orang lain) dengan harta, kedudukan, dan amalannya, serta berbuat baik kepada saudara-saudaranya semaksimal kemampuan dia.
Wajib pula baginya untuk menjauhi segala perbuatan yang merupakan bentuk gangguan terhadap kaum muslimin, baik ketika di masya’ir (tempat-tempat tertentu untuk menunaikan manasik), maupun di pasar-pasar. Tidak mengganggu kaum muslimin ketika kondisinya sedang berdesakan, baik di tempat thawaf, tempat sa’i, tempat melontar jumrah, dan yang lainnya.
Inilah beberapa hal yang semestinya atau bahkan wajib bagi seorang jama’ah haji untuk diamalkan.
Dan di antara faktor terpenting untuk merealisasikan itu semua adalah hendaknya seseorang mencari pendamping (dan pembimbing) dari kalangan orang-orang yang berilmu, sehingga dia bisa mengingatkan (dan mengajarinya) dalam permasalahan agamanya. Jika tidak bisa mencari pendamping/pembimbing dari seorang yang berilmu, maka hendaknya dia membaca kitab-kitab karya ulama yang terpercaya (dan bisa dijadikan sandaran) sebelum berangkat haji agar dia benar-benar bisa beribadah kepada Allah ta’ala di atas bashirah (ilmu).
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=341156 nukilan dari http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_5580.shtml dengan tambahan catatan kaki dari penerjemah.
[1] Hanya Allah ta’ala saja yang mengetahui apakah amalan seseorang diterima di sisi-Nya atau tidak. Alhamdulillah syari’at ini telah membimbing dan memberikan petunjuk kepada kita tentang beberapa hal yang menjadi sebab diterimanya amalan seorang hamba di sisi Allah ta’ala sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, maka seorang hamba dituntut untuk berusaha agar amalannya diterima di sisi Allah ‘azza wajalla dengan menjalankan bimbingan dan petunjuk syari’at tersebut.
[2] Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
[3] HR. Muslim, dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[4] HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dari shahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Dan dengan lafazh yang semakna juga diriwayatkan oleh Muslim.
[5] Insya Allah beberapa hal yang termasuk mahzhuratul ihram telah dipelajari oleh masing-masing jama’ah haji.
http://catatanmms.wordpress.com/2011/09/29/bekal-untuk-jama%E2%80%99ah-haji-meraih-predikat-haji-mabrur/

Senin, 10 Februari 2014

Wanita Itu Aurat Maka Bila Ia Keluar Rumah, Syaitan Menyambutnya


Wanita itu aurat maka bila ia keluar rumah syaitan menyambutnya.” 
(HR. At-Tirmidzi no. 1183, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 273, dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36) 
Saudariku muslimah…
Telah termaktub dalam Al Qur’an, ayat yang berbunyi :
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ
Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.”
Perintah untuk berdiam di dalam rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah, Dzat yang lebih tahu tentang perkara yang memberikan maslahat (kebaikan) bagi hamba-hamba-Nya. Ketika Dia menetapkan wanita harus berdiam dan tinggal di rumahnya, Dia sama sekali tidak berbuat zalim kepada wanita, bahkan ketetapan-Nya itu sebagai tanda akan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya.
Saudariku muslimah…
Walaupun syariat menetapkan engkau harus tinggal di rumahmu, namun bila ada kepentingan darurat, dibolehkan bagimu keluar rumah dengan memperhatikan adab-adab berikut ini:
- Kenakanlah hijabmu yang syar’i.1 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanitanya kaum mukminin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu…” (Al-Ahzab: 59)
- Hindari memakai wangi-wangian karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ. وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا
Setiap mata itu berzina. Bila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati majelis laki-laki (yang bukan mahramnya) maka wanita itu begini dan begitu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2937, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2237)
Dalam riwayat Ahmad (4/414):
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْحَهَا فَهيِ َ زَانِيَةٌ
Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 4/311)
- Ketika berjalan, janganlah menggesek-gesekkan sandal/sepatumu dengan sengaja dan jangan pula menghentak-hentakkan kakimu agar terdengar suara gelang kaki yang engkau kenakan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki-kaki mereka ketika berjalan agar diketahui apa yang disembunyikan dari perhiasan mereka.” (An-Nur: 31)
- Jangan pula engkau berlenggak lenggok ketika berjalan sehingga mengundang pandangan lelaki sementara Rasulmu Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah mengabarkan:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita itu aurat maka bila ia keluar rumah syaitan menyambutnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1183, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 273, dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Setan menjadikan pandangan lelaki tertuju kepada si wanita, menghias-hiasi dan mempercantiknya dalam pandangan lelaki sehingga mereka terfitnah dengan wanita tersebut.2
- Apabila engkau berjalan bersama saudaramu ataupun temanmu sesama wanita sementara di sana ada lelaki, maka tahanlah untuk berbicara, bukan karena suara wanita itu aurat namun karena kekhawatiran lelaki akan terfitnah ketika mendengar suara wanita. Bila terpaksa berbicara dengan lelaki (yang bukan mahrammu), berbicaralah dengan wajar tanpa mendayu-dayu dan melembut-lembutkan suaramu. Demikianlah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
Maka janganlah kalian melembut-lembutkan suara3 ketika berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
- Apabila engkau telah menikah, minta izinlah kepada suamimu ketika keluar rumah sampaipun engkau hendak keluar untuk shalat di masjid, sebagaimana diisyaratkan permintaan izin ini dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
- Bila jarak perjalanan yang ditempuh adalah jarak safar maka engkau harus didampingi mahrammu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
Tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim no. 1341)
- Hindarilah dari berdesak-desakan dengan lelaki 
- Berhiaslah dengan rasa malu 
- Tundukkanlah pandangan matamu, jangan melemparkannya ke kiri dan ke kanan kecuali bila ada kebutuhan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat: Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka…” (An-Nur: 31)
Saudariku muslimah…
Demikianlah beberapa adab Islami yang sepatutnya engkau pegangi saat keluar dari rumahmu, sungguh kemuliaan kan kau raih bila senantiasa berpegang dengan adab yang diajarkan agamamu. Sebaliknya kehinaan kan kau terima ketika ajaran agamamu engkau tinggalkan jauh di belakang punggungmu. Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk selalu mengikuti kebenaran dan berpegang teguh dengannya sampai tiba saatnya pertemuan dengan Allah. Amin… Wallahu a’lam bish-shawab.
1Lihat pembahasan tentang hijab dalam rubrik Wanita dalam Sorotan, Asy-Syariah/lembar Sakinah no. 08/1425 H/2004
2 Tuhfatul Ahwadzi , 4/283
3 Berbicara dengan mendayu-dayu sehingga membangkitkan syahwat lelaki yang mendengarnya sebagaimana seorang istri berbicara dengan suaminya. (Tafsir Ibnu Katsir , 3/491)
Dikutip dari http: darussalaf.ci.id
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Judul: Adab Keluar Rumah
Diarsipkan pada:

Senin, 03 Februari 2014

Hukum Berpakaian dan Berhijab ^^



Penulis: Syaikh Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan
*** SIFAT PAKAIAN YANG DISYARIATKAN UNTUK KAUM MUSLIMAH
1.  Diwajibkan pakaian wanita muslimah itu menutupi seluruh badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya.
2.  Agar pakaian itu menutupi apa yang ada di sebaliknya (yakni tubuhnya), janganlah terlalu tipis (transparan), sehingga dapat terlihat bentuk tubuhnya.
3.  Tidaklah pakaian itu sempit yang mempertontonkan bentuk anggota badannya,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bahwasanya beliau bersabda:
“Dua kelompok dari penduduk neraka yang aku belum melihatnya, (kelompok pertama) yaitu wanita yang berpakaian (pada hakekatnya) ia telanjang, merayu-¬rayu dan menggoda, kepala mereka seperti punuk onta (melenggak-lenggok, membesarkan konde), mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya. Dan (kelompok kedua) yaitu laki-laki yang bersamanya cemeti seperti ekor sapi yang dengannya manusia saling rnemukul-mukul sesama hamba Allah. “(HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (22/146) dalam menafsirkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam:
“Bahwa perempuan itu memakai pakaian yang tidak menutupinya. Dia berpakaian tapi sebenarnya telanjang. Seperti wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga menggambarkan postur tubuh (kewanitaan)-nya atau pakaian yang sempit yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, seperti pinggul, lengan dan yang sejenisnya. Akan tetapi, pakaian wanita ialah apa yang menutupi tubuhnya, tidak memperlihatkan bentuk tubuh, serta kerangka anggota badannya karena bentuknya yang tebal dan lebar.”
4.  Pakaian wanita itu tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita. Sedangkan untuk membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal berpakaian adalah pakaian yang dipakai dinilai dari karakter bentuk dan sifat menurut ketentuan adat istiadat setiap masyarakat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’Al-Fatawa (22/148-149/155):
“Maka (hal) yang membedakan antara pakaian laki-¬laki dan pakaian perempuan dikembalikan pada pakaian yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan, yaitu pakaian yang cocok sesuai dengan apa yang diperintahkan untuk lak-¬laki dan perempuan. Para wanita diperintahkan untuk menutup dan menghalangi tanpa ada rasa tabarruj (mempertontonkan) dan memperlihatkan. Untuk itu tidak dianjurkan bagi wanita mengangkat suara di dalam adzan, ¬(membaca) talbiyah, (berdzikir ketika) naik ke bukit Shafa dan Marwa dan tidaklah telanjang di dalam Ihram seperti ¬laki-laki. Karena laki-laki diperintahkan untuk membuka kepalanya dan tidak memakai pakaian yang melampaui batas (dilarang) yakni yang dibuat sesuai anggota badannya, tidak memakai baju, celana panjang dan kaos kaki.”
Selanjutnya Syaikhul Islam mengatakan:
“Dan adapun wanita, sesungguhnya tidak dilarang sesuatupun dari pakaian karena ia diperintahkan untuk menutupi dan menghijabi (membalut) dan tidak dianjurkan kebalikannya. Akan tetapi dilarang memakai kerudung ¬dan memakai sarung tangan, karena keduanya merupakan_ pakaian yang terbuat sesuai dengan bentuk tubuh dan tidak ada kebutuhan bagi wanita padanya.” Kemudian beliau menyebutkan, bahwa wanita itu menutup wajahnya tanpa keduanya dari laki-laki sampai beliau mengatakan di akhir: “Maka jelas, antara pakaian laki-laki dan perempuan itu sudah seharusnya berbeda. Yakni untuk membedakan laki-laki dari wanita. Pakaian wanita itu haruslah istitar (menutupi auratnya) dan istijab (menghalangi dari pandangan yang bukan mahramnya -pent.). Sebagaimana yang dimaksud dhahir ” dari bab ini.”(11)
Kemudian beliau menjelaskan, bahwa apabila pakaian itu lebih pantas dipakai oleh laki-laki sebagaimana umumnya, maka dilarang bagi wanita. Hingga beliau mengatakan: “Manakala pakaian itu bersifat qillatul istitar (hanya sekedar menutupi aurat -pent.) dan musyabahah (pakaian itu layak dipakai oleh laki-laki dan perempuan – pent.), maka dilarang pemakaiannya dari dua bentuk (baik laki-laki maupun perempuan -pent.). Allahu a’lam. “
5. Pakaian wanita tidaklah terhiasi oleh perhiasan yang menarik perhatian (orang lain) ketika keluar rumah, agar tidak termasuk golongan wanita-wanita yang bertabaruj (mempertontonkan) pada perhiasan.
*** BERHIJAB ***
Bahwa seorang wanita yang menutupi badannya dari (pandangan) laki-laki yang bukan mahramnya disebut berhijab.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, putra-putra saudara perempuan mereka. ” (An-Nur: 31)
Dalam firman-Nya yang lain:
“Dan apabila kamu ada sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab). ” (Al-Ahzab: 53)
Dan yang dimaksud dengan hijab (dari ayat di atas) adalah sesuatu yang menutupi wanita termasuk di dalamnya dinding, pintu atau pakaian.
Sedangkan kata-kata dalam ayat tersebut walaupun diperuntukkan kepada istri-istri Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, namun hukumnya adalah umum untuk semua wanita mukminah.
Karena `illat (landasan)-nya adalah berkaitan dengan firman ¬Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. ” (Al-Ahzab: 53)
Dan `illat (landasan) ini adalah umum. Maka keumuman `illat menunjukkan bahwa hukum tersebut berlaku untuk umum. Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala
yang lain:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka “. (Al-Ahzab: 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata di dalam majmu’Al-Fatawa (22/110-111):
“Jilbab adalah kain penutup, sebagaimana Ibnu Mas’ud dan yang lainnya menamakan dengan sebutan rida’ (cadar) dan izar (sarung) sebagaimana umum menyebutnya, yakni kain sarung yang besar sebagai penutup kepala dan seluruh badan wanita. Diriwayatkan dari Abu Ubaidah dan yang lainnya, bahwa wanita itu mengulurkan jilbab dari atas kepalanya sampai tidak terlihat (raut mukanya), kecuali matanya. Termasuk sejenis hijab adalah niqab (sarung kepala). Dan dalil-dalil sunnah nabawiyyah tentang kewajiban seorang wanita menutupi wajah dari selain mahramnya.”(12)
Dan dalil-dalil tentang kewajiban wanita untuk menutup wajah dari selain mahramnya menurut Al-Qur`an dan As Sunnah sangatlah banyak. Maka saya sarankan kepada anda wahai muslimah, (bacalah -pent.) mengenai hal tersebut di dalam Risalah Hijab dan Pakaian di dalam Shalat karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Risalah Hijab karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Risalatu Ash-Sharim Al Masyhur `ala Al-Maftunin bi As-Sufur karya Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri dan Risalah Hijab karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin. Semua risalah tersebut telah menjabarkan tentang permasalahan hijab beserta hal-hal yang berkaitan dengannya.
KETAHUILAH WAHAI MUSLIMAH!
Bahwa ulama-ulama yang membolehkan kamu membuka wajahmu dengan kata-kata yang menggiurkan (rayuan-rayuai gombal) sepertinya dapat menghindarkanmu dari fitnah. Padahal fitnah tidaklah dapat dihindari, khususnya pada zaman sekarang ini. Dimana sedikit sekali laki-laki dan perempuan yang menyerukan larangan agama. Sedikit sekali rasa malunya. Bahkan banyak sekali orang-orang yang mengumbar fitnah. Kemudian sangatlah terhina wanita yang menjadikan macam-macam perhiasan yang mengundang fitnah berada di wajahnya. Berhati-hatilah dari hal itu.
Wahai muslimah! Pakailah dan biasakanlah berhijab. Karena hijab dapat menjagamu dari fitnah dengan seizin Allah. Tidak ada seorang ulama -baik dahulu maupun sekarang- yang menyetujui (pendapat) para pengumbar fitnah. Dimana mereka (para wanita) terlibat di dalamnya.
Sebagian wanita muslimah ada yang berpura-pura dalam berhijab. Yakni manakala berada dalam masyarakat yang menerapkan hijab, merekapun memakainya. Dan ketika berada dalam masyarakat yang tidak menerapkan hijab, merekapun melepaskan hijabnya.
Sementara ada sebagian lainnya yang memakai hijab hanya ketika berada di tempat-tempat umum dan ketika memasuki tempat pemiagaan, rumah sakit, tempat pembuat perhiasan emas ataupun salah satu dari penjahit pakaian wanita, maka ia pun membuka wajah dan kedua lengannya, seakan-akan ia berada di samping suaminya atau salah satu mahramnya! Maka takutlah kamu kepada Allah, hai orang-orang yang melakukan hal tersebut!
Telah kami saksikan pula, beberapa wanita yang berada di dalam pesawat (yakni pesawat yang datang dari luar Arab Saudi), rnereka tidak memakai hijab, kecuali ketika pesawat mendarat di salah satu bandara di negara ini. Seolah-olah hijab itu berasal dari adat kebiasaan (bangsa Arab) dan bukan dari pokok-pokok ajaran agama.
Wahai muslimah!
Sesungguhnya hijab menjagamu dari pandangan yang beracun. Pandangan yang berasal dari penyakit hati dan penyakit kemanusiaan. Hijab memutuskan darimu ketamakan yang berapi-api.
Maka pakailah hijab. Berpeganglah pada hijab. Dan janganlah kamu tergoda oleh pengumbar fitnah yang bertujuan memerangi hijab atau mengecilkan dari bentuknya. Sebab ia ingin menjadikanmu jahat. Sebagaimana firman Allah:
Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh jauhnya (dari kebenaran). ” (An-Nisaa’: 27)
Dikutip dari Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat, Edisi Indonesia “Panduan Fiqih Praktis Bagi Wanita” Penerbit Pustaka Sumayyah, Pekalongan.
Footnote:
11. Jawabannya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
12. Barangkali yang dimaksud adalah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Ada beberapa pengendara (kendaraan) lewat di depan kami dan saat itu kami sedang ihram bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Jika mereka sejajar dengan kami, maka kami mengulurkan jilbab ke wajah kami, dan bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya kembali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Lihat kitab Mas’uliyatul Mar’ati Al-Muslimati, bab Hijab wa Shufur oleh Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim AI-Jarullah -pent.

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2011/09/30/hukum-berpakaian-dan-berhijab/#more-726

Berbuat Baiklah Di Sisa Yang Ada, Untuk Meraih Khusnul Khatimah

images-166

Oleh: Al Ustadz Idral Harits Hafizhahulloh

بسم الله الرحمن الرحيم..
قال الحافظ ابن ر.جب رحمه الله تعالى:
قال الفضيل بن عياض رحمه الله تعالى في تفسير إنا لله و إنا إليه راجعون:
فمن عرف أنه لله عبد و أنه إليه راجع فليعلم أنه موقوف
ومن علم أنه موقوف فليعلم أنه مسؤول
ومن علم أنه مسؤول فليعد للسؤال جوابا..
فقا رجل: فما الحيلة؟
قال الفضيل؛ يسيرة..
قال الرجل؛ ما هي؟
قال تحسن فيما بقي يغفر لك ما مضي. فإنك إن أسأت فيما بقي أخذت بما مضي وما بقي..”

Bismillah.

Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali menyebutkan dalam kitabnya Jami’ul ‘ulum wal hikam:

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu Ta’ala ketika menerangkan tafsir kalimat istirja’ (ucapan:
إنا لله و إنا إليه راجعن)

Beliau mengatakan: Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba kepunyaan Allah, dan dia mengetahui bahwa dia akan kembali kepadaNya, maka dia harus mengetahui bahwa dia pasti akan berdiri di hadapanNya.
Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapanNya, maka dia harus mengetahui pula bahwa dia pasti ditanya (tentang amalannya di dunia).
Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan ditanya, maka dia harus menyiapkan jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Lalu ada yang bertanya: “Lantas apa daya kita?”
Kata Al Fudhail bin ‘Iyadh: “Sangat mudah,”
“Apa itu?” : Tanya orang tersebut.
“Kamu berbuat baik pada apa yg masih tersisa, niscaya apa yang telah lewat akan diampuni. Sebab, jika kamu berbuat jelek pada apa yang masih tersisa, niscaya kamu akan disiksa karena apa yang telah lewat dan apa yang tersisa.”
Wallahu Muwaffiq.

whatsapp salafy indonesia