Senin, 29 April 2013

Menjadi Muslimah yang Bersemangat Menuntut Ilmu

Yuk, jadi Muslimah yang memiliki ilmu ^_^

Oleh Ustadz Abdullah Al-Jakarty

Menuntut ilmu syar’i (agama) adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala atas setiap muslimdan muslimah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah no 224 dengan sanad yang shahih, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)



Tentang wajibnya menuntut ilmu, al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Seseorang wajib menuntut ilmu yang bisa menegakkan agamanya (melaksanakan kewajiban agama -ed).” Ditamya kepada beliau, “Misalnya apa?”
Beliau menjawab, “Ilmu tentang urusan yang dia tidak boleh mengetahuinya, seperti shalat, puasa dan yang semisalnya.”
(Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Abdurrahman bin Qasim hal 10)


Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu yang hukumnya wajib atas setiap muslim, yang tidak ada udzur bagi seorang pun untuk meninggalkannya, adalah ilmu yang dapat menegakkan agamanya. Misalnya, Ilmu tentang aqidah, thaharah (bersuci) shalat, zakat, puasa dan haji, yang memungkinkan dirinya bisa menunaikan ibadah-ibadah ini dengan benar. Mempelajari perkara-perkara ini hukumnya wajib atas setiap orang. Tidak ada uzur bagi seorang pun untuk tidak mengetahuinya.”
(al-Khuthabul Mimbariyah fi al-Munasabatil ‘Ashriyyah 1/211)


Disamping itu, menuntut ilmu syar’i memiliki keutamaan yang sangat banyak. Oleh karena itu, seharusnya seseorang lebih bersemangat menuntut ilmu.

Diantara keutamaan menuntut ilmu adalah:

1. Allah subhanahu wata’ala akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
Tentang hal ini, Allah subhanahu wata’ala  berfirman :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Niscaya diantara kalian akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS al-Mujadilah:11)

2. Tanda kebaikan seseorang adalah dia memahami masalah agama.
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين.
“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan pada dirinya,  Allah akan memberinya pemahaman agama.”
(HR al-Bukhari no 71 dan Muslim no 1037)

3.  Allah subhanahu wata’ala   akan memudahkan jalan menuju syurga bagi orang yang menuntut ilmu.
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu,  Allah akan menudahkan jalannya menuju surga.”
(HR Muslim no 7028)

Demikian pula halnya seorang muslimah, dia harus bersemangat menuntut ilmu syar’i. Dia harus berusaha mengetahui hal-hal yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wata’ala atas dirinya,  masalah akidah, shalat, puasa atau masalah yang terkait dengan kewanitaan, seperti haid, nifas, dan lainnya.
Lihatlah semangat para muslimah dari kalangan shahabiyah (shahabat dari kalangan wanita) dan generasi setelahnya dalam hal menuntut ilmu.

Suatu ketika, seorang muslimah dari kalangan shahabiyah yang bernama Ummu Sulaim al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ قَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu untuk menjelaskan kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi apabila dia mimpi basah?” Rasulullah bersabda: “Ya, apabila ia melihat air (mani).”
(HR al-Bukhari no 282 dan Muslim no 32, dari Ummu Salamah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)


Pada suatu kesempatan, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan semangat para shahabiyah dari kalangan Anshar dalam menuntut imu syar’i (agama),
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidaklah menghalangi mereka untuk belajar agama.”
(HR al-Bukhari no 3316 dan Muslim no 1037)

Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata,
“Wahai Rasulullah, para pria telah pergi membawa hadits Anda, maka berikanlah kepada kami satu hari khusus untuk menemui Anda, berikanlah pelajaran kepada kami dengan ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepada Anda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda: “Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu, ditempat ini dan itu.” Mereka pun berkumpul, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka dan mengajari mereka ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepada beliau.”
(HR al-Bukhari no 101 dan Muslim no 2633)

Inilah kisah kedalaman ilmu putri Sa’id bin al-Musayyab. Suaminya berkata, “Ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal kitabullah (al-Qur’an), paling mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan paling mengetahui hak suami.”
(siyar A’lam an-Nubala’ 5/218)

Oleh karena itu, jadilah muslimah yang bersemangat menuntut ilmu syar’i. Hilangkanlah kebodohan dari diri anda sehingga anda bisa dengan benar melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah atas anda.
Wallahu a’lam bish-shawab

CATATANMMS sadur dari MAJALAH QONITAH edisi 03/Vol.01/1434H-2013M hal 75-77

Rabu, 17 April 2013

Hukum Orang Nasrani Menyentuh Mushaf

Pertanyaan :

Apa hukum seorang Nasrani menyentuh mushaf? Demikian pula, bagaimana hukumnya jika menyentuh terjemah Al-Qur’anul Karim?

Jawab (MAJMU FATAWA IBNI BAZ) :

“Hal ini ada silang pendapat antara Ulama. Yang masyhur dari pendapat ulama adalah terlarangnya Nasrani, Yahudi dan Non Muslim lainnya untuk menyentuh Mushaf. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang untuk bepergian jauh dengan membawa Al-Qur’an ketengah musuh. 
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Agar tidak disentuh oleh tangan-tangan mereka”
( HR Muslim di dalam kitab shahihnya, Kitabul Imarah (no.3476) )


Hal itu juga menunjukkan bahwa mereka tidak boleh menyentuh Al-Qur’an. Yang boleh adalah mendengarkannya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
” Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
(QS At-Taubah:6)


Yakni dibacakan kepada mereka sehingga mereka mendengarkannya, namun tidak diberikan kepadanya.
Beberapa ulama berpendapat bahwa hal itu boleh jika diharapkan keislaman orang kafir tersebut. Mereka beragumen bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menulis firman Allah subhanahu wata’ala berikut ini kepada Heraklius, raja Romawi:
قُلْ يأَهْلَ الْكِتَـبِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
“Katakanlah, ‘Wahai Ahlul Kitab, marilah kita menuju 1 kata yang sama antara kami dan kalian..”
(QS Ali Imran: 64)


Yang benar, bahwa hal tersebut bukanlah argumen yang tepat dalam kasus ini. Hal itu hanya menunjukkan bolehnya menulis 1 ayat atau 2 ayat dari Kitabullah. Adapun menyerahkan Mushaf, tidak ada hadits yang tsabit dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun mengeni terjemah makna Al-Qur’an, maka tidak mengapa disentuh oleh orang kafir. Karena terjemah Al-Qur’an adalah buku tafsir, bukan Al-Qur’an.
Maksudnya, terjemahan Al-Qur’an adalah tafsir makna Al-Qur’an. Maka, jika dipegang orang kafir atau muslim yang tidak sedang dalam keadaan suci, tidak apa-apa. Sebab terjemah Al-Qur’an tidak memiliki hukum yang sama dengan Al-Qur’an. Hukum Al-Qur’an khusus untuk yang ditulis dengan bahasa Arab dan tidak ada tafsirnya. Adapun jika ada terjemahannya, maka hukumnya hukum tafsir. Tafsir boleh dibawa oleh orang yang berhadats, muslim, dan kafir karena bukan Kitab Al-Qur’an, tetapi termasuk Kitab Tafsir.”

Sumber : http://catatanmms.wordpress.com/2013/04/17/hukum-orang-nasrani-menyentuh-mushaf/

Rabu, 10 April 2013

Batasan Kufu dalam Pernikahan

Bismillahirahmanirahim

Pertanyaan :
Apakah batasan kufu/ kesetaraan dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@…com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa`ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (4/22), yang teranggap dalam kafa`ah adalah perkara dien (agama).
Beliau  berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur‘an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An-Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits dan beliau menyebutkan bahwasanya Nabi sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al-Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al-Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin ‘Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur‘an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa`ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zadul Ma’ad, 4/22)

Adakah Zakat Profesi ???


Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
Para ulama menyatakan suatu kaidah yang agung hasil kesimpulan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa pada asalnya tidak dibenarkan menetapkan disyariatkannya suatu perkara dalam agama yang mulia ini kecuali berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah berfirman:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka suatu perkara dalam agama ini tanpa izin dari Allah?” (Asy-Syura: 21)

Jadi pada asalnya tidak ada kewajiban atas seseorang untuk membayar zakat dari suatu harta yang dimilikinya kecuali ada dalil yang menetapkannya. Berdasarkan hal ini jika yang dimaksud dengan zakat profesi bahwa setiap profesi yang ditekuni oleh seseorang terkena kewajiban zakat, dalam arti uang yang dihasilkan darinya berapapun jumlahnya, mencapai nishab(1) atau tidak, dan apakah uang tersebut mencapai haul atau tidak(2) wajib dikeluarkan zakatnya, maka ini adalah pendapat yang batil. Tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkannya. Tidak pula ijma’ umat menyepakatinya. Bahkan tidak ada qiyas yang menunjukkannya.

Adapun jika yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang dihasilkan dan dikumpulkan dari profesi tertentu, dengan syarat mencapai nishab dan telah sempurna haul yang harus dilewatinya, ini adalah pendapat yang benar, yang memiliki dalil dan difatwakan oleh para ulama besar yang diakui keilmuannya dan dijadikan rujukan oleh umat Islam sedunia pada abad ini dalam urusan agama mereka. Hakikatnya ini adalah zakat uang yang telah kami bahas pada Rubrik Problema Anda edisi yang lalu(3).
Al-Lajnah Ad-Da’imah menyebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah (9/281):
“Tidak samar lagi bahwa di antara jenis harta yang terkena kewajiban zakat adalah emas (dinar) dan perak (dirham) (4), dan bahwasanya di antara syarat wajibnya zakat pada harta tersebut adalah sempurnanya haul. Berdasarkan hal ini uang yang dikumpulkan dari gaji hasil profesi wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahun apabila jumlahnya mencapai nishab, atau mencapai nishab bersama uang yang lain yang dimilikinya dan telah sempurna haul yang harus dilewatinya. Zakat uang gaji hasil profesi tidak boleh diqiyaskan (disamakan) dengan zakat hasil tanaman (biji-bijian dan buah-buahan yang terkena zakat) yang wajib dikeluarkan zakatnya saat dihasilkan (dipanen). Karena persyaratan sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab yang ada pada zakat emas (dinar) dan perak (dirham) adalah persyaratan yang tetap berdasarkan nash, dan tidak ada qiyas yang dibenarkan jika bertentangan dengan nash. Dengan demikian, uang yang terkumpul dari gaji hasil profesi tidaklah terkena kewajiban zakat kecuali di akhir tahun saat sempurnanya haul.”
Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Rasa’il (18/178) berkata:
“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan(5), maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.”

Penjelasan imam ahli fiqih abad ini serta ulama lainnya yang tergabung dalam Komite Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang kami nukilkan di atas sudah cukup bagi siapapun yang mencari kebenaran dalam agama ini. Wallahul muwaffiq.
Selanjutnya untuk pedoman umum dalam perhitungan zakat uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari gaji profesinya setiap bulan, berikut ini kami nukilkan fatwa Al-Lajnah dan Al-’Utsaimin.
Al-Lajnah menyebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah (9/280):
“Barangsiapa memiliki sejumlah uang yang merupakan nishab, kemudian dia memiliki tambahan uang berikutnya pada waktu yang berbeda-beda dan bukan hasil keuntungan uang yang pertama kali dimilikinya, melainkan tambahan uang tersendiri yang tidak ada kaitannya dengan uang sebelumnya. Seperti tambahan uang dari gaji profesinya setiap bulan, atau dari uang warisan yang didapatkannya, atau dari pemberian yang diterimanya, atau dari sewa tanah yang disewakannya. Jika dia bertekad untuk mengambil haknya secara utuh dan tidak ingin memberikan kepada fakir miskin lebih dari kadar yang wajib didapatkan oleh mereka dari zakat hartanya, hendaklah dia membuat daftar/catatan khusus untuk menghitung secara khusus haul setiap jumlah uang yang ditambahkannya kepada simpanan sebelumnya mulai dari hari dia memiliki tambahan tersebut, agar dia mengeluarkan zakat setiap tambahan itu setiap kali haul masing-masingnya sempurna. Jika dia tidak ingin terbebani lalu memilih untuk berlapang dada dan sukarela mengutamakan kepentingan fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat dari kepentingan pribadinya, maka hendaklah dia mengeluarkan zakat uang yang dimilikinya secara total di akhir haul nishab uang yang pertama kali dimilikinya. Hal ini lebih besar pahalanya, lebih mengangkat derajatnya, lebih melegakan dirinya dan lebih memerhatikan hak fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat. Adapun kadar zakat yang lebih dari yang semestinya untuk dikeluarkan pada tahun itu dianggap sebagai zakat yang disegerakan pengeluarannya setahun sebelum waktunya tiba(6).

Al-’Utsaimin berkata dalam Majmu’ Rasa’il (18/178) setelah menerangkan syarat wajibnya zakat uang yang dikumpulkan dari hasil profesi –yang telah kami nukilkan di atas–:
“Namun memberatkan bagi seseorang untuk mencatat setiap tambahan uang yang disisihkan dari gajinya dan ditambahkan pada simpanan sebelumnya dalam rangka menghitung haulnya sendiri-sendiri, sehingga dia bisa mengeluarkan zakatnya pada akhir haulnya masing-masing. Untuk mengatasi kesulitan ini hendaklah dia mengeluarkan zakat total uang yang dimilikinya satu kali dalam setahun di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya. Misalnya jika simpanan pertamanya yang merupakan nishab sempurna haulnya di bulan Muharram, hendaklah dia menghitung total uang yang dimilikinya di bulan Muharram dan mengeluarkan seluruh zakatnya. Dengan demikian zakat uang yang telah sempurna haulnya dikeluarkan pada waktunya, dan zakat uang yang belum sempurna haulnya disegerakan pengeluarannya setahun sebelumnya dan hal itu boleh.”
Wallahu a’lam.
1 Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai nilai tersebut maka harta itu terkena kewajiban zakat. (pen)
2.  Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab sampai akhir tahun.
Rasulullah bersabda:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini.
Ibnu Qudamah t berkata dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.” Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/14).
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (duabelas) bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200). (pen) 
3.  Nishabnya adalah uang yang jumlahnya senilai dengan 85 (delapan puluh lima) gram emas murni atau 595 (lima ratus sembilan puluh lima) gram perak murni. Namun realita yang ada sekarang, harga nishab perak jauh lebih murah dari harga nishab emas, sehingga bisa dikatakan bahwa nishabnya adalah senilai harga 595 gram perak sebagaimana kata guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i hafizhahullah. Jika nishab yang dimiliki telah sempurna haul yang harus dilewatinya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5 % dari uang tersebut.
4.  Sementara uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) sehingga zakat uang memiliki hukum yang sama dengan zakat emas dan perak. (pen)
5.  Maksudnya yang tersimpan adalah nishab, karena apabila uang yang disisihkan dari gajinya untuk disimpan pada bulan pertama tidak mencapai nishab maka belum ada perhitungan haul. Namun pada bulan berikutnya dia menyisihkan lagi sebagian dari gajinya untuk disimpan dan jumlahnya bersama simpanan sebelumnya mencapai nishab –misalnya– saat itulah perhitungan haulnya dimulai. (pen)
6.  Menyegerakan pengeluaran zakat setahun sebelum waktunya (sebelum sempurna haulnya) boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama
berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ n فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi n tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba, maka Nabi n memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.”
(HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan yang lainnya.)
Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada.

Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishab, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama.
Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut belum ada, maka pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat.
(Al-Mughni 2/395-396, Al-Majmu’ 6/113-114, Asy-Syarhul Mumti’ 6/213-217)

Minggu, 07 April 2013

Hukum Merokok dalam Islam

Bismillahirahmanirahim



Sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk-Nya dan agama yang hak, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dan membersihkan serta mensucikan hati mereka dari kotoran kekufuran dan kefasikan dan membebaskan mereka dari belenggu penghambaan kepada selain Allah ta’ala.
Dia (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam) membersihkan manusia dari kesyirikan dan kehinaan kepada selain Allah dan memerintahkannya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dengan merendahkan diri dan mencintai-Nya dan meminta serta memohon kepada-Nya dengan penuh harap dan takut.
Dia juga mensucikan manusia dari setiap kebusukan maksiat dan perbuatan dosa, maka dia melarang manusia atas setiap perbuatan keji dan buruk yang dapat merusak hati seorang hamba dan mematikan cahayanya dan agar menghiasinya dengan akhlak mulia dan budi perkerti luhur serta pergaulan yang baik untuk membentuk pribadi muslim yang sempurna. Maka dari itu dia menghalalkan setiap sesuatu yang baik dan mengharamkan setiap yang keji, baik makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lainnya.
Termasuk yang diharamkan karena dapat menghilangkan kesucian adalah merokok, karena berbahaya bagi fisik dan mengdatangkan bau yang tidak sedap, sedangkan Islam adalah (agama) yang baik, tidak memerintahkan kecuali yang baik. Seyogyanya bagi seorang muslim untuk menjadi orang yang baik, karena sesuatu yang baik hanya layak untuk orang yang baik, dan Allah ta’ala adalah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik.
Berikut akan kami kemukakan beberapa fatwa dari para ulama terkemuka tentang hukum rokok : “Merokok hukumnya haram, begitu juga memperdagangkannya. Karena didalamnya terdapat sesuatu yang membahayakan, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits :

“ Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan” (Riwayat Ahmad dalam Musnadnya, Malik dan Atturmuzi)
Demikian juga (rokok diharamkan) karena termasuk sesuatu yang buruk (khabaits), sedangkan Allah ta’ala (ketika menerangkan sifat nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam) berfirman: “…dia menghalalkan bagi mereka yang baik dan mengharamkan yang buruk“ (Al A’raf : 157)
Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia.
Ketua: Abdul Aziz bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzak Afifi.
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan –
Abdullah bin Quud.
“Merokok diharamkan, begitu juga halnya dengan Syisyah, dalilnya adalah firman Allah ta’ala: “Jangan kalian bunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap diri kalian “ (An-Nisa : 29)

“ Jangan kalian lemparkan diri kalian dalam kehancuran” (Al-Baqarah : 195)
Dunia kedokteran telah membuktikan bahwa mengkonsumsi barang ini dapat membahayakan, jika membahayakan maka hukumnya haram. Dalil lainnya adalah firman Allah ta’ala:
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan..” (An Nisa:5)

Kita dilarang menyerahkan harta kita kepada mereka yang tidak sempurna akalnya karena pemborosan yang mereka lakukan. Tidak diragukan lagi bahwa mengeluarkan harta untuk membeli rokok atau syisyah merupakan pemborosan dan merusak bagi dirinya, maka berdasarkan ayat ini hal tersebut dilarang.
Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga menunjukkan pelarangan terhadap pengeluaran harta yang sia-sia, dan mengeluarkan harta untuk hal ini (rokok dan syisyah) termasuk menyia-nyiakan harta
Syekh Muhammad bin Sholeh bin ‘Utsaimin
Anggota Lembaga Majlis Ulama Kerajaan Saudi Arabia
“Telah dikeluarkan sebuah fatwa dengan nomor: 1407, tanggal 9/11/1396H, dari Panitia Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa di Riyadh, sebagai berikut: “Tidak dihalalkan memperdagangkan rokok dan segala sesuatu yang diharamkam karena dia termasuk sesuatu yang buruk dan mendatangkan bahaya pada tubuh, rohani dan harta."
Jika seseorang hendak mengeluarkan hartanya untuk pergi haji atau menginfakkannya pada jalan kebaikan, maka dia harus berusaha membersihkan hartanya untuk dia keluarkan untuk beribadah haji atau diinfakkan kepada jalan kebaikan, berdasarkan umumnya firman Allah ta’ala:

“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata darinya “ (Al Baqarah: 267)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak akan menerima kecuali yang baik “ (al Hadits)

Hukum merayakan ulang tahun dalam Islam

Bismillahirahmanirahim


Mari kita berthalabul i'lmi, semoga ALLAH subhanahu wa ta'ala selalu memberikan kita hidayah dan keistiqomahan dengan ilmuNya yang bertebaran di BumiNya ^_^


Tanya : Bagaimana hukum yang berkaitan dengan perayaan hari ulang tahun perkawinan dan hari lahir anak-anak ?
Jawaban : Tidak pernah ada (dalam syar’iat tentang) perayaan dalam Islam kecuali hari Jum’at yang merupakan Ied (hari Raya) setiap pekan, dan hari pertama bulan Syawaal yang disebut hari Ied al-Fitr dan hari kesepuluh Dzulhijjah atau disebut Ied Al-Adhaa – atau sering disebut hari ‘ Ied Arafah – untuk orang yang berhaji di ‘Arafah dan hari Tasyriq (tanggal ke 11, 12, 13 bulan Dzul-Hijjah) yang merupakan hari ‘Ied yang menyertai hari Iedhul ‘Adhaa.
Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari ultah perkawinan dan semacamnya, semua ini tidak disyariatkan dalam (Islam) dan merupakan bid’ah yang sesat. (Syaikh Muhammad Salih Al ‘ Utsaimin)
Sumber :
Al-Bid’u wal-Muhdatsaat wa maa laa Asla Lahu- Halaman 224; Fataawa fadhilatusy-Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin- Jilid 2, Halaman 302.
(Diterjemahkan dari tulisan Syaikh Muhammad As-Saalih Al-’Utsaimin, url sumber http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0010428_1.htm oleh tim Salafy.or.id)

Hukum Menunda Pembayaran Hutang Puasa



HUKUM MENUNDA PEMBAYARAN HUTANG PUASA HINGGA TIBA RAMADHAN TAHUN BERIKUTNYA

Pertanyaan :
Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?
Jawab :
Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.” [Al Baqorah : 185.]
Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :
Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)
‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .
Adapun perkataan 'Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.
Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya, Wallahul Muwaffiq.
Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, halaman 489, pertanyaan yang ke – 439.

Kamis, 04 April 2013

Agar Engkau Tahu, Bahwa Istrimu Adalah Kenikmatan Yang Allah Karuniakan Kepadamu

Bismillahirahmanirahim


Semoga bermanfaat untuk para thalabul i'lmi ^__^


Ada seorang pemuda dari sebuah kabilah mencari seorang wanita untuk ia nikahi maka mereka (keluarganya) menyebutkan bahwa fulan dari kabilah fulan mempunyai anak-anak gadis yang cantik. Lalu pergilah sang pemuda itu ke sana untuk meminang salah satu gadis-gadis itu. Maka keponakkan perempuan orang itu yang juga hidup di bawah pengasuhannya karena ayahnya meninggal, dia berkata kepada pamannya itu : “Wahai paman, saya berharap pemuda ini adalah bagian saya, karena di sini saya yang paling besar.” Maka pamannya memenuhi permintaan gadis ini.

Setelah menikah, ketika suaminya masuk menemuinya, ternyata gadis ini bukanlah seperti yang digambarkan kepadanya. Ia gadis yang tidak cantik dan pendek. Maka suaminya berketetapan hati untuk menceraikannya besok hari. Ia (sang suami) tidur di atas ranjang pengantin dengan menelantarkan istrinya dan membelakanginya. Ini merupakan ungkapan bahwa ia merasa tidak puas dengan istrinya.

Sementara sang mempelai wanita duduk merasa sedih dengan perlakuan ini karena dia tidak merasa berdosa kepada suaminya, karena ia tidak mampu untuk menyamai suaminya, karena Allah Rabbul ‘alamiin telah menciptakannya dengan bentuk semacam ini. Ia duduk dengan sedihnya seraya berkata dalam hati: “Alangkah panjangnya malam ini.”

Sang suami terbangun oleh suara mu’adzin ketika mengumandangkan adzan. Lalu dia bangun untuk mengerjakan shalat. Dan sang istri menahannya dan dia mencium kepalanya (sebagai bentuk penghormatan). Lalu sang istri memuji-muji kegagahan dan kepandaiannya sebagai rayuan agar suaminya menangguhkan keputusannya untuk mencerainya hingga berlaku sebulan, agar tidak menjadi buah bibir yang dibicarakan oleh orang yang dekat maupun orang yang jauh, lalu mereka mencemooh dan menyebarkan, “Mengapa dia hanya duduk bersama istrinya selama sehari saja? Mengapa begini dan begitu?”

Bersama berlalunya hari demi hari, sang suami berubah pikiran dan berketetapan hati untuk mempertahankan istrinya, dan istrinya itu menjadi istri yang sangat dicintai suaminya dari semua sisinya. Setiap malamnya sang istri menjaga suaminya di tengah-tengah tidurnya dan saling bercerita dengan cerita-cerita yang disukai suaminya hingga dia tidur. Kemudian dia menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dia pun kembali dengan pelan-pelan ke samping suaminya di tempat tidurnya.

Pada suatu malam ketika sang istri berada di samping suaminya, sang suami bertanya kepadanya: “Apakah engkau sudah mengikat kuda kita dengan pengancingnya?” Istri tersebut mengiyakan, agar hal itu tidak mengusik pikiran suaminya. Dan terbetik di dalam benaknya bahwa setelah suaminya tidur nanti dia akan mengurus pekerjaan itu.

Maka setelah suaminya tertidur dia pun pergi ke tempat kuda itu untuk mengikatnya. Akan tetapi kuda itu berlari-lari melihat kedatangannya, sementara bajunya di permainkan angin ke kanan dan ke kiri. Kuda itu bergerak terus dengan liar hingga menjadikan sang suami terbangun dari tidurnya, lalu dia mencari-cari siapa orang yang telah membuat kudanya melonjak-lonjak. Ternyata dia mendapati ada satu sosok manusia di depan kuda itu yang duduk di dekatnya. Dia yakin bahwa orang itu adalah pencuri yang berusaha mencuri kudanya. Maka sang suami mengarahkan pistolnya ke arah yang dia anggap pencuri itu dan dia lepaskan satu tembakkan kepadanya hingga matilah orang itu. Ketika diketahui bahwa ternyata orang itu adalah istrinya, dia sangat sedih dan menyesal. Lalu dia mengurus jenazahnya dengan kedua tangannya sendiri. Dia menangisinya karena sangat bersedih. Apakah mungkin dia akan mendapatkan istri lagi yang seperti dia.

Beberapa lama kemudian, dia mulai mencari istri yang lain. Setiap wanita yang dia nikahi, dia tidak mendapatkan wanita yang memiliki sifat-sifat seperti istri pertamanya. Maka dia pun menceraikannya, sampai dia letih dan bosan karena tidak menemukan sifat-sifat istri pertamanya pada wanita-wanita yang lain. Lalu dia melantunkan syair-syair yang tinggi dan panjang untuk menggambarkan istrinya dan menyifati pergaulan dan akhlaknya yang baik. Dia pun menangisi masa-masa indah yang dia jalani bersama istri pertamanya yang telah meninggal itu. -selesai-

Sungguh sangat disayangkan ada sebagian suami yang kurang mensyukuri kenikmatan mempunyai istri, di mana dengan kenikmatan tersebut dia merasakan kebahagiaan, dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya, dengan sebab itu dia mempunyai anak-anak yang ia cintai dan kenikmatan-kenikmatan yang lainnya. Yang seharusnya ia bersyukur kepada Allah.

Allah subhaanahu wata’aala berfirman :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَلَكُمْ مِنْ أَن فُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُواإِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs. Ar-Ruum:21)

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنِ اللهِ

“dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya).”(Qs. An-Nahl : 53)

Wahai para suami tidakkah engkau merasa khawatir kenikmatan mempunyai istri yang taat kepada Allah, istri yang menjaga shalatnya, istri yang memakai hijab syar’i, istri yang menyayangimu hilang darimu karena kalian tidak bersyukur kepada Allah, karena kalian tidak bemuamalah dengan baik kepada istri-istri kalian. Ada Sebagian sauami yang tidak memperdulikan istrinya, sebagian lagi ada yang tidak menafkahinya, sebagian lagi ada yang tidak memperhatikan kebutuhan biologis istrinya, sebagian lagi ada yang tidak perduli dengan pengajaran agama istrinya, sebagian lagi ada yang melukai istrinya dengan menjalin hubungan atau berfacebook ria dengan seorang akhwat/wanita ajnabiyah (asing/bukan mahram) atau hal-hal yang lainnya.

Wahai para suami kuingatkan engkau dengan firman Allah, di mana Allah subhaanahu wata’aala berfirman :
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim : 7)

Allah subhaanahu wata’aala berfirman :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاتُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Qs. Ibrahim : 34)

Wahai para suami bukankah Allah Ta’aala memerintahkan kita untuk bermuamalah kepada istri-istri kita dengan baik.

Allah subhaanahu wata’aala berfirman :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ

“Dan bergaulah dengan mereka secara patut.” (Qs. An-Nisa’ : 19)

Ketahuilah di antara bentuk menggaulinya dengan cara yang ma’ruf (baik) adalah :
Berbuat baik kepada istri kita dalam ucapan dan perbuatan.
Tidak menyakiti hatinya baik dengan celaan, umpatan maupun peremehan.
Menunaikam hak-haknya.
Tidak menahan haknya dalam masalah jima’.
Dan yang lainnya.

Begitu juga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk kita bermuamalah dengan baik kepada istri kita. Di mana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya dan saya yang paling baik di antara kalian terhadap istri.” (HR. At- Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita, di antaranya nikmat istri.

Ditulis oleh : Abu Ibrahim Abdullah Al-Jakarty

Sumber : http://nikahmudayuk.wordpress.com/2012/10/03/agar-engkau-tahu-bahwa-istrimu-adalah-kenikmatan-yang-allah-karuniakan-kepadamu/

Rabu, 03 April 2013

Tujuh Golongan yang Mendapat Naungan ALLAH subhanahu wa ta'ala


Dari Abū Hurairah raiyallāhu’anhuRasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :

“Ada Tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allāh pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya:
  • Seorang pemimpin yang adil.
  • Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Allāh.
  • Seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid.
  • Dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allāh; mereka bertemu dan berpisah karena-Nya.
  • Seorang lelaki yang diajak [berbuat keji] oleh perempuan yang berkedudukan serta berparas cantik, lantas dia berkata: “Aku takut kepada Allah.”
  • Seorang lelaki yang bersedekah seraya dia sembunyikan sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
  • Dan seorang lelaki yang berdzikir/mengingat Allāh dalam keadaan sendirian lalu mengalirlah air matanya.”
(HR. Bukhari: 660 dan Muslim: 1031)"


Faidah adī
Hadīṡ yang mulia ini memberikan pelajaran-pelajaran penting, diantaranya:
  1. Kasih sayang Allāh kepada orang-orang yang beriman dan bertakwa; tatkala Allāh berkenan untuk memberikan naungan Arsy-Nya bagi hamba-hamba pilihan-Nya, di saat manusia tersiksa oleh teriknya panas matahari yang sedemikian dekat pada hari kiamat.
  2. Keutamaan sifat adil dan kemuliaan seorang pemimpin yang menegakkan keadilan dalam kepemimpinannya. Hakikat adil itu adalah menempatkan setiap orang sesuai dengan kedudukannya dan menunaikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
  3. Keutamaan menggunakan masa muda dalam aktifitas beribadah dan taat kepada Allah. Masa muda adalah masa yang penuh dengan kekuatan dan kesempatan. Di saat itu pula banyak sekali godaan dan rintangan yang bisa menjauhkan para pemuda dari ketaatan kepada Rabb-nya. Maka, sudah menjadi tugas setiap orang tua untuk memperhatikan pendidikan dan pembinaan putra-putri mereka. Di pundak merekalah masa depan umat ini dipikul.
  4. Keutamaan melazimi ṣālat berjama’ah -bagi kaum lelaki- dan menghadiri majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan di masjid-masjid. Di sisi lain, hadīṡ ini menunjukkan keutamaan memakmurkan masjid dan memperhatikan dengan baik keadaannya, baik secara fisik maupun non fisik karena masjid merupakan tempat ibadah dan berdzikir, serta tempat yang lebih dicintai Allāh daripada tempat-tempat yang lain di muka bumi ini.
  5. Keutamaan saling mencintai sesama muslim karena Allāh. Orang-orang yang menjalin ukhuwah karena Allāh dan karena ikatan aqidah dan tauhid, bukan karena kepentingan duniawi semacam harta, popularitas, atau kedudukan.
  6. Keutamaan menjaga kehormatan dan meninggalkan perkara yang diharamkan karena rasa takut kepada Allāh, bukan karena tidak ada kesempatan atau sedang tidak berselera. Akan tetapi, dia meninggalkan itu semua karena takut kepada-Nya. Di sisi lain, hadits di atas juga menunjukkan besarnya fitnah/godaan yang ditimbulkan wanita bagi kaum pria.
  7. Keutamaan mendahulukan kecintaan kepada Allāh daripada kecintaan kepada hawa nafsu. Bahkan, orang yang berjuang menundukkan nafsunya dalam ketaatan kepada Allāh termasuk golongan orang yang berjihad di dalam agama.
  8. Keutamaan sedekah secara sembunyi-sembunyi. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf mengatakan, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.”
  9. Keutamaan berdzikir kepada Allāh di kala sendiri dengan mengingat kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat lalu menangis karena takut kepada Allāh. Hal ini juga mengisyaratkan hendaknya setiap hamba rajin-rajin untuk bermuḥāsabah/introspeksi diri; karena bisa jadi dia terjerumus dalam dosa tanpa dia sadari, atau dia terbenam dalam kubangan dosa tanpa ada keinginan untuk bertaubat dan kembali ke jalan ilahi. Allāhul musta’ān.