Kamis, 15 Agustus 2013

Ucapkanlah Salam

Meng-ucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir, baik di rumah ada orang atau tidak.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata,
“Disenangi seseorang mengucapkan bismillah dan banyak berzikir kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala serta mengucapkan salam, sama saja apakah dalam rumah itu ada manusia atau tidak, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi baik.” 
(An-Nur: 61)
 [Al-Adzkar, hal. 25]
Ahli tafsir berbeda pendapat tentang rumah yang dimaukan dalam ayat di atas. Ada yang berpendapat masjid. Ada yang berpendapat rumah yang dihuni. Adapula yang berpendapat rumah yang tidak ada seseorang di dalamnya. Ada yang mengatakan rumah orang lain, dan ada pula yang berpendapat rumah sendiri.
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/209)
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menetapkan bahwa pendapat yang menyatakan rumah secara umum merupakan pendapat yang shahih, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Kalau rumah itu adalah rumah orang lain, maka ia ucapkan salam dan meminta izin kepada tuan rumah sebelum masuk ke dalamnya. Bila rumah itu kosong ia ucapkan, As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” (Semoga keselamatan untuk kami dan untuk para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih). Demikian kata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun bila dalam rumah itu ada keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, ia ucapkan “Assalamu ‘alaikum.
Namun kata Ibnul Arabi rahimahullahu, bila rumah itu kosong maka tidak diharuskan seseorang mengucapkan salam ketika hendak masuk. Adapun bila engkau masuk rumahmu sendiri disenangi bagimu untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengatakan: Masya Allah la quwwata illa billah.”
(Ahkamul Qur’an, 3/1408-1409)
Ketika memberikan penjelasan terhadap surah Al-Kahfi ayat 39, Ibnul Arabi rahimahullahu menyatakan disenanginya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bila salah seorang dari kita masuk rumah atau masjid dengan mengucapkan: Masya Allah la quwwata illa billah.”
Asyhab berkata, “Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, ‘Sepantasnya setiap orang yang masuk ke rumahnya mengucapkan zikir ini’.” (Ahkamul Qur’an, 3/1240)
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ: رَجُلٌ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَّفَاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ؛ وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ، وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ
“Ada tiga golongan yang mereka seluruhnya berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala: (Pertama) seseorang yang keluar berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya (ke keluarganya) dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Kedua) seseorang berangkat ke masjid maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Ketiga) seseorang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(HR. Abu Dawud no. 2494)

Makna jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berada dalam penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Al-Adzkar, hal. 26)

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=915

Jangan Jadikan Rumahmu Sebagai Kuburan

** Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah

Al-Qur’anul Karim akan mengharumkan rumah seorang muslim dan akan mengusir para setan. Abu Musa Al-Asy’ariradhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأَتْرُجَّةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ، لاَ رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya namun rasanya manis. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an permisalannya seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Sementara orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzhalah, tidak ada baunya, rasanya pun pahit.”
(HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 1857)


Apa persangkaan anda bila seorang mukmin sering menghiasi rumahnya dengan membaca dan mentartilkan kalamullah? Tidak lain tentunya kebaikan.
Disamping itu, membaca Al-Qur’an di rumah dengan penuh kekhusyukan menjadikan para malaikat akan mendekat. Seperti kejadian yang pernah dialami seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Usaid ibnu Hudhairradhiyallahu ‘anhu.
Suatu malam Usaid tengah membaca Al-Qur’an di tempat pengeringan kurma miliknya. Tiba-tiba kudanya melompat. Ia membaca lagi, kudanya melompat lagi. Ia terus melanjutkan bacaannya dan kudanya juga melompat. Usaid berkata, “Aku pun khawatir bila sampai kuda itu menginjak Yahya (putra Usaid, pen.), hingga aku bangkit menuju kuda tersebut. Ternyata aku dapati di atas kepalaku ada semacam naungan. Di dalamnya seperti lentera-lentera yang terus naik ke udara sampai aku tidak melihatnya lagi (hilang dari pandanganku).
Di pagi harinya aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Usaid kemudian menceritakan apa yang dialaminya, setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
تِلْكَ الْمَلاَئِكَةُ كَانَتْ تَسْتَمِعُ لَكَ، وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا النَّاسُ، مَا تَسْتَتِرُ مِنْهُمْ
Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca Al-Qur’an niscaya di pagi harinya manusia akan dapat melihat naungan tersebut, tidak tertutup dari mereka. “
(HR. Muslim no. 1856)

Dalam riwayat Al-Bukhari (no. 5011) dari Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang lelaki membaca surah Al-Kahfi sementara di sisinya ada seekor kuda yang diikat dengan dua tali. Lalu orang tersebut diliputi oleh awan yang mendekat dan mendekat. Mulailah kudanya lari karena terkejut. Ketika di pagi harinya ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diceritakannya kejadian yang dialaminya maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ
Itu adalah as-sakinah yang turun dengan Al-Qur’an.
Diperbincangkan oleh para ulama seperti apa as-sakinah tersebut. Namun pendapat yang terpilih, kata Al-Imam An-Nawawirahimahullahuas-sakinah adalah sesuatu dari makhluk-makhluk yang di dalamnya ada thuma’ninah (ketenangan), rahmah(kasih sayang), dan bersamanya ada para malaikat.
(Fathul Bari, 9/73)

**  Membaca surah Al-Baqarah dalam rumah

Bila engkau merasa di rumahmu demikian banyak masalah, tampak banyak penyimpangan dan anggota-anggotanya saling berselisih, maka ketahuilah setan hadir di rumahmu, maka bersungguh-sungguhlah mengusirnya. Bagaimanakah cara mengusirnya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawabannya dengan sabda beliau:
إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا، وَسَنَامُ الْقُرْآنِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي يُقْرُأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya (punuknya) dan puncak dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Sungguh setan bila mendengar dibacakannya surah Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tersebut.”
(HR. Al-Hakim, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 588)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah.”
(HR. Muslim no. 1821)

** Banyak melakukan shalat nafilah/sunnah di rumah

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِي بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Jadikanlah bagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan.”
(HR. Al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 1817)

Dalam syariat disebutkan pelarangan shalat di kuburan. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menjadikan rumah kita seperti kuburan, dengan tidak pernah dilakukan ibadah di dalamnya. Beliau menghasung kita agar memberi bagian shalat sunnah untuk dikerjakan di dalam rumah.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk mengerjakan shalat nafilah (sunnah) di rumah, karena hal itu lebih ringan dan lebih jauh dari riya, lebih menjaga dari perkara yang dapat membatalkannya. Juga dengan mengerjakan shalat nafilah di rumah akan memberi keberkahan bagi rumah tersebut. Akan turun rahmah di dalamnya, demikian pula para malaikat. Sementara setan akan lari dari rumah tersebut.”
(Al-Minhaj, 6/309)

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ
Seharusnya bagi kalian untuk mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya terkecuali shalat wajib.”
(HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 1822 )

Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Permisalan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya seperti permisalan orang yang hidup dan orang yang mati.”
(HR. Muslim no. 1820)

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=915

Tunaikanlah Hak Temanmu


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

Islam mengajarkan untuk menunaikan hak semua orang yang mempunyai hak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Darda, “Berilah setiap orang haknya masing-masing.”
Dituntunkan dalam Islam untuk menunaikan hak-hak teman. Hak seorang teman atas temannya sangatlah banyak. Diantaranya:
1. Membantu kelapangan temannya (muwasah)

Muwasah adalah tanda persahabatan yang jujur. Seorang teman yang jujur dalam persahabatannya akan memberikan kemudahan (membantu) temannya sebatas kemampuannya. Dia senantiasa merasakan senang dan susahnya teman.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan dunia, pasti Allah subhanahu wata’ala akan melepaskan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesukaran pasti Allah  subhanahu wata’ala akan memudahkan (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya pasti Allah  subhanahu wata’ala akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah  subhanahu wata’ala akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu pasti Allah  subhanahu wata’ala akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah  subhanahu wata’ala, membaca dan mempelajari kitab Allah  subhanahu wata’ala diantara mereka, kecuali turun kepada mereka sakinah dan mereka diliputi rahmat serta dinaungi malaikat. Allah  subhanahu wata’ala menyebut mereka di majelis-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
(HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْناً، أوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا
“Orang yang paling Allah  subhanahu wata’ala cintai adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Amalan yang paling Allah  subhanahu wata’ala cintai adalah menimbulkan kegembiraan bagi seorang muslim atau menghilangkan kesulitannya atau membayarkan utangnya atau menghilangkan kelaparan darinya …”
(HR. Ath-Thabarani dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 906 dan Shahihul Jami’ no. 176)
Ibnul Qayyim berkata: “Muwasah kepada kaum mukminin ada beberapa macam:
-    Muwasah dengan harta
-    Muwasah dengan kedudukan
-    Muwasah dengan badan dan bantuan
-    Muwasah dengan nasihat dan bimbingan
-    Muwasah dengan doa dan memintakan ampun untuknya
-    Muwasah dengan menasihati mereka
(Lihat Al-Fawaid hal. 168)
Para sahabat radhiyallahu ‘anhuma telah memberikan teladan kepada kita, bagaimana mereka bermuwasah kepada sahabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ
“Sesungguhnya para sahabat dari Asy‘ariyin, jika habis perbekalan mereka dalam jihad atau makanan mereka tinggal sedikit di Madinah, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam sebuah kain. Kemudian mereka bagi rata di antara mereka. Mereka dari golonganku dan aku termasuk golongan mereka.”
(HR. Al-Bukhari no. 2486 dan Muslim no. 2500)
Dari Anas bin Malik:
Abdurahman bin Auf datang kepada kami dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mempersaudarakan beliau dengan Sa’d bin Rabi’ –seorang sahabat Anshar yang banyak harta–. Sa’d berkata, “Orang-orang Anshar telah tahu aku adalah orang yang paling banyak hartanya. Aku akan membagi dua hartaku untuk kita berdua. Aku juga punya dua istri. Lihatlah siapa yang paling kau senangi, aku akan menalaknya. Jika telah halal, engkau bisa menikahinya.”
Abdurahman bin Auf berkata: “Semoga Allah  subhanahu wata’ala memberikan barakah kepadamu, keluarga dan hartamu. (Cukup) tunjukkanlah pasar kepadaku …” (HR. Al-Bukhari no. 3781)

2. Menjenguknya ketika sakit
Menjenguk orang sakit termasuk hak persaudaraan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ ‏‏فَشَمِّتْهُ،‏ ‏وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Hak muslim atas muslim ada enam.” Beliau ditanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia, jika bersin dan mengucapkan hamdalah engkau mendoakannya (dengan berkata: yarhamukallah), jika dia sakit hendaknya menjenguknya, dan jika meninggal engkau iringi jenazahnya.”
(HR. Muslim no. 2162)
Menjenguk orang sakit banyak keutamaannya
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
مَنْ عَادَ مَرِيضاً، أَوْ زَارَ أَخاً لَهُ فِي اللهِ نَادَاهُ مُنَادٍ: أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ، وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلًا
Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya, akan ada penyeru yang menyeru dari atas: “Engkau telah berbuat baik dan telah baik perjalananmu. Engkau telah mempersiapkan tempat di surga.”
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6163)

3. Menjaga rahasianya
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamberkata:
إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ بِالْحَدِيثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ
“Jika seseorang berbicara (denganmu), kemudian dia menoleh (melihat sekeliling) maka ketahuilah itu adalah amanah.”
(HR. Abu Dawud no. 4868 dan At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1090 dan Shahihul Jami’ no. 486)
Ibnu Ruslan berkata: “Karena, menolehnya dia ke kanan ke kiri adalah pemberitahuan bagi yang diajak bicara tentang kekhawatirannya bila ada orang lain yang mendengar ucapannya. Sehingga, artinya dia mengkhususkan rahasia ini untuknya. Tindakannya ke menoleh ke kanan dan ke kiri sama dengan ucapan: ‘Rahasiakan ini dariku,’ yakni ambil dan rahasiakan, ini adalah amanah bagimu.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 70-72)

4. Al-wafa dan ikhlas
Al-wafa adalah terus-menerus mencintainya sampai meninggal, dan ketika telah meninggal ia mencintai anak-anak dan teman-temannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memuliakan sahabat dan famili Khadijah radhiyallahu ‘anha setelah beliau wafat. Sampai-sampai Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seseorang seperti cemburuku kepada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Termasuk al-wafa adalah tidak berubah tawadhunya kepada temannya, walaupun dia semakin tinggi kedudukannya dan semakin luas kekuasaannya.
Termasuk al-wafa adalah tidak mau mendengarkan cercaan-cercaan orang kepada temannya dan tidak membela musuh temannya.
Ibnu Qudamah berkata: “Ketahuilah, bukan termasuk al-wafa bila mencocoki teman dalam perkara yang menyelisihi agama.” (Lihat Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 103)

5. Menerima udzur/ alasannya
Diantara hak temanmu adalah menerima alasan yang disampaikannya. Ketika salah seorang temanmu berbuat jelek kepadamu kemudian datang menyampaikan alasan kepadamu, maka terimalah alasannya. Hal ini termasuk kemuliaan, karena udzur (alasan) diterima oleh orang-orang yang punya kemuliaan. Menerima udzur teman, selain menambah kecintaan teman, juga mendatangkan pahala yang banyak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
مَنْ أَقَالَ مُسْلِماً أَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang menerima udzur seorang muslim maka Allah  subhanahu wata’ala akan memaafkan kesalahannya.”
(HR. Abu Dawud no. 3460 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, juga dalam Shahih Jami’ no. 6071)
Terlebih lagi seseorang yang terpandang yang kita tidak mengetahui kejelekannya, kita harus menerima udzurnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثْرَاتِهِمْ
“Terimalah udzur orang-orang yang punya kedudukan atas kesalahan-kesalahan mereka.”
(HR. Abu Dawud no. 4375 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)
Ibnul Mubarak berkata, “Seorang mukmin mencari udzur bagi temannya. Adapun seorang munafik, dia mencari-cari kesalahan orang lain.”
Bagaimana jika orang yang minta udzur berdusta dalam udzur yang disampaikannya?
Jika terjadi hal demikian, maka bersikaplah seperti yang diajarkan oleh Ibnul Qayyim, “Barangsiapa yang berbuat jelek kepadamu kemudian datang untuk minta udzur atas kejelekannya kepadamu maka sifat tawadhu’ mengharuskan engkau menerima udzurnya –baik udzur tersebut benar atau batil (dusta) – dan kau serahkan isi hatinya kepada Allah l.”
Menerima udzur orang lain adalah bukti tawadhu’.
Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Tanda kemuliaan dan tawadhu’ adalah ketika engkau melihat cela dalam udzurnya namun tetap engkau terima dan tidak membantahnya, serta berkata: ‘Mungkin saja masalahnya seperti yang kau sebutkan’.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 79-83)

6. Membelanya ketika tidak ada
Diantara hak teman adalah menjaganya ketika dia tidak ada, membantah ucapan jelek tentangnya.
Dari Abud Darda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ، رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah  subhanahu wata’ala akan memalingkan wajahnya dari neraka di hari kiamat nanti.”
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, serta dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6262)
Dalam hadits Ka’b bin Malik tentang kisah taubatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata di Tabuk ketika beliau sedang duduk, “Apa yang dilakukan Ka’b?” Seseorang dari Bani Salamah berkata, “Dia tertahan burdahya dan melihat dua sisinya, ya Rasulullah.” Mu’adz bin Jabal berkata kepadanya, “Alangkah jeleknya yang kau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun diam.
(HR. Al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Ketahuilah, seseorang yang mendengar ghibah terhadap seorang muslim hendaknya membantahnya dan menghardik pelakunya. Jika tidak bisa dihentikan dengan lisan, maka hentikanlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan lisan ataupun dengan tangan, hendaknya dia keluar untuk memisahkan diri dari majelis tersebut. Jika mendengar ghibah terhadap syaikhnya atau orang yang mempunyai hak atasnya atau orang yang punya keutamaan dan shalih, maka mengingkari pelakunya lebih ditekankan.” (Al-Adzkar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
مَنْ ذَبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya ketika ada yang mengghibahinya, maka hak atas Allah  subhanahu wata’ala untuk membebaskannya dari neraka.”
(HR. Ahmad dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 6240)

7. Mendoakan kebaikan bagi teman
Ibnu Qudamah berkata, “Hak yang kelima adalah mendoakan kebaikan untuknya ketika masih hidup maupun sesudah meninggalnya, dengan semua doa yang dia peruntukkan untuk dirimu.”
Dalam Shahih Muslim dari hadits Abud Darda, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ المُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ المُوكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim bagi saudaranya yang sedang tidak bersamanya adalah doa mustajab. Di sisinya ada malaikat yang ditugaskan setiap kali dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, malaikat berkata, “Amin, dan engkau mendapatkan yang semisalnya.”
Abud Darda mendoakan banyak sahabatnya dalam doanya. Beliau selalu menyebut nama-nama mereka dalam doanya. Demikian pula Al-Imam Ahmad berdoa di waktu sahur untuk enam orang.
(Lihat Mukhtahar Minhajul Qashidin hal. 103)

8. Menasihatinya
Nasihat termasuk hak persahabatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ…
“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam: Jika berjumpa dengannya engkau mengucapkan salam kepadanya, ketika mengundang engkau penuhi undangannya, jika minta nasihat engkau nasihati dia…”
(HR. Muslim no. 6162)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat…” (HR. Muslim no. 55)
Bagaimana bentuk nasihat seorang muslim kepada saudaranya agar mendatangkan manfaat yang besar?
Ibnu Qudamah berkata: “Seyogianya, nasihat engkau sampaikan ketika sedang sendirian (tidak di hadapan orang banyak). Beda antara nasihat dengan menjatuhkan (kehormatan) orang lain adalah dalam masalah ini (dilakukan dengan tertutup atau di hadapan orang banyak).” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 102)
Ibnu Hibban berkata: “Tanda seorang pemberi nasihat yang menginginkan kebaikan bagi yang dinasihatinya adalah nasihat tersebut dilakukan tidak di hadapan orang lain. Tanda orang yang ingin menjelekkan (menjatuhkan) yang dinasihati adalah menasihatinya di hadapan banyak orang.”
Mis’ar bin Kidam berkata: “Allah subhanahu wata’ala merahmati seseorang yang membeberkan aibku secara sembunyi-sembunyi antara aku dan dia saja. Karena nasihat di hadapan orang banyak adalah celaan.”
(Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)
Seseorang yang dinasihati hendaknya menerima nasihat yang baik
Seseorang belum disebut memiliki sifat tawadhu’ hingga dia menerima al-haq dari orang yang menyampaikannya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan merendahkan orang lain.”
Al-Imam Waki’ berkata: “Seseorang tidak akan pandai sampai mengambil ilmu dari orang yang di atasnya, atau selevel dengannya, juga dari orang yang lebih rendah darinya.”
Fudhail bin Iyadh ditanya tentang tawadhu. Beliau berkata, “Tunduk kepada al-haq, patuh dan menerimanya dari orang yang membawakannya.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 86-87)

Sumber : http://asysyariah.com/hak-hak-dalam-berteman.html

Belajar Adab-Adab Islami

Bismillahirahmanirahim

Semua hal kehidupan sudah diatur dengan sempurna oleh Islam. Maka tegakkan hukum-hukum Allah subhanahu wa ta'ala dalam keseharian kita. Hal apapun, hal terkecil hingga terbesar semua sudah diatur dalam Islam. Ini adalah adab-adab Islami sebagai berikut:

1. Kebersihan

Jagalah kebersihan di rumahmu, pekerjaanmu, pakaianmu, dan badanmu. Terlebih lagi ketika kamu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat, khususnya shalat berjama’ah. Mandilah, pakailah minyak wangi dan pakailah pakaian yang paling bagus. Dan jangan injak alas lantai masjid dengan kaos kaki yang kotor, yang padanya terdapat bau kaki yang mengganggu orang lain. Karena hal itu akan menganggu orang –orang shalat ketika mereka meletakkan dahinya dan hindung mereka di atas lantai kemudian terganggu dengan bau dari kaos kaki yang menempel di atas lantai tersebut. Juga harus bersiwak ( menggosok gigi) terutama ketika berwudhu dan shalat.


Sungguh Rasulullah telah menganjurkan umat beliau dalam hadist – hadist yang banyak diantaranya sabda beliau :
“ siwak adalah pembersih untuk mulut dan keridhaan dari Rabb “
[ Hadist shahih diriwayatkan oleh ahmad]

Jauhilah makan bawang putih dan bawang merah sebelum kamu pergi ke masjid dan berkerja, agar tidak mengganggu orang – orang yang shalat dan teman – teman duduk lantaran baunya. Rasulullah telah bersabda :
“ siapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka menjauhlah dari kami, dan menjaulah dari masjid kami dan hendaknya ia tetap duduk di rumahnya “
[ Muttafaqun’alaih]

Ketahuilah bahwasanya bau rokok yang keluar dari sebagian orang yang shalat lebih dibenci daripada bawang putih dan bawang merah, dan ulama telah mengharamkan rokok karena bahayanya rokok tersebut terhadap badan, harta dan tetangga. Allah Ta’ala berfirman :
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk “
[ Al A’raaf : 157]

2. Bermuamalah dengan manusia

a. Cintailah untuk manusia perkara yang kamu sukai untuk dirimu dari kebaikan.
Rasulullah bersabda :
“ tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya”
[ Muttafaqun’alaih]
b. Jadilah orang yang murah hati dalam jual beli
Rasulullah bersabda :
“ Allah merahmati hamba yang murah hati apabila menjual dan murah hati apabila membeli, murah hati apabila memutuskan dan murah hati ketika menerima keputusan”
[ Diriwayatkan oleh Al Bukhari]
c. Bergaulah dengan manusia, nasehatilah mereka dan bersabarlah terhadap gangguan mareka, sehingga kamu termasuk orang yang Rasulullah bersabda tentang mereka :
“ Muslim yang bergaul dengan mereka dan bersabar terhadap gangguan mereka lebih baik daripada muslim yang tidak bergaul dengan mereka dan tidak bersabar dari gangguan mereka “
[ Diriwayatkan At Tirmidzi dan sanadnya yang shahih]

3. Bersifat inshaf ( adil) dan menerima kebenaran.

Terimalah kebenaran dari orang yang mengucapkannya walaupun dari anak kecil atau lawan perselisihan. Jauhilah menolak kebenaran dari orang lain dan menyepelekan mereka. Sungguh Rasulullah telah memperingatkan dari perbuatan seperti ini. Beliau bersabda :
“ tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan ( walaupun) seberat semut kecil .”

4. Mengakui kesalahan.

Apabila kamu salah, maka akuilah kesalahanmu dan minta maaf darinya. Sesungguhnya mengakui kesalahan adalah lebih baik daripada tetap dalam kebatilan. Rasulullah telah bersabda :
“ setiap bani Adam itu bersalah dan sebaik – baiknya orang yang bersalah adalah orang – orang  yang bertaubat”
[ HR. At Tirmidzi dan di hasankan oleh pentahqiq kitab Jami’ul Ushul]


5. Berbuat adil dan berkata benar.

a. Jadilah orang yang adil walaupun kepada musuh – musuhmu, dan janganlah permusuhanmu kepada suatu kaum membawamu untuk menzalimi mareka.
Allah berfirman :
ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
[ Al Maidah : 8]

b. Katakanlah yang benar walaupun tidak mengenak kanmu atau kerabat – kerabatmu atau teman – temanmu.
Allah berfirman dengan hal itu. Dia berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“ wahai orang – orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan ( kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
[An Nissa’ : 135]


6. Tunduk kepada perintah – perintah agama.

Tunduklah kamu kepada hukum hukum agama Islam ini, sesungguhnya lafazh Islam itu diambil dari kataistislam ( tunduk). Jangan kamu analogikan hukum hukum agama ini dengan pandangan dan akalmu karena akal itu mempunyai batasan yang berhenti padanya. Dan banyak kesalahanya adalah akal yang lemah untuk mentafsirkan seluruh perkara – perkara agama ini. Oleh sebab itu’ ali berkata :
“ seandainya agama itu dengan akal, tentunya mengusap bagaian bawah sepatu itu lebih utama daripada mengusap bagaian atasnya. “
[ Riwayat Abu Dawud dan dishahihkan oleh pentahqiq Jami’ul Ushul]

Sesungguhnya seorang muslim yang hakiki adalah yang melaksanakan perintah – perintah syariat tanpa harus mengetahui sebab yang bersembunyi di balik perintah – perintah tersebut. ketika islam mengharamkan daging babi, kaum muslimin melaksanakan perintah ini dan mereka tidak bertanya sebabnya. Setelah berlalu empat belas abad kedokteran modern mengungkap bahayanya dan kita tahu bahwa Allah tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali karena mudaratnya.

7. Berbuatlah adil dalam wasiat.

Janganlah kamu mengharapkan seorang untuk mendapatkan haknya dari harta warisan , tetapi bersikaplah Ridha dengan yang telah diwajibkan dan dibagikan oleh Allah. Jangan kamu terpengaruh kepada salah satu ahli waris sehingga kamu mengkhususkannya dengan sesuatu daripada yang lain.
Dari An Nu’man bin Basyir dia berkata : “ Ayahku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya, maka ibuku ( ‘Amrah bintu Rawanah) berkata : ‘ saya tidak ridha sampai kamu mempersaksikan kepada Rasulullah Sholullohi’alaihiwassalam’ maka ayah pergi kepada nabi untuk mempersaksikan kepada beliau terhadap shadaqah saya. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : ‘ apakah kamu melakukan hal ini kepada seluruh anakmu?’ Ayah menjawab : ‘ tidak’ Rasulullah menjawab : “ bertaqwalah kepada Allah berbuat adillah di antara anak – anak kalian”

8. Hak – hak tetangga

Jauhilah menyakiti tetangga dengan ucapan atau perbuatan. Rasulullah telah memperingatkan dengan ucapan atau perbuatan. Beliau bersabda :
“ Demi Allah tidaklah beriman! Demi Allah tidaklah beriman! Demi Allah, tidak beriman! demi Allah, tidaklah beriman orang yang tetangga tidak aman dari kejahatannya”
[HR Al Bukhari]

jangalah kamu melempar sampah – sampah di jalanan terlebih lagi di depan rumah tetanggamu seperti kulit pisang atau semangka dan selainya yang mengganggu orang yang lewat. berusahalah kamu menghilangkan gangguan dari jalan umum, terutama dari jalan tetangga karena Rasulullah bersabda:
“ Dan menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah “ [ Muttafaqun ‘alaih]
apabila tetanggamu terkena musibah, perhatikanlah perasaanya. Tolonglah dia dari musibahnya, dan bantulah untuk meringankan kesedihannya. Jangan keraskan volume radio, jangan biarkan keluarga dan tamu – tamu mu berbicara terlalu keras untuk menjaga ketenangan tetangga.

9. Memenuhi janji

Apabila kamu berjanji kepada seorang walaupun anak kecil, maka penuhilah janjimu sesuai dengan waktu yang telah di tentukan, dan menyempurnakan jual beli sistem ‘urbun( yaitu jual beli dengan memberikan uang muka, kalau jual beli batal maka uang tidak kembali) yaitu membayar sedikit dari harta sebagai jaminan pemenuhan dalam jual beli. Karena seorang mukmin apabila berkata jujur dan apabila berjanji ia memenuhi, dan setiap orang yang menyelisihi janjinya berarti telah bersifat dengan salah satu orang – orang munafik. berdasarkan sabda Rasulullah :
“ tanda munafik ada tiga apabila bicara ia dusta, apbila berjanji ia mengingkari dan apabila di percaya ia berkhianat “

10. Adab – adab menjenguk orang sakit

Islam telah menganjurkan untuk menjenguk orang sakit terlebih lagu apabila yang sakit adalah kerabat atau tetangga. Dan Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya Allah berkata pada hari kiamat : wahai anak adam, aku sakit tetapi kamu tidak menjengukku.’ anak adam menjawab : “ wahai Rabb, bagaimana saya menjengukMu dan Engkau adalah Rabb semesta alam? Allah berfirman : ‘ Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku fulan sakir dan kau tidak menjenguknya? tidaklah kamu tahu bahwa jika kamu menjenguknya akan mendapati-Ku di sisinya?”
( HR. Muslim)

Termasuk adab – adab menjenguk orang sakit
a. Hendaknya kunjungannya tersebut sebentar saja, sehingga tidak membuat lelah orang yang sakit,  karena boleh jadi orang yang sakit tersebut memerlukan istirahat atau ketenangan. Kecuali apabila orang yang sakit tersebut terhibur denganmu.
b. Jangan terlalu banyak bicara di dekatnya, dan jangan kamu tanya tentang cerita sakitnya.
c. Kamu masukan dalam hatinya kegembiraan dan kebahagiaan, kamu bangkitkan rasa optimisnya untuk sehat.
d. kamu katakan kepada yang sakit, tidak apa-apa.  Thohurun ( semoga bisa menghapuskan dosa), kamu doakan dengan kesembuhan.
Rasulullah bersabda :
“ barang siapa yang menjenguk orang yang sakit dan belum sakaratul maut kemudian mengatakan di sisinya tujuh kali. ( Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Rabbnya Al Arsy yang agung untuk menyembuhkanmu) kecuali Allah akan menyembuhkannya”
[ Dishahihkan oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzhabi]


11. Adab Memandang.

Apabila kamu melihat seorang wanita yang safar, maka tundukanlah pandanganmu karena mata itu berzina, dan zinanya kedua mata adalah memandang apa yang di haramkan oleh Allah.
inilah Rasulullah bersabda :
“ Wahai Ali, janganlah kamu mengikuti pandangan dengan pandangan, sesungguhnya pandangan yang pertama adalah boleh bagimu dan bukan bagimu yang kedua”
[ HR. Ahmad dan selainya dan di hasankan oleh Al Albani dalam Shahilhul Jami’]

Apabila kamu telah menikah dan kamu memandang kepada wanita yang lain yang lebih cantik dari istrimu, maka perasaanmu, jiwamu akan berubah terahadap istrimu dan kamu akan tertimpa kegundahan dan perselisihan dengan istrimu.
Dan apabila kamu belum menikah dan memandang kepada wanita asing ( bukan mahram) maka syahwatmu akan bangkit dan bisa jadi syaitan akan menggiringmu untuk melakukan perbuatan keji. oleh sebab itu Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dalam firmannya :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘ hendaklah meraka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat “
[ An Nuur : 39]

dan Rasulullah bersabda :
“ tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada fitnahnya wanita”
[ HR. Muslim]


12.Adab Nasehat

Nabi telah membimbing untuk melakukan nasehat. beliau bersabda :
“ agama adalah nasehat”
dikatakan kepada beliau : ‘untuk siapa, Wahai Rasulullah? beliau menjawab :
“ Nasehat untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk RasulNya dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum awamnya”
[ HR. Muslim]

Akan tetapi nasehat mempunyai adab – adab yang wajib diperhatikan yang kita ambil adab – adab tersebut dari guru kita Rasulullah :
a. dari Anas bin Malik ia berkata : “ ketika kami di masjid bersama Nabi, tiba-tiba datanglah seorang badui, dia berdiri dan kencing di masjid. maka para sahabat berkata : Jangan..jangan!!! maka Rasulullah bersabda : “ jangan kalian hentikan, biarkan dia. Diamkan dia sampai selesai!’ kemudian Rasulullah memanggil badui tersebut dan bersabda kepadanya : ‘ Sesunggguhnya masjid tidak boleh ada sedikitpun dari kencing ini atau kotoran. Masjid ini hanya untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an” Anas pernah berkata : “ kemudian Rasulullah meminta salah seorang di antara mereka untuk membawakan satu ember air kemudian beliau menyiramkan pelan-pelan di atas ait kencing tersebut.
b. Muslim telah meriwayatkan dari Mu’awaiyah bi Al Hakam As Sulami, ia berkata : ketika saya shalat bersama Rasulullah tiba – tiba ada seorang jama’ah yang bersin maka saya mengatakan : Yarkhamukalloh maka para jama’ah memandang saya. kemudian saya katakan : kenapa saya? apa urusan kalian melihatku? maka mereka memukulkan tangan-tangan mereka ke paha-paha. ketika mereka mendiamkan saya, saya pun diam.
Setelah Rasulullah selesai shalat, maka demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, tidak pernah saya melihat pengajar sebelum dan sesudahnya yang pengarjaranya lebih baik daripada beliau. Demi Allah beliau tidak membentak saya, tidak memukul saya dan tidak pula mencela saya. beliau bersabda :
“ sesungguhnya shalat tidak boleh di dalamnya berbicara kepada manusia. shalat itu hanyalah tasbih, tahmit, dan bacaan Al Qur’an “ [HR. Muslim]
(diambil dari buku Kiat Sukses Mendidik Anak, Pustaka Al Haura)

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2012/11/12/belajar-adab-adab-islami/

Janganlah Seorang Wanita Melihat Kepada Aurot Wanita Lainnya

Bahasan Singkat Tentang Menutup Aurat

Ditulis Oleh Ustadz Marwan
Propaganda musuh-musuh islam senantiasa dan semakin dilancarkan dalam  segala sisi kehidupan. Hal tersebut telah ter-nash-kan dalam Firman Allah Ta’aala berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh musuh-musuh islam dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).

Allah Ta’aala berfirman :
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ 
Dan tidaklah akan pernah meridhai kalian orang-orang Yahudi dan Nasrani hingga kalian ikuti millah (agama) mereka…. (Al-Baqarah : 120).


Di antara perkara yang dilancarkan oleh musuh-musuh islam terhadap kaum muslimin adalah upaya mereka untuk menghancurkan wanita-wanita muslimah dengan propaganda yang mereka serukan di antaranya seruan  persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala bidang tanpa terdapat pengecualian, emansipasi, tabbaruj (memamerkan aurat tubuh) dan selainnya.

Maka kaum muslimin secara umum dan terkhusus wanita-wanita muslimah harus tersadar akan hal tersebut. Bahwa berhijab mengenakan pakaian yang sesuai dengan ketentuan syari’at adalah bukan perkara berganti seragam ala timur tengah setelah seseorang memahami agamanya dengan benar (sesuai ungkapan perkataan sebagian orang).

Wanita-wanita muslimah mengenakan hijab dengan menutup wajah-wajah mereka urusannya bukan perkara  menguntungkan para pedagang pakaian dari negeri Saudi, Yaman atau Pakistan, sehingga urusannya bukan masalah mencintai produk dalam atau luar negeri. Akan tetapi semua itu dikenakan adalah dalam rangka upaya untuk taat atas perintah Allah dan Rasul-Nya.
Di bawah ini kami bawakan dua fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana tuntunan syari’at yang mulia ini dalam memberikan batasan hukum atas aurat wanita ketika di sisi wanita yang lain sebagaimana disebutkan di dalam kitab Liqaa-aatul Baabil Maftuh pada pertanyaan nomor 940.

Pertanyaan :
Fadzilatusy-Syaikh, Apa yang boleh bagi seorang wanita untuk membuka anggota badannya di sisi wanita yang lain?
Jawab :
Wajib bagi wanita untuk memakai baju syar’i yang berfungsi sebagai penutup. Dan dulu gambaran  pakaian wanita-wanita para sahabat adalah sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang selainnya : Yaitu pakaian dari telapak tangan sampai mata kaki ketika di dalam rumah-rumah mereka. Dan jika mereka keluar rumah, mereka memakai pakaian yang panjang yang melebihi dari kaki-kaki mereka sepanjang satu jengkal, dan Nabi shollallohu’alaihi wa sallam memberikan rukhshah /keringanan kepada mereka sampai satu telapak hasta yaitu agar menutupi kaki-kaki mereka. Ini berkenaan dengan wanita yang berpakaian. Dan jika mereka mengangkat pakaian lebih tinggi dari keadaan itu berarti termasuk seorang yang berpakaian tapi telanjang.
Adapun berkaitan dengan wanita yang melihat maka tidak boleh baginya untuk melihat aurat wanita yaitu tidak boleh untuk melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut, semisal ketika seorang wanita sedang membuang hajatnya, maka saat tersebut tidak boleh seorang wanita melihat kepada wanita tadi. Karena berarti melihat auratnya.
Adapun yang di atas pusar atau di bawah lutut maka jika seorang wanita terkadang terbuka dari padanya karena suatu keperluan, misalnya seorang wanita mengangkat pakaiannya dari betisnya karena ia melewati tanah becek misalnya atau ia menghendaki untuk mencuci betisnya dan di sisinya terdapat wanita yang lain maka yang demikian ini tidaklah mengapa. Atau mengeluarkan payudaranya untuk menyusui anaknya di hadapan para wanita maka yang demikian ini tidaklah mengapa.
Akan tetapi tidaklah difahami dari perkataan kita, sebagaimana yang difahami sebagian para wanita yang kurang memiliki pengetahuan, bahwa maknanya adalah bahwa seorang wanita boleh memakai pakaian yang hanya menutupi pusar dan lututnya saja, maka ini adalah kekeliruan dalam  pemahaman.
Dan demikian itu adalah kesalahan yang besar terhadap kitabulloh dan  sunnah RosulNya dan kesalahan besar dalam memahami syari’ah Alloh dan kesalahan besar terhadap Salaful Ummah. Barangsiapa yang mengatakan : Sesungguhnya wanita itu boleh hanya memakai sirwal yang hanya menutupi apa yang ada di antara pusar dan lutut. Apakah demikian ini pakaian para wanita ? maka tidak mungkin!
Bagi wanita wajib untuk memakai pakaian pada badannya dari telapak tangan sampai mata kaki. Adapun wanita yang lain yang melihat pada wanita ( secara hukum ) maka boleh untuk melihat di atas dada dan betis akan tetapi tidak boleh baginya melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut. Jika terbuka pakaiannya maka wanita yang lain tidak boleh melihat apa yang ada di antara pusar dan lutut.

Pertanyaan :
Fadzilatusy-Syaikh, aku telah membaca tulisan anda yaitu sebagai jawaban ketika terdapat pertanyaan kepada anda : Bagi seorang wanita ia boleh membuka di hadapan  mahromnya yaitu dari wajah, kepala, lutut, dua telapak tangan, dua lengan, dua kaki dan dua betis dan ditutup selain dari pada itu. Apakah perkara tersebut adalah mutlak, secara khusus yaitu bahwa pendapat anda ya syaikh, berkaitan dengan pakaian pendek untuk anak-anak wanita dan wanita secara umum adalah tidak boleh?
Jawab :
Kami kalau mengatakan bahwa boleh untuk membuka demikian dan demikian maka bukanlah maknanya adalah hendaklah pakaian tersebut dengan batasan tersebut. Akan tetapi  kita anggap bahwa seorang wanita memakai pakaian yang menutupi sampai mata kaki, kemudian dalam keadaan tersebut apabila terbuka betisnya karena sesuatu hal dari aktifitasnya, maka yang demikian ini tidaklah berdosa jika tidak ada di tempat tersebut kecuali mahromnya atau tidak ada di situ kecuali para wanita.
Adapun mengenakan pakaian yang pendek maka kami melarang dan memperingatkannya, karena kami mengetahui –walaupun perkara tersebut adalah boleh- karena dengan berjalannya waktu akan diletakkan lebih banyak dari perkara tersebut sebagaimana kebiasaan dalam masalah selain ini. Yaitu manusia melakukan sesuatu pada awal waktu dalam bentuk suatu perkara yang mubah, kemudian berkembang dengan berjalannya waktu kepada perkara yang diharomkan dan tidak ada keraguan tentang keharomannya, sebagaimana bahwa Nabi shollallohu’alaihi wa sallam mengatakan :
لا تَنْظُر المَرْأةُ إلى عَورَةِ المَرْأة.
Artinya : Janganlah seorang wanita melihat kepada aurot wanita.
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim npmor (338) Kitab Al-Haidh).

Bukanlah maknanya bahwa seorang wanita itu boleh untuk memakai pakaian  yang hanya menutupi apa yang ada di antara pusar dan lututnya saja. Tidaklah seorangpun berpendapat demikian, akan tetapi maknanya kalau terbuka dari seorang wanita apakah dadanya, atau betisnya bersamaan dengan pakaian yang dikenakan tersebut adalah mencukupinya, maka yang demikian ini tidaklah diharomkan melihatnya dari sisi sesama wanita.
Kita ambil permisalan : Seorang wanita dalam keadaan menyusui anaknya dan terbuka payudaranya karena dalam rangka menyusui anaknya, maka kita tidak mengatakan bagi si wanita lain, sesungguhnya penglihatanmu terhadap payudara si wanita tersebut adalah harom. Karena yang demikian itu bukanlah aurot (bagi si wanita lain tersebut,pent). Adapun kalau ada seorang wanita dan ia mengatakan : Aku tidaklah memakai pakaian kecuali sirwal (celana panjang) saja yang hanya  menutupi antara pusar dan lutut, maka tidaklah seorangpun berpendapat dengan pendapat demikian ini, dan perkara tersebut adalah tidak boleh.
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh- telah menyebutkan bahwa pakaian kalangan para sahabat wanita adalah dari telapak tangan sampai mata kaki mereka, yang demikian ini ketika di rumah-rumah mereka. Adapun jika mereka keluar ke pasar maka suatu  perkara yang diketahui yaitu tentang hadits Ummu Salamah bahwa para wanita itu menjulurkan pakaiannya. Dan Nabi shollallohu’alaihi wa sallam memberikan rukhshoh sampai satu jengkal hasta *. Yaitu karena agar tidak terbuka kedua kakinya jika berjalan.
(Liqoaatul Baabil Maftuh –Al-Liqoouts-Tsamin-‘Ashar-, pertanyaan nomor 660).

* ( Hadits ini dikeluarkan oleh Tirmidzy nomor (3580) Kitab Al-Libas dan ia mengatakan : Hadits ini hasan shohih. Abu Dawud nomor (4117) Kitab Al-Libas. Ibnu Majah nomor (3580) Kitab Al-Libas. An-Nasai nomor ( 5336) Kitab Az-Ziinah.

Demikian bahasan singkat berkaitan dengan menutup aurot sesuai dengan tuntunan syari’ah antara sesama wanita dan wanita di hadapan mahramnya. Bagaimana dengan seorang wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahromnya. Di dalam syari’ah ini juga telah membahas perkara tersebut.
Sehingga sekali lagi kita tekankan bahwa menutup aurat (dalam hal ini adalah memakai pakaian yang paling memenuhi sesuai ketentuan syari’at) apakah untuk kalangan laki-laki dan wanita dengan upaya mengikuti generasi para shahabat sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah urusannya adalah bukan masalah mengganti seragam setelah mengenal pemahaman agama ini dengan benar. Demikian pula bukan urusannya dalam rangka mengikuti program cinta produk dalam negeri atau luar negeri, dan demikian pula urusannya bukan masalah apakah menguntungkan para pengusaha pakaian dari negeri-negeri timur tengah, Saudi, Yaman atau Pakistan atau Negara lain. Tetapi urusannya adalah upaya untuk mengikuti jejak generasi salaful ummah bagaimana mereka berpakaian dengan pakaian yang paling memenuhi syarat sesuai ketentuan syari’at.

sumber: http://www.salafy.or.id/bahasan-singkat-tentang-menutup-aurat/

Hukum Tentang Wanita Melihat Laki-Laki di Televisi dan di Jalanan

Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan terhadap apa yang mereka perbuat. Dan Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,”
(An-Nur: 30-31)


Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)


Ulama sepakat, sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi rahimahullahu dalam Syarah Muslim bahwasanya memandang laki-laki dengan syahwat haram hukumnya.

Sebagian ulama membolehkan untuk memandang laki-laki secara mutlak. Mereka berdalil dengan kisah Aisyah radhiallahu ‘anha yang melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak (perang-perangan) di masjid sampai ia bosan dan berlalu.
وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرَ إِلَى لَعِبِهِمْ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ أَجْلِي حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ فَاقْدِرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ حَرِيصَةً عَلَى اللَّهْوِ
“Demi Allah, Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pintu kamarku, sementara orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menutupiku dengan kainnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Kemudian beliau berdiri (agar aku lebih leluasa melihat), sampai saya sendiri yang berhenti (setelah bosan) melihatnya. Karena itu, berilah keleluasaan kepada anak-anak wanita untuk bermain.”
(Riwayat Muslim no. 1481)


Imam Nawawi rahimahullahu menjawab dalil mereka ini bahwasanya peristiwa itu mungkin terjadi ketika Aisyah belum baligh.
Namun Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu membantahnya dengan mengatakan ucapan Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupinya dengan selendang beliau menunjukkan peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah hijab. (Dan Aisyah dihijabi oleh beliau menunjukkan bahwa Aisyah telah baligh).
Imam Nawawi rahimahullahu memberi kemungkinan yang lain, beliau mengatakan: Dimungkinkan Aisyah hanya memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera dipalingkan ke arah lain saat itu juga.
(Lihat Fathul Bari 2/445).
Dengan demikian, hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan pandangan matanya jatuh kepada sesuatu yang tidak diperkenankan baginya, termasuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
(Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah hafizhahallah, putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu)

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2013/01/13/hukum-tentang-wanita-melihat-laki-laki-di-televisi-dan-di-jalanan/

Sudahkah Ikhlas Karena Allah ? Yakin ?

Dengan berharap wajah Allah, suatu nikmat yang tiada terduga. Kebahagiaan sesungguhnya adalah kebahagiaan bisa berjumpa dan bertemu dengan Allah Sang Rabb dan Rasulullah Sang KekasihNya. ^_^

Cara Mengetahui Kadar Keikhlasan Diri Kita

Ditulis oleh Al-Ustadz Fahmi Abubakar Jawwas
Dan dari tanda-tanda lemahnya keikhlasan atau tidak adanya keikhlasan -wal ‘iyaadzu billah- sebagai berikut :
  1. Riya dan Sum’ah: Dia menyukai agar manusia melihat amalannya atau mendengarkan apa yang telah dia amalkan.
  2. Meminta keridhaan kepada para makhluk dan mendahulukannya dari pada keridhaan Sang Pencipta.
  3. Meminta ganti atau timbal balik dari pekerjaannya kepada para makhluk walaupun gantinya itu secara makna seperti pujian dan kekaguman.
  4. Giat jika di sana terdapat pujian dan sanjungan, dan bermalas-malasan dan lalai jika di sana mendapatkan aib dan celaan
  5. Dia akan rajin jika dilihat oleh manusia dan dia bermalas-malasan jika tidak dilihat oleh manusia.
  6. Melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam kesendirian dengan menampakan penghormatannya di depan manusia.
  7. Mencari ketenaran.
  8. Dia akan mengamalkan jika muncul sesuatu dan tidak mengamalkan jika diremehkan.
  9. Menolak nasehat dan tidak menerima keritikan yang tepat/benar.
  10. Pengikut hawa nafsu.
  11. Hasad kepada saudaranya yang telah melampauinya di dalam perkara-perkara yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti menghafal Al-Qur’an atau dalam menunaikan usaha yang baik atau mencari ilmu.
  12. Kikir dan tidak mau berkorban untuk da’wah.
  13. Menghinakan diri di tempat yang terbuka untuk menampakan bahwasanya dia adalah orang yang tawadhu’.
Dan adapun tanda-tanda kuatnya keikhlasan itu sebagai berikut :
  1. Dia berniat ikhlas kepada Allah di setiap waktu.
  2. Agar dia menjadikan perbuatan yang keadaannya sepi itu lebih dia senangi dari pada perbuatan yang terlihat.
  3. Agar dia menjadikan perbuatannya di tempat yang tersembunyi seperti perbuatannya di tempat yang terlihat atau lebih utama lagi.
  4. Dia beramal kebaikan dimanapun dia berada, kapanpun waktunya dan di dalam keadaan apapun juga.
  5. Selalu mendahulukan kebenaran di atas apapun juga walaupun menyelisihi hawa nafsunya.
  6. Dia mengerjakan kebaikan dan dengan itu pula dia takut akan tidaknya diterima amal kebaikan tersebut, seperti yang telah datang dari hadits Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata: ”Aku bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini :

(وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (المؤمنون :60

Artinya : ”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.
(QS. Al-Mukminun: 60)
berkata Aisyah Radiyallahu ‘anha: ”Mereka itu adalah orang-orang yang meminum -minuman keras dan mencuri.” Rasulllahu Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda: ”Tidak wahai anak wanita Ash-Shiddiq, bahkan mereka itu adalah orang–orang yang berpuasa, melaksanakan shalat dan bershadaqah dan mereka takut untuk tidaknya diterima amalan tersebut.” 

(أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ ( المؤمنون :٦١

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang berlomba-lomba untuk memperolehnya.
(QS. Al-Mukminun: 61)[1]
Dan ini ada seorang manusia yang melaksanakan shalat dan memanjangkan shalatnya dan seorang laki-laki di belakangnya melihat, dan fahamlah dia apa yang ada padanya, maka ketika selesai shalatnya maksudnya ketika dia salam, dia berkata: ”Janganlah kamu merasa kagum dengan apa yang telah kau lihat dariku, sesungguhnya iblis telah beribadah kepada Allah bersama para Malaikat bermasa-masa.”[2]
(Al-Ikhlaash Liman Araadal Kholaash hal 9)
[1] HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dishahihkan Asy-Syaikh Albani Rahimahullah diAs-Silsilah Ash-Shahiihah no 162. Aku (Asy-Syaikh Albani Rahimahullah-pent) berkata: ”Dan rahasia di dalam ketakutan orang-orang mukmin adalah takut akan tidak diterimanya ibadah-ibadah mereka, bukan maksud ketakutannya adalah untuk tidak ditunaikannya pahala-pahala mereka oleh Allah Azza Wa Jalla, maka sesungguhnya ini menyelisihi janji Allah kepada mereka seperti difirman Allah Azza Wa Jalla,

(فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ (النساء: ١٧٣

Artinya: ”Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka.” (QS. An-Nisaa’: 173)
Bahkan sesungguhnya Allah benar-benar akan menambahkan atas pahala-pahala mereka, seperti yang Allah Azza Wa Jalla telah firmankan,

(لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ( فاطر: ٣٠

Artinya: ”Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala-pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” 
(QS.Faathir: 30)
Dan Allah Azza Wa Jalla tidak menyelisihi apa yang telah Dia janjikan seperti Allah firmankan di dalam KitabNya, dan hanya saja rahasianya itu sesungguhnya penerimaan amalan itu berkaitan dengan cara melaksanakan ibadah itu seperti yang diperintahkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, dan mereka tidak bisa memastikan bahwasanya mereka telah melaksanakannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah Azza Wa Jalla. Bahkan mereka mengira bahwasanya mereka telah berbuat lalai di dalam permasalahan itu. Untuk itu mereka takut untuk tidak diterimanya amalan-amalan mereka.
Maka agar orang yang beriman merenungkan perkara ini, dan semoga dia menambahkan keingininannya yang sangat di dalam memperbaiki amalan ibadahnya, dan mengerjakannya seperti yang diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla, dan itu dengan perbuatan ikhlas di dalam mengamalkan ibadah kepadanya, dan mengikuti NabiNya Shalallahu Alaihi Wasallam di dalam melaksanakan ibadah dengan petunjuknya, dan itu adalah arti dari firman Allah Azza Wa Jalla,

(فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ( الكهف :١١٠

Artinya : ”Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia melakukan persekutuan dalam beribadat kepada Rabbnya.”
(QS. Al-Kahfi: 110)
(As-Silsilah Ash-Shahiihah hal 1/198)
[2] Disini ada catatan bahwasanya seseorang yang masih hidup itu tidak aman dari suatu fitnah. Bahkan permisalan yang sangat jelas ini diberikan kepada iblis yang mana ia adalah sosok ahlul ibadah yang beribadah bermasa-masa kepada Allah Azza Wa Jalla bersama para malaikatNya. Bahkan Allah telah memasukannya dengan panggilan malaikat seperti di dalam surat (Al-Baqarah :34) bagaimana dengan orang yang di bawah dari itu kedudukannya maka apa lagi.
Dan juga Abdullah Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu berkata: ”Janganlah salah seorang dari kalian mengikuti seseorang tentang agamanya, maka jika ia beriman diapun akan beriman, dan jika dia kafir diapun akan kafir, maka jika kalian tidak ada jalan lagi kecuali mengikuti, maka ikutilah orang-orang yang telah wafat sesungguhnya orang yang masih hidup itu tidak aman akan terjatuhnya dia kepada fitnah.”
(Hilyatul Auliyaa’i Wa Thabaqaatil Ashfiyaa’ Li Abi Nu’aim Al-Ashfahaani Rahimahullah 1/136)
Dan Syaikh Abdullah Al-Mar’ii Hafidzahullah pernah bercerita tentang murid seniornya Syaikh Al-Utsaimin Rahimahullah yang dia telah dipercaya oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam mengajar dll. Setelah wafatnya Syaikh Al-Utsaiman Rahimahullah, dia telah melenceng dan menjadi seorang hizbi, Nas’alullah As-Salaamah Wayutsabbitana ‘Alal Islaam Wa Sunnati Nabiyyina Shalallahu Alaihi Wasallam Wal Khulafaa’ Ar- Raasyidiin Al-Mahdiyyin Laa Sunnata fulaan walaa ‘Allaan. Dan semoga kita bisa mengambil manfaat dari tulisan ini. Aamiin, aamiin, aamiin ya Rabbal ‘Alamiin. Dan sesungguhnya ini peringatan untuk diriku khususnya yang masih selalu berusaha untuk mempraktekannya dan juga orang-orang yang mau mengambil pelajaran dan itu adalah sifat-sifat orang-orang yang beriman,

(وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ (الذاريات :٥٥

Artinya: ”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs.Adzaariyaat:55)
Adapun selain orang-orang yang beriman maka sifatnya adalah sebaliknya,

(وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِيَذَّكَّرُوا وَمَا يَزِيدُهُمْ إِلا نُفُورًا ( الاسراء :٤١

Artinya: ”Dan Sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan pengulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).”
(QS. Al-Isro’:41)
Wash-sholaatu ‘Ala Muhammadin Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin.

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2012/11/19/sudahkah-ikhlas-karena-allah-yakin/

Adab-Adab Berjalan

Bismillahirahmanirahim


Aktifitas yang satu ini tidak bisa lepas dari keseharian kita. Baik didalam ruangan maupun diluar ruangan. Lalu bagaimana pula sikap dan cara kita mengatur gerakan yang satu ini? Adakah ketentuan dan rambu-rambu syariat yang mesti kita lakukan? Ya, ada beberapa aturan Islam dalam hal berjalan, diantaranya sebagai berikut:

1. BERSIKAP TAWADHU DAN TIDAK SOMBONG DALAM BERJALAN
Dada dibungsungkan, kepala agak tegak sedikit, dan sikap berjalan yang lain yang mencerminkan kesombongan tidaklah Allah subhanahu wata’ala ridhai. Bahkan, sikap seperti ini justru akan mendatangkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولًۭ
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
(QS.Al-Isra’: 37)
Demikian pula dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ  {18}
Dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(QS. Luqman:18)

2. TIDAK BERJALAN DENGAN HANYA MEMAKAI SATU SANDAL
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الشيطان يمشي في النعل الواحدة
“Sesungguhnya syaithan berjalan dengan 1 sandal.”
(HR Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لا يمش أحدكم في نعل واحدة ولينعلهما أو ليخلعهما جميعا
Janganlah salah seorang dari kalian berjalan menggunakan satu sandal, dan hendaklah ia memakai semuanya atau melepaskan semua”
(HR. Al-Bukhory  dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikianlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa memakai satu sandal dalam berjalan adalah amalan syaithan. Sedangkan kita diperintahkan untuk menyelisihi semua tindak tanduk syaithan. Sebab, syaithan berupaya untuk menyelisihi syariat Allah dan mengajak manusia untuk mengikutinya.

3. SESEKALI BERTELANJANG KAKI DALAM BERJALAN
Berdasarkan perkataan Fudhalah radhiyallahu ‘anhu:
(كان النبي صلى الله عليه وسلم يأمرنا أن نحتفي أحياناً) (رواه أحمد)
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar kadang-kadang telanjang kaki (ketika berjalan).”
(HR Ahmad, Abu Daud dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam silsilah Kitab Ash Shahihah dan kitab Shahih Sunan Abi Dawud)

4. MELAKUKAN CARA JALAN YANG BAIK DAN MENINGGALKAN CARA JALAN YANG TIDAK BAIK

*) Adapun berjalan yang baik adalah sebagai berikut:
a. Berjalan dengan cepat, tenang dan baik
Hal ini sebagaimana cara jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat jalannya, paling baik dan tenang.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita: “Saya tidak pernah melihat orang yang paling gagah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seakan-akan matahari berjalan diwajahnya, dan saya tidak pernah melihat seseorang yang paling cepat jalannya daripada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, seakan-akan bumi terlipat untk beliau.”
(HR At-Tirmidzi)
Cepat dalam berjalan tidak berarti tergesa-gesa. Namun, cepatnya jalan beliau menandakan kekuatan dan semangat ketika berjalan.
b. Berjalan tegak dan tidak bungkuk
Demikianlah contoh cara jalan yang baik. Sebagaimana ini adalah cara jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam orangnya berpostur sedang, tidak tinggi ataupun pendek, fisiknya bagus. Warna kulitnya kecoklatan. Rambutnya tidak keriting, juga tidak lurus. Apabila berjalan, beliau berjalan dengan tegak.”
(HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Demikian pula hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Beliau berjalan dengan tegak layaknya orang yang sedang menapaki jalan menurun.”
(HR AT-Tirmidzi)
c. Memosisikan badan condong kedepan
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
” Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan, beliau condong kedepan seakan-akan beliau turun dari shahab (tempat yang tinggi).”
(HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Jalan seperti ini adalah jalannya orang-orang yang memiliki tekad dan keinginan yang kuat.

**) Adapun cara jalan yang tidak baik, misalnya:
a. Banyak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika berjalan
Disebutkan dalam riwayat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila beliau berjalan, beliau tidak menoleh.”
(HR Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam shahihul jami’)
Banyak menoleh ketika berjalan adalah sifat orang yang bimbang, takut atau seorang pencuri. Sehingga amalan ini tidaklah berfaedah, bahkan merupakan perkara yang tercela. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah mengatakan, “Dua perkara yang menggolongkanmu menjadi seorang yang dungu atau bodoh; Banyak menoleh dan bergegas dalam menjawab.”
(Adab Asy syar’iyyah)
Ibrahim An Nakhai rahimahullah juga mengatakan, “Bukan termasuk sikap terhormat, banyak menoleh dijalan.”
Adapun menoleh karena kebutuhan, tentulah hal ini diperbolehkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah melakukan. Namun termasuk adab pula adalah bila menoleh, hendaknya tidak hanya kepala, tapi sertakan pula badannya.
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila menoleh, beliau menoleh dengan keseluruhan (badan) beliau.”
(HR Ahmad dalam Al Musnad dan Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam shahih Al Adabul Mufrad)
b. Bersikap lemah ketika berjalan
Sikap lemah ketika berjalan adalah lawan dari sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat. Oleh karenanya, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkari cara berjalan seperti ini, dan membandingkan dengan cara jalan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Dahulu Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang pembaca (penghapal Al Qur’an). Namun, bila berjalan ia cepat, bila berbicara terdengar dan bila memukul (menghukum) memberikan rasa sakit.”
(Al Kaamil)
c. Berjalan meniru cara berjalan lawan jenis
Meniru lawan jenis, baik dari gaya bicara, pakaian, sikap, termasuk gaya berjalan, hukumnya haram. Berdasarkan keumuman larangan menyerupai lawan jenis.
Nah demikian sekelumit pembahasan hukum dan tata cara berjalan dengan baik dan benar. Semoga berfaedah. aamiin (hammam).

Sumber: catatanmms.wordpress.com/2013/03/26/adab-adab-islami-dalam-berjalan/

Rabu, 14 Agustus 2013

Lindungi Diri dengan Jilbab Syar'i


Islam mewajibkan seorang wanita untuk dijaga dan dipelihara dengan sesuatu yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Wanita dikhususkan dengan perintah untuk berhijab (menutup diri dari laki-laki yang bukan mahram). Baik dengan mengenakan jilbab, maupun dengan betah tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali jika ada keperluan, berbeda dengan batasan hijab yang diwajibkan bagi laki-laki.
Allah ta‘ala telah menciptakan wanita tidak sama dengan laki-laki. Baik dalam postur tubuh, susunan anggota badan, maupun kondisi kejiwaannya. Dengan hikmah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, kedua jenis ini telah memunculkan perbedaan dalam sebagian hukum-hukum syar‘i, tugas, serta kewajiban yang sesuai dengan penciptaan dan kodrat masing-masing sehingga terwujudlah kemaslahatan hamba, kemakmuran alam, dan keteraturan hidup.
Wanita telah digariskan menjadi lentera rumah tangga sekaligus pendidik generasi mendatang. Oleh karena itu, ia harus menjaga kesuciannya, memiliki rasa malu yang tinggi, mulia, dan bertaqwa. Telah dimaklumi bahwa seorang wanita yang berhijab sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak akan diganggu orang yang dalam hatinya terdapat keinginan untuk berbuat tidak senonoh, serta akan terhindar dari mata-mata khianat.

Pengertian Jilbab
Ada beberapa pendapat di kalangan ulama tentang definisi jilbab. Ibnu Rajab mengatakan jilbab itu mala-ah (kain yang menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki yang dipakai melapisi baju bagian dalamnya, seperti jas hujan). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Baghawi dalam tafsirnya dan al-Albani. Ada juga yang berpendapat jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi, Ibnu Hajar, dll. As-Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada, dan punggung ketika keluar rumah.”

Syarat Jilbab
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh besar modern dalam bidang hadits, telah melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta atsar-atsar para ulama terdahulu mengenai masalah yang penting ini. Beliau mengatakan bahwa seorang wanita hanya diperbolehkan keluar dari rumahnya (begitu pun apabila di dalam rumahnya terdapat laki-laki yang bukan mahramnya) dengan mengenakan jilbab, yaitu berbagai jenis pakaian yang telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:

Syarat pertama: Menutupi Seluruh Tubuh kecuali Bagian yang Dikecualikan

Syarat ini tercantum dalam firman Allah ta‘ala, surat An-Nuur, ayat 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’” (Qs An Nuur: 31)

Begitu juga surat Al-Ahzaab, ayat 59,
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi‘in memang berselisih pendapat mengenai tafsir “… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya …” (Qs An-Nuur: 31). Ada yang berpendapat bahwa perhiasan yang boleh nampak adalah pakaian bagian luar yang dikenakan wanita karena tidak mungkin disembunyikan, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sedangkan Ibnu Jarir rahimahullah lebih memilih wajah dan kedua telapak tangan sebagai perhiasan yang boleh ditampakkan, karena keduanya bukan termasuk aurat. Al-Albani juga berpendapat bolehnya seorang wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangan, namun beliau mengingatkan bahwa pendapat tersebut dibangun dengan syarat pada bagian wajah dan telapak tangan tidak terdapat perhiasan. Apabila terdapat perhiasan pada dua bagian tubuh tersebut seperti cincin, make up, dan lain-lain maka keduanya harus ditutupi, berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala, “… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya …” (Qs An-Nuur: 31).

Syarat kedua: Bukan Untuk Berhias

Tujuan utama perintah memakai jilbab adalah untuk menutupi perhiasannya, sebagaimana dalil di atas. Oleh karena itu, jilbab yang dikenakan seorang wanita tidak boleh diperindah dengan perhiasan sehingga menarik perhatian dan pandangan kaum laki-laki. Fenomena memperindah pakaian yang dikenakan seorang muslimah ketika keluar rumah banyak terjadi di tengah masyarakat, contohnya adalah bordiran warna-warni, payet, pita sulam emas serta perak yang menyilaukan mata, dan lain sebagainya. Adapun warna pakaian selain putih dan hitam bukanlah termasuk kategori perhiasan, berdasarkan riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan jubah berwarna merah.

Syarat ketiga dan keempat: Bahannya Tebal, Tidak Transparan, dan Tidak Menampakkan Lekuk Tubuh

Agar dapat tercapai tujuan tertutupnya aurat, maka jilbab yang dikenakan harus tebal dan tidak transparan yang dapat memperlihatkan warna kulit dan rambut. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Khimar adalah sesuatu yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”
Selain tebal, pakaian tersebut juga tidak menggambarkan lekuk tubuh. Terkadang ada bahan pakaian yang tebal namun sangat halus sehingga melekat pada tubuh, atau bisa jadi karena ukurannya yang ketat sehingga nampak lekuk tubuh si pemakai. Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qubthiyah yang telah kuberikan?’ ‘Aku memberikannya kepada istriku,’ jawabku. Maka beliau berpesan, ‘Perintahkanlah istrimu agar memakai pakaian bagian dalam sebelum mengenakan baju Qubthiyah itu. Aku khawatir baju itu akan menggambarkan lekuk tubuhnya.’” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi, hasan).

Syarat kelima: Tidak Menggunakan Wewangian atau Parfum

Kaum wanita dilarang menggunakan wewangian ketika keluar rumah berdasarkan banyak hadits. Salah satunya adalah hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Seorang wanita melintas di hadapan Abu Hurairah dan aroma wewangian yang dikenakan wanita tersebut tercium olehnya. Abu Hurairah pun bertanya, ‘Hai hamba wanita milik Al-Jabbar (Allah ta’ala)! Apakah kamu hendak ke masjid?’ ‘Benar,’ jawabnya. Abu Hurairah lantas bertanya lagi, ‘Apakah karena itu kamu memakai parfum?’ wanita tersebut menjawab, ‘Benar.’ Maka Abu Hurairah berkata, ‘Pulang dan mandilah kamu! Sungguh, aku pernah mendengar Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah tidak akan menerima shalat wanita yang keluar menuju masjid sementara bau wangi tercium darinya, hingga ia kembali ke rumahnya dan mandi.’” (HR. Al-Baihaqi, shahih)
Hadits ini menunjukkan haramnya seorang wanita keluar menuju masjid dengan memakai wewangian. Lalu bagaimana hukumnya  jika wanita tersebut hendak menuju tempat perbelanjaan, perkantoran atau jalanan umum? Tentu tidak diragukan lagi keharaman dan dosanya lebih besar walaupun seandainya suaminya mengizinkan.

Syarat keenam: Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ahmad, shahih)
Adz-Dzahabi rahimahullah menggolongkan perbuatan menyerupai lawan jenis (tasyabbuh) termasuk dosa besar, berdasarkan kandungan hadits-hadits shahih dan ancaman keras yang disebutkan di dalamnya. Tasyabbuh yang dilarang dalam Islam berdasarkan dalil-dalil meliputi masalah pakaian, sifat-sifat tertentu, tingkah laku, dan yang semisalnya, bukan dalam hal perkara-perkara kebaikan. Alasan ditimpakannya laknat bagi pelaku tasyabbuh menurut Syaikh Abu Muhammad bin Abu Jumrah adalah karena orang tersebut telah keluar dari tabi’at asli yang Allah ta’ala karuniakan bagi dirinya.

Syarat ketujuh: tidak menyerupai pakaian wanita kafir

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, hasan)
Meniru-niru penampilan lahiriah kaum musyrikin akan menghantarkan pada kesamaan akhlak dan perbuatan. Terdapat kaitan erat antara penampilan luar seseorang dengan keimanan yang ada dalam batin, keduanya akan saling mempengaruhi.

Syarat kedelapan: Bukan merupakan Pakaian yang Mengundang Sensasi di masyarakat (pakaian syuhrah)

Jilbab yang dipakai wanita muslimah tidak boleh mengundang sensasi atau nyeleneh, sehingga menjadi pusat perhatian orang, baik pakaian tersebut pakaian yang sangat mewah maupun murahan. Adapun penampilan yang sesuai dengan syari‘at namun berbeda dengan masyarakat pada umunya maka bukan termasuk dalam pakaian syuhrah.
“Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan pakaian (kehinaan) yang serupa baginya pada hari kiamat, lalu Allah akan menyulutkan api pada pakaian itu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, hasan)
Kedelapan syarat di atas harus terpenuhi seluruhnya untuk mencapai makna jilbab yang dimaksudkan dalam Islam. Hendaklah kaum mukminah bersegera melaksanakan apa yang Allah ta’ala perintahkan, salah satunya yaitu untuk mengenakan jilbab sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cukuplah para shahabiyah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sungguh wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Namun demi Allah, aku belum pernah menjumpai kaum wanita yang lebih utama, membenarkan kitabullah, dan lebih kuat keimanannya terhadap apa yang diturunkan Allah daripada wanita Anshar. Ketika Allah menurunkan surat An-Nuur (ayat 31), ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,’ para laki-laki Anshar pulang untuk membacakan ayat tersebut kapada istri, putri, saudarinya, serta para kerabatnya. Setelah mendengarnya, mereka pun langsung bangkit mengambil kain tirai rumahnya (lebar dan tebal), lalu menjadikannya kerudung; sebagai bentuk pembenaran dan keimanan terhadap hukum yang Allah ta’ala turunkan melalui kitab-Nya.”
Ya Allah, tutupilah aurat kami (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tentramkanlah kami dari rasa takut.
Wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammadin walhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamin.

Sumber : http://muslimah.or.id/fikih/lindungi-diri-dengan-jilbab-syari.html