Senin, 27 Mei 2013

Penjelasan Tuntas Seputar Syubhat-Syubhat Gambar Makhluk Bernyawa

syubhat gambar  

Lengkap menjawab syubhat tentang hukum mengambil gambar dengan alat maupun membuat gambar dengan melukis..

Oleh: Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany ~hafizhahullah~
dan tanya jawab beliau bersama gurunya Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan
~hafidzahullah~

Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany hafizhahullah memulai tulisannya…
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته، أما بعد:
Janganlah engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak wahai Ahlus Sunnah, karena tidaklah dibinasakan Khawarij, Jahmiyah, Jabriyah, Qadariyah, Quburiyah dan selain mereka kecuali dengan penakwilan-penakwilan yang rusak tersebut. Hal itu dengan akalmu atau hawa nafsumu menganggap baik amal yang tidak saleh.

Engkau mengetahuinya lalu mencari-carikan dalil untuk membelanya dengan penakwilan-penakwilan yang rusak menurut syariat, maka sesungguhnya akibat perbuatan tersebut adalah sangat buruk. Jadi hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari kebenaran. Dan cukuplah untuk menunjukkan keburukannya dengan mengetahui bahwa itu termasuk sifat-sifat orang-orang musyrik.

—» Allah Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم:[23
“Mereka tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” 
[An-Najm: 23]

Maka, merupakan aib dan kehinaan jika telah jelas petunjuk bagimu, namun engkau menolaknya dengan dalih-dalih yang rusak atau taklid buta yang tidak ada manfaatnya. Jadi, engkau adalah hamba Allah yang Dia menciptakanmu lalu membaguskan rupamu kemudian menyempurnakannya, engkau bukan budak hawa nafsumu.

—» Allah Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوْا أَزَاغَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ. [الصف: 5]
“Tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah palingkan hati-hatimereka.”
[Ash-Shaff: 5]

—» Juga sebagaimana perkataan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu:
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ.
“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam kecuali aku kerjakan, karena aku takut akan menyimpang jika aku meninggalkan sedikit saja dari perintah beliau.”
[Shahih Al-Bukhary no. 3099, bab Fardhul Khumus]

Maka, jika seorang yang merupakan shiddiq (tingkatan di bawah para nabi -pent) dari umat ini merasa takut hatinya akan menyimpang jika menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam satu perkara saja, padahal dia adalah khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan sebagian shahabat telah mengatakan: “Abu Bakr adalah orang yang berilmu di antara kami.” Lalu bagaimana dengan orang yang menyelisihi beliau karena menganggap halal sesuatu dengan dalih-dalih yang rusak atau dengan dalil-dalil yang lemah karena sikap taklid tanpa ilmu atau mencari-cari pembenaran tanpa fikih?!

Setiap orang yang sesat dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam setelah dia mengetahui ilmunya dan mencari-cari pembenaran yang diada-adakan, maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan orang-orang Yahudi yang telah menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan akal-akalan.

—» Al-Bukhary rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ r يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُوْدُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda pada tahun penaklukan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung.” Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda dengan lemak bangkai, karena bisa digunakan untuk menambal perahu yang bocor, untuk meminyaki kulit dan manusia menggunakan untuk bahan bakar lampu? Beliau menjawab: “Tidak boleh, tetap haram hukumnya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi was salam ketika itu bersabda: “Semoga Allah membinasakan Yahudi, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemak-lemak bangkai, mereka menjadikannya sebagai minyak lalu mereka jual kemudian mereka makan hasil penjualannya.”
[HR. Al-Bukhary no. 2236 dan Muslim 1581]

Dan jika engkau selamat dari makhluk yang menyampaikan nasehat yang dia mendapatkan udzur karena ada perkara yang tidak dia ketahui, padahal dia telah mengatakan kepadamu: “Wahai Ahlus Sunnah, kenapa engkau melakukan kemaksiatan kepada Allah?!

—» Maka, engkau tidak akan selamat dari Pencipta-mu yang Dia telah berfirman tentang diri-Nya:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ. [غافر: [19
“Dia mengetahui mata-mata yang berkhianat dan apa-apa yang disembunyikan di dalam hati.”
[Ghafir: 19]

Maka, berhati-hatilah wahai Ahlus Sunnah, jangan sampai engkau melakukan keharaman dengan berdalih menggunakan hal-hal yang tidak engkau ketahui kesahihannya di dalam syariat. Allah Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى. [النجم: [23
“Mereka tidaklah mengikuti kecuali dugaan dan apa yang disukai oleh hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.”
[An-Najm: 23]

Dan termasuk perkara yang diharamkan yang mungkin syetan telah menggelincirkan kedua kakimu dengannya sehingga engkau menyangkanya termasuk perkara yang benar, yaitu dakwahmu kepada jalan Allah dengan cara yang haram. Seperti ucapan sebagian orang: “Dusta diperbolehkan untuk maslahat dakwah agama Allah. Mengambil gambar dan tampil di channel dan televisi boleh untuk merealisasikan dakwah agama Allah.” Ini seperti ucapan Amr Khalid Al-Mishry yang menyerupai orang-orang fasik yang bergelut dalam bidang sinema dan sandiwara: “Saya mencukur jenggot saya agar para pemuda tidak lari dariku.” Ini menurutnya merupakan maslahat dakwah.

Maka saya katakan:
“Tidak boleh bagi seorang muslim atau muslimah yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk membantu kemaksiatan mengambil gambar yang diharamkan yaitu gambar-gambar makhluk yang bernyawa, dan tidak boleh pula untuk memberikan kesempatan dengan cara mendatanginya, walaupun dengan dalih untuk maslahat dakwah. Hal ini berdasarkan beberapa sisi, maka pahamilah dengan baik wahai Ahlus Sunnah, dan tinggalkan hawa nafsu agar tidak menyeretmu ke neraka!”

=========================================================================

[Pertama]
Sesungguhnya dengan pergi untuk pengambilan gambar guna tampil di televisi -walaupun dengan dalih untuk maslahat dakwah – merupakan perbuatan saling membantu melakukan dosa.

— » Padahal Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [المائدة: 2
“Dan hendaklah kalian tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”

--------
[Kedua]

Sesungguhnya tidak ada perbedaan tentang keharaman -berdasarkan apa yang dirajihkan oleh Al-Allamah Al-Imam Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Al-Allamah Nashiruddin Al-Albany, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan banyak lagi selain mereka-[1] antara menggambar dengan tangan dan menggambar dengan alat, sama saja apakah gambarnya diam dengan alat gambar diam yaitu kamera, atau gambarnya bergerak dengan alat pengambil gambar bergerak yaitu video atau televisi. Hal ini karena cara modern ini termasuk pada keumuman larangan mengambil gambar.

—» Ini sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhary dari jalan Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya dia berkata:
لَعَنَ النَّبِيُّ r الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَنَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi was salam melaknat wanita yang mentato, wanita yang meminta tato, pemakan riba dan yang mewakilkannya, dan beliau melarang jual beli anjing dan hasil melacur, serta melaknat para pembuat gambar.”
[HR. Al-Bukhary no. 4357]

—» Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhary dari jalan Ibrahim bin Sa’ad Al-Qurasy dari Az-Zuhry dari Al-Qasim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata:
“Nabi masuk menemuiku ketika di rumah ada bergambar, maka wajah beliau berubah lalu beliau mengambil tirai kemudian merusaknya. 

—» Kemudian beliau bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُصَوِّرُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ.
“Sesungguhnya termasuk manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menggambar gambar-gambar ini.”
[HR. Al-Bukhary no. 6109]

Jadi, Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam memutlakkan pengharaman atas perbuatan semua orang yang menggambar, sehingga menggambar dengan tangan dan alat termasuk yang diharamkan tanpa ada perbedaan.
—» Al-Allamah Al-Albany rahimahullah berkata:
“Gambar bergerak (dengan televisi atau video) lebih besar dosanya dibandingkan yang diam, karena penyerupaan terhadap penciptaan Allah padanya lebih besar.[2]
——–
[Ketiga]
Sebagian masayikh yang mulia ketika muncul di televisi untuk tujuan forum ilmiah, saya sebutkan kepadanya keharaman perbuatan ini, maka beliau berkata kepada saya: “Apakah cermin diharamkan?”[3] Saya katakan kepada syaikh yang mulia tersebut: “Ini merupakan qiyas (menyamakan) pada kasus yang ada perbedaan, hal itu karena gambar yang nampak pada cermin adalah gambar pantulan, dia tidak bisa tetap di cermin dengan peran tangan seperti dengan memberi warna dan membentuk. Adapun gambar lain yaitu film atau fotografi ~seperti yang disebut orang~ sifatnya membuat permanen gambar makhluk yang bernyawa di atas kertas atau ditampilkan dengan menetapkannya dulu, bukan bersifat pantulan seperti cermin. Jadi padanya terjadi perbuatan menggambar seperti mencuci film, mewarnai dan membentuk. Inilah menggambar yang diharamkan itu tanpa ada perbedaan antara yang menggunakan tangan dan yang menggunakan alat.” Maka syaikh yang mulia tersebut diam tanpa mendebat.
———-
[Keempat]
Ucapan mereka bahwa gambar televisi atau fotografi adalah ciptaan Allah sendiri, ini merupakan kesalahan. Karena tanpa diragukan lagi itu merupakan perbuatan menggambar dan menyaingi ciptaan Allah dan tidak bisa diqiyaskan dengan gambar cermin, sebagaimana dijelaskan pada bantahan ketiga. Tidakkah engkau melihat bahwa gambar-gambar tersebut tidak bisa berbicara, tidak makan dan tidak minum.

—» Sebagaimana Ibrahim ‘alahis salam berkata:
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئاً[مريم: 42]
“Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak berguna bagimu sedikitpun.”
[Maryam: 42]

Jadi, gambar-gambar tersebut tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa berbicara, lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa itu adalah dzat ciptaan Allah?!

Maka tunjukkan sebuah gambar yang dibuat dengan alat kepada orang yang bisa bersikap adil dari mereka, dan katakan kepadanya: “Apakah ini gambar atau dzat ciptaan Allah?” Jika dia menjawab bahwa itu adalah gambar, maka tanyalah dia: “Haram atau boleh?” Jika dia menjawab boleh seperti gambar cermin, maka sampaikan hujjah kepadanya sebagaimana pada bantahan ketiga yang telah lalu.
———
[Kelima]

Ucapan mereka:
“Gambar dengan alat tidak boleh dikatakan haram karena alat yang membuatnya.”

Ini adalah ucapan yang salah, karena sesungguhnya alat di sini merupakan sarana untuk melakukan sesuatu yang diharamkan, dia tidak berfungsi kecuali dijalankan oleh orang, misalnya pena dan pewarna. Jadi, sebagaimana tidak boleh seseorang mengatakan bahwa yang melukis gambar-gambar makhluk yang bernyawa adalah pensil lukis, karena yang memegang adalah pelukis, demikian juga alat yang dipegang oleh orang yang mengambil gambar. Siapakah yang memfungsikannya hingga bisa mengambil gambar? Dan siapakah yang menjadikannya bekerja mengarah kepada manusia untuk mengambil gambar mereka, lalu bekerja dengan memasukkan dan mengeluarkannya hingga menjadi gambar?

Al-Allamah Al-Albany telah membuat permisalan bagi mereka dengan pabrik boneka yang membuat patung. Maka, apakah seseorang akan ada yang mengatakan: “Alatlah yang memahat lalu membentuk gambar?!” Tidaklah ucapan ini kecuali seperti akal-akalan orang-orang Yahudi.


———-
[Keenam]

Sesungguhnya mengambil gambar dengan alat adalah termasuk akal-akalan yang diharamkan untuk membolehkan membuat gambar. Jadi, mereka mengambil gambar dan mengatakan: “Alatlah yang menggambar.” Mereka juga mengatakan: “Ini tidak lain kecuali seperti cermin, ini bukan zat ciptaan Allah…” dan seterusnya. Adapun seorang ulama yang mencapai tingkatan mujtahid maka dia mendapatkan udzur.

—» An-Nasa’iy telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dengan sanad shahih dari jalan Ibnu Muhariz,[4] dia meriwayatkan hadits dari salah seorang shahabat Nabishallallahu ‘alaihi was salam dari Nabi shallallahu ‘alaihi was salam beliau bersabda:
يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا.
“Akan ada manusia dari umatku yang meminum khamer dan mereka menamakannya bukan dengan namanya.”
[HR. An-Nasa’iy no. 5676]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam catatan kaki Sunan Abu Dawud pada masalah hilah: “Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dan yang lainnya dengan sanad hasan dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi was salambersabda:
لَا تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُوْدُ فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ.
“Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh Yahudi sehingga kalian berusaha menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dengan akal-akalan yang rendah.”

Dan sanadnya termasuk yang dinilai shahih oleh At-Tirmidzy. Juga Nabi shallallahu ‘alaihi was salam telah bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمُ فَجَمَّلُوْهَا وَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانهَا.
“Allah telah melaknat Yahudi, ketika lemak diharamkan atas mereka, maka mereka menjadikannya sebagai minyak lalu mereka jual kemudian mereka makan hasil penjualannya.”

Maksud mereka menjadikannya minyak yaitu mencairkannya dan mencampurnya, mereka lakukan hal itu agar nama lemak hilang darinya dan muncul nama baru untuknya yaitu wadak. Dan hal itu tidak berguna untuk dijadikan akal-akalan, karena pengharaman mengikuti hakekat dan hakekat tidak akan berubah dengan berubahnya nama. Seperti riba, pengharamannya mengikuti makna dan hakekatnya, jadi tidak akan hilang keharamannya dengan perubahan nama dengan bentuk jual beli, sebagaimana pengharaman lemak tetap berlaku walaupun namanya diubah dengan bentuk pencairan, dan alhamdulillah ini adalah perkara yang jelas.

Alasan lain, sesungguhnya Yahudi tidak memanfaatkan lemak itu sendiri, mereka hanya memanfaatkan harga penjualannya. Maka siapapun yang hanya memperhatikan bentuk-bentuk akad dan lafazh-lafazhnya tanpa mengetahui tujuan dan hakekatnya, hendaknya dia tetap komitmen untuk meyakini keharamannya, karena Allah Ta’ala tidak menyebutkan nash yang menunjukkan keharaman hasil penjualan, tetapi hanya menyebutkan haramnya lemak dan ketika melaknat mereka itu karena mereka menganggap halal hasil penjualannya. Walaupun Allah tidak menyebutkan nash yang menunjukkan keharamannya, hal itu telah menunjukkan bahwa yang wajib adalah memperhatikan tujuan, walaupun sarana-sarana yang mengantarkannya berbeda-beda, dan hal itu juga menunjukkan konsekwensi jangan sampai yang menjadi tujuan adalah sesuatu itu sendiri dan tidak pula sesuatu itu namun telah dirubah bentuknya.

Yang semisal dengan ini seperti dengan mengatakan: Jangan mendekati harta anak yatim, lalu engkau jual harta itu dan engkau makan sebagai penggantinya! Atau dengan mengatakan: Jangan minum khamer, lalu engkau ganti namanya dan engkau meminumnya! Atau dengan mengatakan: Jangan berzina dengan wanita ini, lalu engkau melakukan akad sewa (atau seperti dengan nikah mut’ah -pent) dan engkau katakan, “Saya hanya bermaksud mencukupi kebutuhannya!” Dan yang semisalnya.

Para ulama mengatakan: Prinsip ini – yaitu haramnya upaya mengakali yang mengandung pembolehan hal-hal yang diharamkan oleh Allah atau menggugurkan sesuatu yang Allah wajibkan – memiliki lebih dari seratus dalil.

Dan telah pasti shahihnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:
لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Melaknat orang yang berusaha menghalalkan (agar seorang wanita bisa menikah kembali dengan suami sebelumnya setelah thalaq ketiga) dan juga pihak yang diusahakan.”

Padahal orang yang melakukannya dengan akad nikah yang sah, tetapi dilaknat karena tujuannya adalah menghalalkan (agar wanita yang dinikahinya bisa menikah lagi dengan suaminya yang sebelumnya), bukan karena ingin benar-benar menikah. Dan telah shahih riwayat dari para shahabat bahwa mereka menyebutnya sebagai pezina, dan mereka tidak melihat kepada bentuk akad nikahnya.”
~selesai perkataan Ibnul Qayyim~


————
[Ketujuh]

Ucapan mereka bahwa mengambil gambar di televisi untuk ceramah terdapat maslahat dakwah padanya.

—» Ini bertentangan dengan perkataan sebagian ulama ushul yang menyatakan:
أَيُّ مَصْلَحَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ مَصْلَحَةٌ مُلْغَاةٌ.
“Maslahat apapun, jika itu menyelisihi syariat, maka itu merupakan maslahat yang dibatalkan.”

Misalnya berobat dengan sesuatu yang diharamkan, berobat merupakan maslahat, hanya saja tatkala berobatnyadengan sesuatu yang diharamkan, maka maslahat tersebut dibatalkan.

—» Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara mauquf:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”

—» Dan di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوُوْا وَلَا تَتَدَاوُوْا بِحَرَامٍ.
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang diharamkan!” 
[Ash-Shahihah no. 1633. Sanad yang pertama shahih dan yang kedua hasan, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Albany]


————-
[Kedelapan]

Ucapan mereka bahwa mengambil gambar masayikh dengan tujuan dakwah mereka sesuatu yang sifatnya darurat adalah salah, bahkan paling puncaknya hanya dikatakan sebagai maslahat, sedangkan maslahat yang menyelisihi syariat maka dibatalkan sebagaimana baru saja dijelaskan.


————–
[Kesembilan]

Tidak bisa dikatakan: Ketika bangkai dibolehkan karena darurat agar bisa tetap hidup, demikian pula mengambil gambar dibolehkan untuk dakwah.

—» Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Al-Fatawa yang maknanya:
“Jika berobat dengan sesuatu yang diharamkan yang ada kemungkinan bisa mendapatkan kesembuhan tetap tidak boleh dilakukan, karena itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya. Adapun makan bagi orang yang lapar yang terpaksa karena takut mati maka yakin itu sebagai sebab bertahan hidup, jadi antara keduanya jelas berbeda.”[5]

Demikian juga mengambil gambar masayikh adalah perkara yang haramdengan meyakinkan pengharamannya. Adapun dakwah mereka kepada manusia mengandung kemungkinan diterima seperti sifat obat, sehingga tidak boleh mengambil gambar mereka karena hal itu berarti mendahulukan sesuatu yang sifatnya masih mungkin atas sesuatu yang pasti keharamannya.
Seandainya kita katakan bahwa orang-orang yang didakwahi dari para pemirsa adalah orang-orang yang sakit, tentu kita akan katakan pada pengambilan gambar para dai seperti yang kita katakan pada obat.

—» Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”


————
[Kesepuluh]

Sesungguhnya banyak dijumpai sarana pengganti untuk menyebarkan dakwah, seperti majalah ilmiyah tanpa gambar, internet, surat-surat pribadi yang tertulis maupun lewat HP (sms/mms/email -pent), radio Al-Qur’an, buku-buku saku maupun kitab-kitab, buletin, khutbah-khutbah Jum’at, ceramah di masjid-masjid, berkunjung dan selainnya. Maka, kenapa hal-hal yang mubah ini ditinggalkan padahal sangat banyak hanya karena sesuatu yang haram?! Yaitu mengambil gambar yang pelakunya terlaknat.


————
[Kesebelas]

—» Saya pernah mengatakan kepada guru saya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan:
“Mengapa sebagian ulama membolehkan tampilnya masayikh di televisi?” Maka beliau menjawab yang maknanya kurang lebih: “Karena maslahat.”[6] Maka saya katakan kepada beliau: “Sesungguhnya awal syirik yang muncul di muka bumi adalah karena alasan maslahat. Yaitu waswas syetan terhadap kaum Nuh yang kurang lebih maknanya, ‘Buatlah patung-patung bagi orang-orang saleh kalian setelah kematian mereka agar kalian bisa mengingat ibadah mereka dan meneladani mereka.’ Ini merupakan maslahat, tetapi dibatalkan dan hakekatnya adalah bid’ah. Namun mereka melakukannya hingga patung-patung itu disembah.”

—» Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary di dalam Shahih-nya dari jalan Ibnu Juraij dari Atha’ dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِيْ قَوْمِ نُوْحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ. أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ، وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ، وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِيْ غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ، وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ، وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِيْ الْكَلَاعِ. أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ. فَلَمَّا هَلَكُوْا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِيْ كَانُوا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ. فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ.
“Berhala-berhala yang dahulu ada di kaum Nuh jatuh ke tangan orang-orang Arab. Adapun Wadd adalah milik kabilah Kalb di daerah Daumatul Jandal, semetara Suwa’ adalah milik kabilah Hudzail, sementara Yaghuts milik kabilah Murad yang kemudian menjadi milik bani Ghuthaif di daerah Jauf di wilayah Saba’, sedangkan Ya’uq milik kabilah Hamdan dan berhala Nasr milik kabilah Himyar dari keluarga Dzul Kala’. Itu adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka mati, syetan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung di majelis yang biasa mereka adakan dan agar menamakannya dengan nama-nama mereka. Mereka pun melakukannya dan ketika itu patung-patung itu belum di sembah. Ketika generasi mereka berahir dan ilmu telah dilupakan ahirnya patung-patung itu di sembah.”

MAKA ASY-SYAIKH SHALIH AL-FAUZAN HAFIZHAHULLAH SEPAKAT SERAYA BERKATA: “ALLAHUL MUSTA’AN, ALLAHUL MUSTA’AN.”
SAYA SEBUTKAN JUGA SYUBHAT-SYUBHAT MEREKA KEPADA BELIAU, MAKA BELIAU MENJAWAB: “ITU SEMUA SALAH.” DAN BELIAU -SEMOGA ALLAH MENINGGIKAN DERAJAT BELIAU- KOMITMEN UNTUK TIDAK TAMPIL LAGI LAYAR TELEVISI, KECUALI YANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN STASIUN TELEVISI TANPA SEIZIN BELIAU.


————-
[Kedua belas]

Asy-Syaikh Al-Allamah Al-Albany rahimahullah menyebutkan bahwa mengambil gambar masayikh di televisi dan tampilnya mereka merupakan sarana yang bisa menyebabkan riya’. 

—» Beliau mengatakan:
“Dengan tampilnya seakan-akan dia mengatakan, ‘Lihatlah, ini lho saya!”[7]
Mungkin Asy-Syaikh mengkhususkan televisi sebagai sarana riya -dimana beliau sendiri melarang tampil di televisi walaupun untuk ceramah dan semisalnya- karena jiwa orang-orang awam sebagaimana telah diketahui akan memperhatikan siapa yang akan tampil di televisi dan akan memandangnya dengan pandangan khusus yang menunjukkan pemuliaan, wallahu a’lam.

Dan termasuk yang melarang sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada riya’ adalah imam dunia di masanya, yaitu Ahmad bin Hanbal. Beliau berpendapat bahwa memegang tempat tinta bagi seorang penuntut ilmu di hadapan manusia merupakan riya’, maksud beliau sarana yang bisa menyeret kepadanya.


————–
[Ketigabelas]

Sesungguhnya Allah tidak ditaati dengan cara didurhakai. Jadi, menggambar merupakan maksiat, maka bagaimana mungkin tergambar ketaatan kepada Allah dengan cara melakukan kemaksiatan tersebut?!
—» Syaikhul Islam berkata sebagaimana disebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali padanya terdapat kerusakan yang lebih dominan dibandingkan maslahatnya, sebagaimana Allah mengharamkan khamer karena dosanya lebih besar dibandingkan manfaatnya, dan diharamkan berobat dengan khamer walaupun padanya terdapat maslahat, tetapi dibatalkan sebagaimana telah lalu penjelasannya.”


—————–
[Keempatbelas]

—» Ketika seorang penanya diutus kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan yang kurang lebih maknanya[8] sebagai berikut:
“Kami bersama-sama menggunakan sorbus[9] maka jika bagiannya yang memabukkan diletakkan di kepala kami maka kami jadi teringat untuk berdzikir dan hal itu menjadi mudah bagi kami,[10] maka orang yang menggunakannya akan dikenai hukuman hadd terhadap peminum khamer?” Beliau menjawab: “Ya, dikenai hukuman hadd peminum khamer…” hingga perkataan beliau: “Dan celaka bagi penanya, apakah dia menyangka bahwa Allah mengharamkan sesuatu padahal padanya ada manfaatnya?!”[11]

—» Maka kita katakan kepada para masayikh yang diambil gambarnya:

“Semoga Allah memberi hidayah kepada kami dan kalian, apakah kalian menyangka bahwa Allah mengharamkan menggambar dengan sekeras-kerasnya sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ.
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menandingi ciptaan Allah.”
[HR. Bukhari no. 5954 -pent]

Lalu Dia menjadikan manfaat yang rajih pada sesuatu yang Dia haramkan kemudian digunakan untuk mendakwahkan agama Allah, padahal diterimanya dakwah sifatnya hanya mungkin, sedangkan pengharaman menggambar sifatnya meyakinkan, dan tidak bisa disamakan dengan memakan bangkai (ketika terpaksa) yang biasanya bisa untuk bertahan hidup.

Bagaimana cara kalian memutuskan masalah, padahal berobat dengan sesuatu yang diharamkan hukumnya haram dan maslahatnya dibatalkan.

—» Dan sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyyah, syariat ini datang membawa hal-hal yang semisal,[12] sehingga tidak boleh membedakan dua hal yang semisal sebagimana tidak boleh menyatukan dua hal yang berlawanan.


—————
[Kelima belas]

—» Jika ada seseorang mengatakan:
“Tapi kan sebagian ulama ada yang membolehkannya!” Kita katakan kepada mereka: Di sana ada juga para ulama yang mengharamkannya, maka kenapa kalian menjadikan ulama kalian sebagai hujjah untuk membantah ulama kami?!

—» Padahal Rabb kita telah berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ. [الشورى: 10]
“Dan apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.”
[Asy-Syura: 10]

—» Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Jika para ulama berbeda pendapat, jangan menjadikan pendapat sebagian mereka sebagai hujjah untuk membantah ulama yang lain kecuali dengan dalil-dalil syariat.”


—————
[Keenam belas]

Alasan yang mereka sebutkan untuk membolehkan mengambil gambar ceramah ilmiyah para masayikh, seandainya alasan ini diterima maka akan membuka pintu perkara-perkara yang diharamkan dan bid’ah-bid’ah dengan selebar-lebarnya. Maka, wajib atas mereka untuk melarang menggunakannya sebagai alasan, walaupun sebagai tindakan preventif (pencegahan). Karena muncul orang suka berdusta dengan dalih untuk maslahat dakwah, juga ada yang mencukur jenggotnya dengan dalih untuk maslahat dakwah seperti yang dilakukan oleh Amr Khalid Al-Mishry, bahkan ada yang membuat sandiwara dengan dalih untuk maslahat dakwah.

—» Dan ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama:
“Janganlah engkau melakukan penakwilan-penakwilan yang rusak!”


—————
[Ketujuh belas]

Apa bedanya orang yang berdusta untuk maslahat dakwah dengan dalih bahwa dusta diperbolehkan pada tiga keadaan, diantaranya untuk memperbaiki hubungan, dengan orang yang mengambil gambar untuk tujuan dakwah dengan dalih boneka Aisyah?![13]

Maka jika hal itu telah jelas, hendaklah para dai berpaling (berpindah) kepada sarana-sarana yang Allah benarkan, seperti radio, majalah ilmiah, kaset, risalah dan yang lainnya, karena banyak jenisnya walhamdulillah. Dan hendaklah mereka meninggalkan perlombaan dengan orang-orang jahat dalam bermaksiat terhadap Rabb mereka dengan cara mengambil gambar yang menjadi sebab munculnya kesyirikan di muka bumi dengan dalih untuk maslahat.

Kemudian, sesungguhnya pembicaraan kami ini ditujukan kepada siapa saja yang mengetahui al-Haq, namun nekat melakukan penakwilan-penakwilan yang dia ketahui itu bathil. Adapun para ulama, maka cukup bagi kita untuk memberikan udzur bagi mereka dengan risalah Syaikhul Islam “Raf’ul Malam anil Aimmatil A’lam”.

Wallahul musta’an.
… bersambung.


Catatan:
——-
[1] Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
[2] Demikian juga pendapat Asy-Syaikh Al-Fauzan.
[3] Beliau ingin mengqiyaskan gambar televisi dengan gambar cermin, dan inilah yang dinamakan oleh manusia -semoga Allah mengampuni mereka- dengan “menahan bayangan” dengan berdalih bahwa ini bukan membuat gambar. Ini bukan gambar, hanya menahan bayangan. Jadi, mereka tidak membedakan antara gambar tersebut dengan gambar cermin.
[4] Saya (Asy-Syaikh Mahir Al-Qahthany) katakan: Ibnu Muhairiz tidak disebutkan oleh Al-Hafizh (Ibnu Hajar) sebagai seorang mudallis. Al-Albany berkata: “Shahih.”
[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya: Bolehkah berobat dengan khamer?
Beliau menjawab:
Berobat dengan khamer haram hukumnya berdasarkan nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam dan jumhur ulama berpendapat demikian. Telah tetap dari beliau di dalam kitab Ash-Shahih bahwa beliau ditanya tentang khamer yang digunakan untuk obat, maka beliau menjawab:
إِنَّهَا دَاءٌ وَلَيْسَتْ بِدَوَاءِ.
“Sesungguhnya itu adalah penyakit dan bukan obat.”
[HR. Muslim no. 1984 dengan lafazh mudzakkar -pent]

Dan di dalam kitab As-Sunan disebutkan dari beliau bahwa beliau melarang berobat dengan sesuatu yang buruk (Abu Dawud no. 3870 dan Al-Albany menilainya shahih, juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Majah -pent).
Dan Ibnu Mas’ud berkata:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untuk kalian pada hal-hal yang Dia haramkan atas kalian.”

Dan Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Nabi shallallahu alaihi was salam beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ أُمَّتِّي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهَا.
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan umatku pada apa-apa yang Dia haramkan atas mereka.”

Dan di dalam As-Sunan disebutkan bahwa beliau ditanya tentang katak yang digunakan untuk obat, maka beliau melarangnya (Abu Dawud no. 3871 dan Al-Albany menilainya shahih) dan beliau bersabda:
إَنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ.
“Sesungguhnya suaranya adalah tasbih.”

Dan hukumnya tidaklah sama seperti orang yang terpaksa makan bangkai, karena dengannya tujuan pasti tercapai. Sementara dia tidak mendapatkan ganti selainnya, dan memakan bangkai dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib. Barangsiapa yang terpaksa harus memakan bangkai namun dia tidak mau memakannya hingga menyebabkan dia mati, maka dia masuk neraka. Sedangkan berobat di sini tidak diketahui kesembuhannya secara pasti dan dia tidak harus berobat dengan obat ini, bahkan Allah Ta’ala menyembuhkan seorang hamba dengan sebab yang banyak. Berobat sendiri hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, sehingga tidak bisa ini diqiyaskan dengan itu, wallahu a’lam. -selesai perkataan Ibnu Taimiyyah dari kitab Al-Janaiz dalam Majmu’ Al-Fatawa- (Juz 24/147-148 – pent)
[6] Bukan berati saya sepakat dengan jawaban beliau tersebut, jadi mohon diperhatikan.
[7] Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no. 619 menit ke 55.
[8] Majmu Al-Fatawa, kitab Al-Hudud.
[9] Sejenis ganja.
[10] Dan ini merupakan maslahat yang sebatas dugaan saja dan belum pasti terwujud, jadi tolong diperhatikan baik-baik.
[11] Maksudnya adalah manfaatnya yang dominan.
[12] Lihat Majmu’ Al-Fatawa 34/129 (- pent)
[13] Padahal Al-Halimy sendiri berpendapat bahwa tidak ada keharusan kepala yang ada pada boneka Aisyah dibentuk persis seperti kepala manusia. (Sunan Al-Baihaqy 10/220 sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muna Al-Qasim di:http://islamtoday.net/nawafeth/artshow-86-13127.htm - pent)
(Al-Halimy adalah Abu Abdillah Al-Husain bin Al-Hasan bin Muhammad bin Halim Al-Bukhary Asy-Syafi’iy. Lahir tahun 338 H, ada yang mengatakan di Jurjan dan ada juga yang mengatakan di Bukhara. Beliau wafat pada tahun 403 H. Lihat di: Siyar A’lamin Nubala’ 17/232 – pent)

Ditulis oleh:
| Abu Abdillah Mahir bin Zhafir bin Abdillah Al-Qahthany
Semoga Allah mengampuninya dan kedua orang tuanya
-

http://ahlussunnahslipi.com/penjelasan-tuntas-seputar-syubhat-syubhat-gambar-makhlauk-bernyawa/

Minggu, 12 Mei 2013

Mutiara Nasehat :: Mewaspadai Sikap Sombong Karena Ilmu




Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu dapat membuat sombong sebagaimana harta.”

Masruq rahimahullah berkata, “Cukuplah seseorang dikatakan berilmu jika ilmu tersebut membuahkan rasa takut kepada Allah subhanahu wata’ala . Sebaliknya, cukuplah seseorang dianggap bodoh tatkala membanggakan diri dengan ilmunya.”

Abu Wahb al-Marwazi rahimahullah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang kesombongan. Beliau menjawab, ‘(Kesombongan) adalah engkau meremehkan dan merendahkan manusia.’ Kemudian aku bertanya kepadanya mengenai ujub (bangga diri). Beliau pun menjawab, ‘(Ujub) adalah engkau memandang bahwa dirimu memiliki sesuatu yang tidak ada pada selainmu’.”

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Di antara adab seorang alim yang paling utama adalah bersikap rendah hati (tawadhu’) dan tidak ujub, yakni merasa sombong, bangga, dan terkagum-kagum terhadap ilmu yang dimilikinya. Adab berikutnya, ia berusaha menjauhi kecintaan akan kepemimpinan dengan sebab ilmunya.”

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, fondasi dari suatu kedudukan adalah senang tersebarnya reputasi, cinta ketenaran, dan kemasyhuran, padahal itu merupakan bahaya yang sangat besar. Adapun keselamatan itu terdapat pada lawannya, yakni menjauhi ketenaran.”

Para ulama tidak bertujuan mencari kemasyhuran. Tidak pula mereka menampakkan dan menawarkan diri untuk tujuan tersebut. Mereka juga tidak menempuh sebab-sebab yang menyampaikan ke arah sana. Apabila ternyata kemasyhuran tersebut datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala mereka berusaha melarikan diri darinya. Mereka lebih mengutamakan ketidaktenaran.
(an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi hlm. 185—186)




Senin, 06 Mei 2013

Hukum Tepuk Tangan

(oleh: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullahu)

Pertanyaan:

Apa hukum bertepuk tangan bagi laki-laki pada momen tertentu dan pertemuan-pertemuan?

Jawab:

Bertepuk tangan dalam pertemuan-pertemuan merupakan perbuatan jahiliah. Pendapat yang paling ringan menyatakan hukumnya makruh. Dan yang lebih nyata dari dalil-dalil yang ada adalah bahwa hal itu haram, karena kaum muslimin dilarang menyerupai orang-orang kafir. Sungguh Allah subhanahu wa’ala berfirman menyebutkan sifat orang kafir penduduk Makkah:
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.”
(Al-Anfal: 35)


Para ulama berkata: الْمُكَاءُ adalah siulan sedangkan التَّصْدِيَةُ adalah tepuk tangan. Dan yang sunnah bagi seorang mukmin ketika melihat atau mendengar sesuatu yang mengagumkan atau yang dia ingkari adalah mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah) atau Allahu Akbar (Allah Maha Besar),
Sebagaimana hal ini shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak hadits. Dan disyariatkan tepuk tangan khusus bagi wanita ketika mereka mengingatkan sesuatu dalam shalat, atau ketika mereka shalat bersama laki-laki dan imamnya lupa. Ketika itu disyariatkan bagi wanita untuk mengingatkan dengan tepukan tangan. Adapun laki-laki mengingatkan imam dengan tasbih (ucapan Subhanallah) sebagaimana hal ini shahih dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari sini diketahui bahwa tepuk tangan bagi lelaki adalah perbuatan menyerupai orang kafir dan wanita. Keduanya merupakan hal yang dilarang bagi kaum lelaki. Allah sajalah yang memberi taufiq.
(Disebarkan dalam Fatawa beliau pada kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr yang beliau keluarkan dalam majalah bulanan Al-Arabiyyah, diambil dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6)

http://asysyariah.com/hukum-bertepuk-tangan.html

Wanita yang Seharusnya Kau Nikahi

Oleh : Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Mudakir al-Jakarty

Selektif dalam memilih pendamping hidup adalah perkara yang sangat penting, karena hal ini menyangkut sebab bahagia dan  tidaknya seseorang dalam rumah tangganya, bahkan bagi dunia dan akhiratnya. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita, di antaranya :
  1. Memilih wanita yang baik agama dan akhlaknya.
Kriteria memilih seorang wanita yang baik agama dan akhlaknya adalah sebuah kriteria yang sangat penting ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita. Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها, فاظفر بذات الدّين تربت يداك
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Jika seseorang hendak menikahi seorang wanita maka pilihlah seorang wanita yang shalihah lagi baik akhlaknya, insya Allah dia akan bahagia. Yaitu seorang wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik (menyekutukan) kepada-Nya. Melaksanakan shalat lima waktu, shaum (puasa) pada bulan Ramadhan, memakai hijab syar’i, berbakti kepada orang tua, rajin menuntut ilmu dien (agama) dan wanita yang melakukan berbagai ketaatan lainnya. Seorang wanita yang memiliki rasa malu, penyabar, jujur, lembut dalam bertutur kata dan dari sifat-sifat mulia yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim dari Abdullah Bin ‘Amr)
  1. Memilih wanita yang cantik yang secara  wajah dan fisik engkau menyukainya.
Tentu hal ini tanpa sikap berlebih-lebihan dan  juga bukan sikap meremehkan. Karena wanita yang yang cantik yang  secara wajah dan fisik engkau menyukainya akan menumbuhkan rasa cinta yang menjadi sebab harmonisnya rumah tanggamu. Maka dari itu dalam syari’at kita dianjurkan untuk menazhar (melihat) calon pendamping hidup kita. Kalau sesuai dengan kita maka kita melamarnya kalau tidak sesuai tidak mengapa untuk tidak melanjutkan pada proses selanjutnya. Hal ini bertujuan agar terealisasi tujuan seseorang ketika menikah. Seperti terjaga kesucian suami dan tujuan yang lainnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah bersama Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa ia hendak menikah dengan seorang wanita dari kalangan Anshar. Kemudian Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah engkau telah melihatnya ?” Ia, berkata : “Belum.” Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pergi dan lihatlah, karena di mata orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR. Muslim)

Al Mughirah bin Syu’bah pernah meminang, maka Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya “ Lihatlah wanita tersebut (yang kau pinang –ed) sebab hal itu lebih dapat melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi, an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
  1. Memilih wanita al-Waduud (penyayang).
Di antara hal yang perlu diperhatikan ketika memilih pendamping hidup adalah memilih seorang wanita yang penyayang, karena kelak ia akan menjadi istrimu, akan menyayangimu ketika kamu dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit. Ketika dalam keadaan lapang atau dalam keadaan sempit. Begitu juga akan menyayangi anak-anakmu kelak. Kalau engkau meremehkan hal ini, lalu memilih wanita yang sebaliknya yang kasar, judes lagi bengis maka kesengsaraan kelak yang engkau dapatkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود, فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud dan dishahihkan syaikh al-Albani )
Di antara cara untuk mengetahui seseorang termasuk penyayang atau tidak, yaitu dengan melihat bagaimana mu’amalah kesehariannya dengan anak-anak atau dengan orang yang lebih kecil darinya.
  1. Memilih wanita Al-Waluud (dari keturunan yang banyak anak).
Di antara tujuan seseorang menikah adalah ingin memperoleh keturunan, jika seseorang tidak berusaha memilih calon istri yang subur maka kelak ia akan mengalami kehampaan dalam rumah tangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود, فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud dan dishahihkan syaikh al-Albani )

Secara sebab cara mengetahui wanita itu subur atau tidak, bisa dengan melihat saudara-saudara perempuannya yang sudah menikah, apakah saudara-saudaranya termasuk wanita yang subur (banyak anaknya) atau tidak.
  1. Mengutamakan wanita yang masih gadis.
Banyak keutamaan ketika seseorang menikahi wanita yang masih gadis, di antaranya :
  • Seorang gadis biasanya akan memberikan kecintaannya secara penuh kepada laki-laki yang pertama kali hadir di kehidupannya, tidak membanding-bandingkannya dengan laki-laki lain.
  • Bisa lebih banyak bercanda dan bermain-main denganmu.
  • Lebih segar (manis) mulutnya.
  • Secara sebab bisa lebih mempunyai peluang untuk banyak anak.
  • Dan lebih rela terhadap pemberian yang sedikit.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau bersabda :
تزوّجت؟
“Apakah kamu sudah menikah?”
Jabir menjawab :
نعم
“Iya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya :
بكرا أم ثيبا
“Dengan gadis atau janda?”
Maka ia menjawab:
ثيب
“Janda.”
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أفلا جارية تلاعبها وتلاعبك
“Mengapa kamu tidak menikahi gadis, di mana engkau bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عليكم بالأبكار, فإنّهنّ أعذب أفواها وأنتق أرحاما وأرضى باليسير
“Hendaklah kalian memilih gadis-gadis, karena mereka lebih segar (manis) mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih rela dengan (pemberian) yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan Syaikh al-Albani)

Hal ini bukan berarti tidak boleh menikahi janda. Berapa banyak orang yang menikah dengan janda dia mendapat kebahagian di dalam kehidupan rumah tangganya.
  1. Memilih wanita dari keluarga yang baik-baik
Diantara perkara yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak memilih seorang wanita untuk menjadi pendamping hidupnya, maka pilihlah seorang wanita dari keluarga dan keturunan yang baik-baik.
  1. Wanita yang rajin dan cekatan mengurusi perkerjaan rumah.
Perkara yang  tidak bisa diremehkan ketika seseorang hendak mencari seorang istri adalah mencari seorang wanita yang rajin dan cekatan dalam mengurus rumah tangganya, karena kelak kalau sudah menikah inilah di antara tugas kesehariannya. Berbeda jika seseorang menikah dengan seorang wanita yang tidak pandai dan tidak terbiasa mengurus rumah, memasak dan mengerjakan pekerjaaan rumah lainnya. Hal ini sedikit banyak bisa mempengaruhi  keharmonisan rumah tangganya kelak.

Sumber : http://nikahmudayuk.wordpress.com/2011/09/29/wanita-yang-seharusnya-engkau-nikahi/