Rabu, 19 Maret 2014

Sudahkah Kebutuhan Putra Putri Anda Terpenuhi?

catatanmms102

SUDAHKAH KEBUTUHAN PUTRA-PUTRI ANDA TERPENUHI ?
Setiap orang tua pasti menginginkan semua kebutuhan anak-anaknya terpenuhi.
Tabiat cinta, kasih, dan sayang terhadap putra-putrinya, memacu mereka berupaya sekuat tenaga mencari materi untuk memperoleh kebutuhan buah hatinya.

Mulai dari kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, pakaian, dll, hingga kebutuhan yang bersifat tambahan seperti perhiasan, alat komunikasi dan semisalnya. Mereka berantusias agar jangan sampai putra-putrinya terluput dari itu semua.

Benar. Pemenuhan kebutuhan mereka dari sisi materi ini, jika dilakukan dengan niat ikhlas Lillahi Ta’ala, disertai penuh harap dengan apa yang telah Allah janjikan untuk hamba-hambaNya, maka sungguh para orang tua akan berbahagia dengan pahala, kelak nanti di hari yang justru anak-anaknya yang dikasihinya itu sama sekali tidak lagi bermanfaat bagi mereka.
Wahai para ayah dan para ibu. Kita tahu, bahwa ternyata di sana ada kebutuhan yang jauh lebih penting dan lebih berharga untuk dipenuhi bagi anak-anak lebih dari sekadar kebutuhan materi. Yaitu kebutuhan berupa bimbingan ilmu agama Islam. Kebutuhan yang sangat bermanfaat untuk dunia dan akhirat mereka.
Kebutuhan yang sebenarnya jika ditilik lebih dalam, juga bermanfaat buat para orang tua itu sendiri. Betapa tidak, ketika mereka tumbuh besar menjadi anak-anak yang sholih, merekalah amal yang tak terputus pahalanya bagi orang tua.

Wahai saudaraku. Sebuah potret yang sangat indah telah diwariskan oleh orang-orang sholih sebelum kita.

Mereka tak jarang memberikan bimbingan syar’i kepada putra-putri mereka. Menasehati, mengarahkan, dan memperingatkan dari hal-hal yang dapat merusak akhlak mereka.

Nasehat untuk taqwa, jujur, ikhlas, semangat belajar, tawadhu, sabar, dan lainnya dari ketaatan kepada Allah, senantiasa mereka sampaikan dan tanamkan pada diri mereka.

Wahai saudaraku. Berikut ini adalah contoh yang mungkin perlu kita teladani dan kita tiru dari figur seorang ayah yang sangat perhatian dan sayang kepada putranya.

๐Ÿ„Berkata Urwah bin az-Zubair kepada putranya:
“Wahai anakku. Kemarilah. Belajarlah kepada ayah. Sungguh, kelak kamu akan jadi panutan kaummu. Ketahuilah wahai anakku, dulu ketika ayah masih kecil, sama sekali tidak ada orang yang simpati dengan ayah. Namun setelah ayah mencapai usia dewasa, mulailah manusia menaruh rasa simpati pada diri ayah. Mereka berbondong-bondong mendatangi ayah guna menanyakan permasalahan ilmu (agama). Ketahuilah wahai anakku, merupakan perkara yang teramat berat yang menimpa seseorang, manakala ia ditanya seputar permasalahan agama, namun ia tidak bisa menjawabnya”.

๐Ÿ„Lukman al Hakim berwasiat kepada putranya :
“Wahai putraku. Duduklah bersama para ulama dan dekatkanlah lututmu kepada mereka. Ketahuilah, sesungguhnya Allah menghidupkan hati dengan ilmu. Sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan dari langit”.

๐Ÿ„Dalam kesempatan lain Lukman al Hakim berpesan kepada putranya :
“Wahai anakku. Janganlah kamu mempelajari ilmu (agama) hanya untuk berbangga diri di hadapan para ulama, dan meremehkan orang-orang yang jahil. Janganlah kamu meninggalkan ilmu karena merasa cukup (dari ilmu yang telah engkau dapat), sementara kamu lebih suka dengan kejahilan.
Wahai anakku. Carilah majelis orang-orang sholih yang senantiasa berdzikir kepada Allah. Duduklah bersama mereka. Sebab tatkala kamu memiliki sedikit ilmu, maka ilmu yang engkau miliki akan bermanfaat bagi mereka. Sebaliknya tatkala kamu tidak memiliki ilmu, maka mereka akan mengajarimu.
Ketahuilah wahai anakku tercinta, ketika kamu berada di tengah-tengah mereka, bisa jadi Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada mereka. Kamu pun akan memperoleh rahmat tersebut.
Sebaliknya, apabila kamu melihat perkumpulan orang-orang yang berpaling dari dzikir kepada Allah, maka janganlah kamu bergabung bersama mereka. Sebab jika kamu memiliki ilmu, tidaklah akan bermanfaat ilmu tersebut bagi mereka. Dan jika kamu tidak memiliki ilmu niscaya mereka takkan dapat mengajarimu. Bahkan mereka akan menjerumuskanmu pada kebinasaan. Ketahuilah wahai anakku, tatkala kamu bersama mereka, bisa jadi Allah akan menurunkan adzab-Nya atas mereka, sehingga kamu pun akan tertimpa adzab tersebut”.

Ketiga kisah di atas disarikan dari Kitab Jami’ Bayan al ‘Ilmi wa Fadhlihi hal. 114 & 147 cet. Muassasah ar-Risalah Nasyirun.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua.

Dikirim oleh Al-akh Abu Musa (salah satu Thulab di Darul Hadist Fuyus,Yaman)

Rabu, 12 Maret 2014

Jangan Meremehkan Orang, Kawan!

JANGAN MEREMEHkAN ORANG, KAWAN!
Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai

Namanya adalah Dawud Azh Zhahiri. Bagi Anda yang tertarik dengan cabang ilmu fikih, namanya kerap disebut-sebut. Iya benar, madzhab yang diusung oleh Dawud memang memberikan warna lain di dalam fikih Islam. Mungkin selama ini kita lebih sering mengenal madzhab Syafi’i, madzhab Hambali, madzhab Maliki atau madzhab Hanafi. Padahal, madzah Dawud Azh Zhahiri pun telah mengambil peran tersendiri.

Siapakah Dawud Azh Zhahiri?

Nama lengkapnya Dawud bin Ali bin Khalaf Al Baghdadi Azh Zhahiri. Al Imam Adz Dzhahabi menyebutnya di dalam Siyar A’lam Nubala’ sebagai seorang “al-imam al bahr al hafizh al ‘allamah ‘alimul waqt, Abu Sulaiman Al Baghdadi al ma’ruf bil Ashbahani maula Amiril Mukminin Al Mahdi rais ahli zhahir.”

“Seorang imam, lautan ilmu, sang hafidz, ulama besar, alimnya masa itu, Abu Sulaiman yang lebih dikenal dengan julukannnya Al Ashbahani, seorang anggota keluarga budak yang dibebaskan oleh Amirul Mukminin Al Mahdi juga tokoh ulama Zhahriyah.” Begitulah terjemah dari pernyataan Al Imam Adz Dzahabi yang tersebut di atas.

Dilahirkan pada tahun 200 H, Dawud ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ berkesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar masa itu. Sebut saja di antaranya adalah Sulaiman bin Harb, Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi,n Musaddad bin Musarhad, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Al Qawariri, dan ulama lain yang semasa dengan mereka.

Di akhir biografi Dawud, Al Imam Adz Dzahabi ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ menyatakan, “Secara singkat, Dawud bin Ali adalah seorang ulama yang menguasai fikih, alim dalam bidang Al Qur’an, hafal hadits-hadits, seorang tokoh ternama yang mengetahui silang pendapat para ulama, termasuk sumber ilmu, mempunyai kecerdasan yang luar biasa dan agama yang kokoh. Dawud meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 270 H, ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ .”

Suatu hari, Dawud sang imam ini pernah mengalami sebuah kisah yang menohok. Kisah ini pun kemudian mengubah cara berpandangan secara total.

Dahulu, sebagaimana rutinitas harian beliau, ketika itu Dawud duduk di atas kursinya sebagai seorang guru yang menyampaikan berbagai materi ilmu untuk murid-muridnya. Di tengah-tengah pelajaran, seseorang yang terlihat masih asing turut duduk bergabung di dalam majelisnya.

Dawud rupanya menganggap remeh orang baru tersebut. Sebuah pertanyaan lalu dilemparkan Dawud untuk orang itu. Sebuah pertanyaan yang mudah dan ringan. “Apa yang Anda ketahui tentang berbekam?”

Tak di sangka juga tak dinyana. Orang itu dengan lancarnya menyebutkan beberapa dalil tentang berbekam. Kata-katanya mengalir deras ketika menukilkan pendapat dan keterangan para tabib terkenal mengenai berbekam. Rupanya orang itu memiliki wawasan yang luas. Bahkan di akhir penjelasan, orang itu menutupnya dengan kata-kata menohok, “Asal usul berbekam itu justru dari negeri kalian, dari negeri Ashbahan!”
[At Tajul Mukallal hal 246]

Dawud memang termasuk warga Ashbahan. Duh, alangkah malunya Dawud dengan kejadian tersebut. Mulai hari itu, Dawud bertekad untuk tidak lagi meremehkan orang lain.

Kisah di atas sangat luar biasa. Bayangkan saja, ulama besar semacam Dawud ternyata pernah mengalami moment “pahit” semacam itu. Namun kisah tersebut semakin menegaskan bahwa kesempurnaan mutlak milik Allah.

Akan tetapi, ada sisi lain yang menurut saya jauh lebih hebat lagi, yakni pengakuan jujur dariu seorang Dawud. Andai saja Dawud malu, bisa saja beliau tidak bercerita kepada orang lain. Namun, sampainya kisah tersebutu kepada kita menunjukkan bahwa beliau bukanlah orang yang malu terhadap kebenaran. Beliau menyampaikan kepada kita agar hal tersebut menjadi pelajaran untuk kitya. Jangan sekali_kali meremehkan orang lain.

Di dalam ajaran Islam yang luhur, sikap meremehkan orang lain amatlah tercela. Apalagi hanya mengukurnya dari bentuk lahiriah. Islam menutup celah ini serapat-rapatnya. Di sisi lain, Islam membimbing umatnya untuk bersikap tawadhu’ di hadapan sesama hamba. Sebab yang terbaik di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa. Al Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ูˆَุงِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ุฃَูˆْุญَู‰ ุงِู„َู‰َ ุฃู†ْ ุชَูˆَุงุถَุนُูˆุง ุญَุชَّู‰ ู„َุง ูŠَูْุฎَุฑَ ุฃَุญَุฏَ ุนَู„َู‰ ุฃَุญَุฏ , ูˆَู„َุง ูŠَุจْุบِูŠ ุฃุญَุฏ ุนَู„َู‰ ุฃุญَุฏ

“Dan sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu untukku agar kalian bersikap tawadhu’. Supaya tidak ada seorang pun bersikap sombong kepada orang lain. Supaya tidak ada seorang pun bersikap zalim kepada orang lain.”
[H.R. Muslim no. 2865]

Islam itu indah, bukan?

Siapa pun orangnya, ia tidak boleh merasa lebih baik dari saudara muslim yang lain. Tidak menutup kemungkinan, seseorang yang dianggap jahat dan buruk di kemudian waktu lantas sadar dan berbenah diri. Bisa juga seseorang yang dinilai baik dan shalih justru berakhir dengan tragis, meninggal dunia dengan membawa kesesatan. Adakah yang beranu menjamin jalan hidup manusia itu tidak berubah? Na’udzu billah min dzalik.

Jangan meremehkan orang lain, kawan! Simaklah kisah lain berikut ini. Sebuah kisah yang mencerminkan bahwa meremehkan orang bisa mengantarkan seseorang menuju kesengsaraan.

Ada ² orang bersaudara dahulu di kalangan Bani israil. Yang satu sangat rajin beribadah sementara saudaranya tak pernah lepas dari perbuatan dosa. Si ahli ibadah selalu menegur dan menasihati, hingga pada suatu saat terucap dari lisannya, “Demi Allah! Allah tidak akan mungkin memberikani ampunan untukmu!” Atau kalimat lain, “Demi Allah! Allah tidak akan mungkin memasukkan dirimu ke dalam surga!” Dia berani bersumpah atas nama Allah untuk tidak mengampuni saudaranya. Padahal, siapa yang tahu bagaimana akhir keadannya?

Maka, apa hasilnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan bahwa si ahli ibadah itu malah masuk neraka sementara saudaranya justru masuk surga. Apa sebab? Si ahli ibadah itu terlalu lancang dengan bersumpah atas nama Allah untuk menghukumi seseorang tidak pantas masuk surga. Siapa yang tahu? Ia telah meremehkan saudaranya sendiri! Sementara saudaranya pada akhirnya bertaubat kepada Allah. [H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ dan Syaikh Muqbil ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ ] Makanya, kita tidak bisa memastikan bahwa seseorang yang tertentu masuk neraka atau masuk surga dari lahiriah saja. Memastikan hal yang seperti itu membutuhkan dalil dari Al Qur’an mau pun hadits. Adapun yang tidak ada dalilnya, kita hanya bisa berharap orang itu masuk surga atau terancam masuk neraka.

Kisah Dawud Azh Zhahiri yang menceritakan pengalaman pribadinya mestinya bisa menjadi ibrah untuk kita. Belum tentu orang yang kita pandang jelek. Lantas kita lebih baik darinya. Bisa jadi kita yang merasa lebih baik, justru tidak berharga di hadapan Allah. Mungkin karena takwa yang kurang, ikhlas yang hilang ataukah sebab-sebab yang lain.

๐Ÿ’ŒPesan dari kisah yang diceritakan oleh Dawud Azh Zhahiri adalah jangan meremehkan orang lain. Bersikaplah tawadhu’ selalu. Atas dasar apa kita meremehkan orang lain? Masih merasa lebih baik dari orang lain? Masih menganggap orang lain lebih buruk dari kita? Siapa yang tahu’ Wallahul muwaffiq.
๐Ÿ”–๐Ÿ”–๐Ÿ”–๐Ÿ”–๐Ÿ”–๐Ÿ”–


[Sumber: Majalah Qudwah Edisi 14 VOL.02 2014 hal. 47]