Selasa, 29 Januari 2013

Hukum Membasuh atau Mengusap Leher Ketika Berwudhu’

Bismillahirahmanirahim

air9

Pertanyaan: Apakah membasuh atau mengusap leher termasuk kewajiban atau sunnah-sunnah wudhu’ atau tidak?

Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah menjawab:

Mengusap leher tidak termasuk sunnah-sunnah wudhu’ tidak pula kewajiban wudhu’. Karena Allah telah menentukan anggota-anggota tubuh yang harus dibasuh dan diusap. Allah berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ } سورة المائدة : آية 6

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, makabasuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(QS. Al-Maidah:8)


Yang dibasuh hanya kepala saja tidak termasuk leher. Dan tidak pernah diriwayatkan tentang mengusap leher dari Ar-Rasul bahwa itu sunnah. Maka mengusapnya termasuk bid’ah.

[ Diterjemahkan sebisanya dari Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan jilid 5, fatwa no.6 ]

sumber: http://warisansalaf.wordpress.com/2010/03/27/fatawa-hukum-membasuh-atau-mengusap-leher-ketika-berwudhu/

Apakah Berdosa Seorang yang Terbata-bata dalam Membaca Al-Qur’an ?

Bismillahirahmanirahim

Pertanyaan: Aku mendengar bahwa orang yang tidak bagus bacaan Al-Qur’annya akan berdosa karenanya, apakah itu benar? Dan apakah maknanya bahwa ia tidak membaca Al-Qur’an lebih utama daripada membacanya tetapi terbatah-batah ?

Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah menjawab:


Orang yang seperti ini memiliki dua keadaan:

Keadaan pertama: Ia mampu memperbaiki kekeliruannya dalam membaca Al-Qur’an, seperti disekitarnya ada orang yang mampu membenarkan bacaannya atau mengajarinya bacaan yang benar. Maka yang seperti ini tidak boleh baginya untuk terus berada diatas bacaannya yang terbatah-batah. Bahkan wajib baginya untuk membenarkan bacaannya dan memperbaikinya, karena dia masih memungkinkan untuk hal itu.

Keadaan kedua: Ia tidak mampu memperbaiki bacaan (Al-Qur’annya). Maka yang seperti ini ia membaca sesuai kemampuannya dan jangan sampai meninggalkan bacaan Al-Qur’an, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat dan orang yang membaca Al-Qur’an dan dia terbatah-batah lagi kesulitan maka dia mendapat dua pahala.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya no (1/549) dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha.)
Orang ini akan mendapatkan pahala membaca Al-Qur’an dan pahala (membacanya dalam keadaan) kesulitan.

sumber: http://warisansalaf.wordpress.com/2010/03/27/fatawa-apakah-berdosa-seorang-yang-terbatah-batah-dalam-membaca-al-quran/
 

Minggu, 27 Januari 2013

Macam-Macam Azab Kubur

Bismillahirahmanirahim

pedih-siksa-neraka

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)

1. Diperlihatkan Neraka Jahannam

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.”
(Ghafir: 46)



Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian mati maka akan ditampakkan kepadanya calon tempat tinggalnya pada waktu pagi dan sore. Bila dia termasuk calon penghuni surga, maka ditampakkan kepadanya surga. Bila dia termasuk calon penghuni neraka maka ditampakkan kepadanya neraka, dikatakan kepadanya: ‘Ini calon tempat tinggalmu, hingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membangkitkanmu pada hari kiamat’.”
(Muttafaqun ‘alaih)



2. Dipukul dengan palu dari besi

Dari Anas radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam:
Adapun orang kafir atau munafik, maka kedua malaikat tersebut bertanya kepadanya: “Apa jawabanmu tentang orang ini (Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam)?” Dia mengatakan: “Aku tidak tahu. Aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.” Maka kedua malaikat itu mengatakan: “Engkau tidak tahu?! Engkau tidak membaca?!” Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi, tepat di wajahnya. Dia lalu menjerit dengan jeritan yang sangat keras yang didengar seluruh penduduk bumi, kecuali dua golongan: jin dan manusia.”
(Muttafaqun ‘alaih)


3. Disempitkan kuburnya, sampai tulang-tulang rusuknya saling bersilangan, dan didatangi teman yang buruk wajahnya dan busuk baunya.

Dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib yang panjang, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam menceritakan tentang orang kafir setelah mati:
“Gelarkanlah untuknya alas tidur dari api neraka, dan bukakanlah untuknya sebuah pintu ke neraka. Maka panas dan uap panasnya mengenainya. Lalu disempitkan kuburnya sampai tulang-tulang rusuknya berimpitan. Kemudian datanglah kepadanya seseorang yang jelek wajahnya, jelek pakaiannya, dan busuk baunya. Dia berkata: ‘Bergembiralah engkau dengan perkara yang akan menyiksamu. Inilah hari yang dahulu engkau dijanjikan dengannya (di dunia).’ Maka dia bertanya: ‘Siapakah engkau? Wajahmu adalah wajah yang datang dengan kejelekan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang jelek.’ Maka dia berkata: ‘Wahai Rabbku, jangan engkau datangkan hari kiamat’.”
(HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim)



4. Dirobek-robek mulutnya, dimasukkan ke dalam tanur yang dibakar, dipecah kepalanya di atas batu, ada pula yang disiksa di sungai darah, bila mau keluar dari sungai itu dilempari batu pada mulutnya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam berkata kepada Jibril dan Mikail sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang:
“Beritahukanlah kepadaku tentang apa yang aku lihat.” Keduanya menjawab: “Ya. Adapun orang yang engkau lihat dirobek mulutnya, dia adalah pendusta. Dia berbicara dengan kedustaan lalu kedustaan itu dinukil darinya sampai tersebar luas. Maka dia disiksa dengan siksaan tersebut hingga hari kiamat. Adapun orang yang engkau lihat dipecah kepalanya, dia adalah orang yang telah Allah ajari Al-Qur’an, namun dia tidur malam (dan tidak bangun untuk shalat malam). Pada siang hari pun dia tidak mengamalkannya. Maka dia disiksa dengan siksaan itu hingga hari kiamat. Adapun yang engkau lihat orang yang disiksa dalam tanur, mereka adalah pezina. Adapun orang yang engkau lihat di sungai darah, dia adalah orang yang makan harta dari hasil riba.”
(HR. Al-Bukhari no. 1386 dari Jundub bin Samurah )



5. Dicabik-cabik ular-ular yang besar dan ganas

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
“Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.”
(HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih berkata: “Ini hadits shahih dari Abu Umamah Al-Bahili.”)


Sumber :  Macam-macam Azab Kubur,  (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan),  Majalah Asy-Syariah,  (Kajian Utama edisi 51)
http://asysyariah.com/macam-macam-azab-kubur.html

Selasa, 22 Januari 2013

Daurah Karawang di bulan Januari

Bismillah,


Alhamdulillah, Alhamdulillah bi ni'matihi tatimus sholihat. Di tengah keprihatinan kita atas bencana banjir yang menimpa sebagian ikhwah di Karawang ini khususnya dan di kota-kota lainnya yang terkena bencana banjir -Semoga Allah Ta'ala memberi mereka kesabaran dan kekuatan untuk mengatasinya- kami sampaikan berita gembira untuk kaum muslimin. InsyaAllah Ta’ala, akan hadir kembali Kajian Islam Ilmiah yang akan dilaksanakan pada:
- Hari         : 'Ahad
- Tanggal    : 15-RabiulAwal-1434H / 27-Januari-2013M
- Waktu      : Pukul 09.00wib ~ Selesai
- Tema       : Pokok-pokok Dalam Bermanhaj
- Pemateri  : Al-Ustadz Muhammad Afifudin As-Sidawy
- Tempat    : Masjid AlFurqon, depan RS Dewi Sri, Jln.Arief Rahman Hakim No.1A Karawang
- Kontak     : 0857-1414-333-7  & 08787-9195-155 [Abu ‘Abdillah], 0857-8264-3130 [Salman]

InsyaAllah Ta'ala, kajian akan disiarkan juga secara online (Live Streaming), via Radio Salafy Cileungsi (salafycileungsi.com).



Daurah Karawang 2013

Silahkan kabarkan kepada yang lainnya, terbuka untuk umum, khusus Ikhwan/Pria.
Baarokallahu fiik, Semoga Allah Ta’ala memberimu barokah.

Senin, 21 Januari 2013

BOLEHKAH BERDOA DENGAN BAHASA INDONESIA ? BOLEHKAH MENGANGKAT TANGAN SAAT BERDOA ? BOLEHKAH MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA ?

Bismillahirahmanirahim

Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum. Ustadz, semoga Allah menjagamu, ana ingin bertanya seputar berdo’a:
  1. Apakah selesai shalat wajib kita boleh berdo’a sesuai dengan kehendak yang kita ingin minta? (artinya, bolehkah berbahasa Indonesia)
  2. Kapankah waktu berdo’a yang amat baik?
  3. Apakah waktu berdo’a di waktu-waktu tertentu tersebut kita mengangkat tangan? Atau jika tidak, bagaimana posisi tubuh kita dan wajah?
    Jazaakallaahu khairaa. (Abu Aslam, angga***@yahoo.com)
Jawaban:

Wa’alaikumus salaam warahmatullaah. [bukan wa'alaikum salaam (lihat perbedaannya!)]
Semoga Allah juga menjagamu dan kaum muslimin secara umum agar tetap istiqomah di dalam menjalankan ajaran Islam dan menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun banyak godaan, gangguan dan tantangan baik dari diri kita sendiri, teman, guru/dosen ataupun yang lainnya.
Adapun pertanyaan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Secara umum kita boleh berdo’a kapan saja sesuai dengan keinginan kita. Allah Ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhan kalian berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.” (Al-Mu`min:60)
Akan tetapi akan lebih baik lagi kalau berdo’a pada waktu-waktu yang mustajaabah (waktu yang berpeluang besar terkabulkannya suatu do’a) dan dengan lafazh do’a yang terdapat dalam Al-Qur`an atau yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang shahih. Kalau tidak bisa atau tidak hafal maka boleh berdo’a dengan bahasa kita sehari-hari.
Adapun mengkhususkan berdo’a setelah shalat wajib dan dilakukan dengan rutin atau sering serta meyakini itu adalah sunnah maka ini tidak ada contohnya dari Rasulullah, para shahabatnya atau pun ‘ulama salaf setelah mereka.
Sebenarnya kalau kita perhatikan dzikir-dzikir yang kita baca setelah shalat wajib maka secara umum dzikir-dzikir tersebut mengandung do’a. Kita baca “Astaghfirullaah, Astaghfirullaah, Astaghfirullaah, Allaahumma A’innii ‘alaa Dzikrika wa Syukrika wa Husni ‘Ibaadatik, ” Ini semua adalah do’a. Makanya kalau berdzikir harus mengetahui maknanya, dipahami, dihayati dan khusyu’ ketika membaca dzikir tersebut, jangan sampai melamun atau berdzikir tapi tidak mengetahui maknanya. Lihat bacaan dzikir setelah shalat wajib dalam kitab “Hishnul Muslim” (sudah diterjemahkan, Alhamdulillaah).

2. Waktu berdo’a yang amat baik atau mustajaabah di antaranya adalah pada malam lailatul qadr, tengah malam yang akhir atau sepertiga malam terakhir, antara adzan dan iqamah, ketika panggilan adzan untuk shalat wajib, ketika turunnya hujan, ketika berhadapan dengan musuh dalam jihad fii sabiilillaah, satu waktu dari waktu-waktu shalat ‘ashar pada hari jum’at, waktu tasyahhud akhir sebelum salam tapi harus dengan do’a-do’a yang ada dalam hadits (lihat Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albaniy), dan lain-lainnya (Lebih lengkapnya lihat dalam kitab Adz-Dzikru wad Du’aa` wal ‘Ilaaj bir Ruqaa minal Kitaab was Sunnah karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthaniy hal.101-118)

3. Dalam masalah mengangkat tangan ketika berdo’a memang terjadi ikhtilaf di antara para ‘ulama, ada yang membolehkannya secara umum, ada yang membatasinya dengan batasan-batasan tertentu. Di antara yang berpendapat dengan pendapat yang kedua ini seperti Al-’Izz bin ‘Abdissalam di mana beliau berkata: “Tidak disunnahkan mengangkat tangan dalam berdo’a kecuali pada keadaan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan padanya (ketika berdo’a) dan tidaklah seorang yang mengusap wajah setelah berdo’a kecuali dia itu orang yang bodoh.” (Fataawaa Al-’Izz bin ‘Abdissalaam hal.46, dinukil dari Al-Luma’ fir Radd ‘alaa Muhsinil Bida’)

Adapun hadits yang mengatakan: “Sesungguhnya Rabb kalian Hayiyyun Kariimun, malu dari hamba-Nya apabila mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu dikembalikan dalam keadaan kosong.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Hakim dari shahabat Salman Al-Farisiy)

Hadits ini dibatasi oleh perbuatan Rasulullah ketika berdo’a artinya kita hanya mengangkat tangan ketika memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan dalam do’anya seperti do’a dalam shalat istisqaa`, do’a dalam khuthbah jum’at dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan ke langit.
Adapun hadits yang menerangkan tentang mengusap wajah setelah berdo’a adalah hadits dha’if sebagaimana didha’ifkan oleh para ‘ulama seperti Asy-Syaikh Al-Albaniy. (Lihat “Majmuu’ah Fataawaa Al-Madiinah Al-Munawwarah”)
Wallaahu A’lam.

Copas dari http://catatanmms.wordpress.com

Sumber : Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Ma’had Adhwaus-Salaf Bandung
Edisi ke-36 Tahun ke-2 / 30 Juli 2004 M / 12 Jumadits Tsani 1425 H

Smber: http://aboeshafiyyah.wordpress.com/2012/11/22/mengangkat-tangan-ketika-berdoa/

Adab Tidur Islami

Bismillahirahmanirahim

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Adab Islami sebelum tidur yang seharusnya tidak ditinggalkan oleh seorang muslim adalah sebagai berikut:

Pertama: Tidurlah dalam keadaan berwudhu.

Hal ini berdasarkan hadits Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ

Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

Kedua: Tidur berbaring pada sisi kanan.

Hal ini berdasarkan hadits di atas. Adapun manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim, “Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)” (Zaadul Ma’ad, 1/321-322).

Ketiga: Meniup kedua telapak tangan sambil membaca surat Al Ikhlash (qul huwallahu ahad), surat Al Falaq (qul a’udzu bi robbil falaq), dan surat An Naas (qul a’udzu bi robbinnaas), masing-masing sekali. Setelah itu mengusap kedua tangan tersebut ke wajah dan bagian tubuh yang dapat dijangkau. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh istrinya ‘Aisyah.

Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017). Membaca Al Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini lebih menenangkan hati dan pikiran daripada sekedar mendengarkan alunan musik.

Keempat: Membaca ayat kursi sebelum tidur.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata,

وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ، ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, "Aku pasti akan mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". Lalu Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, "Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta'ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu syetan". (HR. Bukhari no. 3275)

Kelima: Membaca do’a sebelum tidur “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”.

Dari Hudzaifah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ « بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا » . وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا ، وَإِلَيْهِ النُّشُورُ »

Apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hendak tidur, beliau mengucapkan: 'Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).' Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan: "Alhamdulillahilladzii ahyaana ba'da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324)

Keenam: Sebisa mungkin membiasakan tidur di awal malam (tidak sering begadang) jika tidak ada kepentingan yang bermanfaat.

Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah)

Semoga bahasan ini bisa kita amalkan. Hanya Allah yang beri taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Minggu, 20 Januari 2013

Maulid Nabi Bid'ah atau Syar'i ya ??

Bismillahirahmanirahim ^_^

Siapa yang tidak cinta kepada ALLAH dan RasulNya ? Pasti cinta dong ^_^ yang tidak cinta berarti bukan hamba dan umatNya.Mari mencari ilmu tentang Maulid Nabi yaa, biar tidak tersesat nantinya.

Peringatan Maulid Dalam Timbangan Islam

Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari Senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172).

Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490.
(Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)



Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali (bin Abi Thalib), maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang.
(Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)

Hukum Memperingati Maulid Nabi

Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah . Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.”
(Zaadul Ma’ad: 1/74)

Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi .

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.”
(An Nisaa’: 59)


Subhanallah! ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di dalam As Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلىَ خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya.”
(HR. Muslim)


Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi radhiallahu anhum, apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling mereka cintai ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat) radhiallahu anhum, meski ada peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf  radhiallahu anhum orang yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada kita.
(Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)

Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.

Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
(H.R Ahmad)


Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)


Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke dalam Jahannam.”
(An Nisaa’: 115)


Bagaimanakah, bila pada sebagian acara yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya :
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang segala kejadian).”

Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya):“Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Al Bukhari).

Demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman (artinya): Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak (pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.”
(Al An’am: 50)


Serba – Serbi

Para pembaca, ketahuilah bahwa semata-mata niat baik bukanlah timbangan segala-galanya.
Lihatlah bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu terhadap sekelompok muslimin yang duduk di masjid dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan cara yang belum pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “…celakalah kalian hai umat Nabi Muhammad ! Alangkah cepatnya kehancuran menimpa kalian! Padahal para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman (yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang kami inginkan (niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab:“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.”
(HR. Ad Darimi 1/68-69).


Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.”
(Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)


Demikian pula semata-mata mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa meniti jalannya dan jalan orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para sahabat, adalah kecintaan yang palsu. Dengan tegas Allah berfirman (artinya):“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.”
(Ali Imran: 31)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’ (mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan menyebarkannya serta berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan lisan.”
(Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)


Para pembaca, mungkin dalam hati kecil ada yang bergumam: “Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah hasanah?

Kita katakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena sungguh semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”
(HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)


Beranikah seorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi sabda beliau? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan setiap bid’ah itu adalah sesat, lalu ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!!

Sungguh ironis seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus menentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?

Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya, sebagaimana yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.

Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan bukan hasanah, ketika Rasulullah , para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak melakukannya dan tidak pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia hasanah, pasti mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang mereka punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya. Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhumaa berkata:“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya hasanah (baik).
(Al Ushul I’tiqad Al Lika’i: 1/109)


Al Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa nabi Muhammad telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. Atas dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para sahabat) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk agama.”
(Al I’tisham: 1/49)


Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang yang mengaku cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammengenalinya kok hanya setahun sekali?!

Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu.
Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk kedalam lingkup bid’ah
.

Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau , yang ini pun sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri.
Sudikah kita mengenal dan mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?!

Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami sajikan, semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com
———-

Artikel lainnya terkait Hukum Maulid Nabi:

1. Fatwa Ulama Besar Seputar Maulid

2. HUKUM MEMPERINGATI Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam

3. Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan Islam

4. Bulan Penuh Telur

5. Apakah Kita Merayakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

6.  Perayaan Maulid yang Anda Ketahui

7. Perayaan Maulid Nabi dalam Sorotan

8. KERUSAKAN-KERUSAKAN MAULID

Artikel Terkait:

1.“Cintailah Dia -Shallallahu alaihi wa sallam- Dengan Cara Yang Dia cintai!”

2. Bisanya Cuman Nyontek

sumber: http://www.darussalaf.or.id/manhaj/peringatan-maulid-nabi-dalam-timbangan-islam/


Kamis, 10 Januari 2013

Tafsir Ibnu Katsir Mengenai Q.S An-Nisa : 59

Bismillahirahmanirahim ^_^

Dengan izin ALLAH SWT yang selalu memberikan ilmu-ilmuNya yang luas terhadap mahluk-mahlukNya. Dengan memuji dan mengharapkan ridhoNya, ilmu tentang tafsir Al-Qur'an Surat An-Nisa : 59 dari Ibnu Katsir.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”. (Q.S An-Nisaa : 59)

Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas bahwasanya Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang firman Allah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu”. Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jama’ah kecuali Ibnu Majah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kalian untuk mentaatiku?” Mereka menjawab: “Betul”. Dia berkata lagi: “Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian”. Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya, dan ia berkata: “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata: “Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun bersabda kepada mereka: ‘Seandainya kalian masuk ke dalam api itu niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf’. (Dikeluarkan dalam kitab Ash-Shahihain dari hadits al-A’masy)

Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”. (Dikeluarkan pula oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Yahya al-Qaththan)

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Kami dibai’at oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk mendengar dan taat diwaktu suka dan tidak sukanya kami dan diwaktu sulit dan mudahnya kami, serta diwaktu diri sendiri harus diutamakan dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari penguasa, beliau bersabda: ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti jelas dari Allah’. (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdabda: “Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena tidak ada seseorang yang keluar dari jama’ah sejengkalpun, lalu ia mati, kecuali ia mati dalam keadaan jahiliyah. (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa hujjah. Dan barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, niscaya ia mati dengan kematian jahiliyyah”. (Muslim)

Didalam hadits shahih yang telah disepakati pula, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka berarti ia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia berarti bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku, maka ia berarti mentaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku, maka ia bermaksiat kepadaku”.

Ibnu Katsir selanjutnya menjelaskan bahwa “ini semua adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman: “Taatlah kepada Allah”, yaitu ikutilah Kitab-Nya. “Dan taatlah kepada Rasul”, yaitu peganglah sunnahnya. “Dan Ulil Amri di antara kamu”. Yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena tidak berlaku ketaatan kepada mahluk dalam rangka maksiat kepada Allah”.

[Dikutip dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 hal. 343, cet. Pustaka Imam as-Syafi'i]

sumber : http://buahatiku.wordpress.com/2007/07/30/surat-an-nisaa-ayat-59/

Selasa, 08 Januari 2013

Hadirilah Kajian Rutin Ilmiah Ikhwan wa Akhwat

Bismillah ^_^

Mari para thalabul 'ilmi yang berada di Jakarta ^_^

Hadirilah kajian rutin Ilmiah Ikhwan wa Akhwat

Mulai pukul 13.30 - selesai di bulan Januari 2013

Minggu ke 1: 
                 1. Al-Ustadz Ayip Syafrudin (Solo), Membahas Kitab Riyadhus Shalihin Al-Imam Nawawi Rahimahullah 
                2. Al-Ustadz Fauzan (Ciamis), Membahas Kitab Ta’dzimus Sunnah
 
Minggu ke 2: 
                1. Al-Ustadz Mubarak (Cileungsi), Kitab At-Tauhid
                2. Al-Ustadz Abu Hamzah (Tasikmalaya), Kitab Ushul Sunnah

Minggu ke 3: 
                 1. Al-Ustadz Muslim (Indramayu), Membahas Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Kitab Fiqih (Fiqih Al-Muyasar Fi Dhaa’i Al-Kitab wa Sunnah)
                 2. Al-Ustadz Abdullah Al-Jakarty, Membahas Syarhus Sunnah Al-Imam Barbahari Rahimahullah

Minggu ke 4: 
               1. Al-Ustadz Mubarak (Cileungsi), Kitab At-Tauhid
               2. Al-Ustadz  Abdul Malik (Tanggerang), Membahas Kitab Mudzakkiratu Al-Hadits An-Nabawy Fil Aqidah wal Itibaa’ Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-MadkholyHafidzahullah

Tempat KHUSUS IKHWAN: Masjid Al-Mujahidin Jl.Anggrek Nelimurni VII Blok-A Slipi, Jakarta
(Seberang RS. Harapan Kita)

Tempat KHUSUS AKHWAT: Di Kantor JNE lt 2, depan gang Masjid Al-Mujahidin Slipi

Info Ikhwan :
Abu Raheel Doni 081381353819, Abu Aryo 08118771676, Muhammad Ridha 081316322048
Info Ummahat: Ummu Abzi 0813 17 050388

InsyaAllah kajian ini akan disiarkan melalui streaming di http://kajian-almujahidin.blogspot.com/
slipi
sumber: http://catatanmms.wordpress.com/2013/01/05/terbaru-jadwal-kajian-ummahat-dengan-ustadzah-ummu-ishaq-al-atsariyyah-di-jakarta-per-januari-2013/?like=1&source=post_flair&_wpnonce=293391d861

Minggu, 06 Januari 2013

Menundukkan Pandangan

Bismillah

Kita semua mengetahui bahwa semakin hari kerusakan moral dan kemaksiatan semakin parah. Diantara yang menonjol adalah perzinaan. Diantara sebab terbesar terjadinya zina adalah ditinggalkannya salah satu ajaran Islam yang mulia yaitu menundukkan pandangan.

Beberapa dalil perintah menundukkan pandangan
Firman Allah (artinya) : “Katakanlah (wahai nabi)kepada orang –orang beriman laki – laki agar mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan agar mereka menjaga kemaluan mereka karena yang demikian lebih menyucikan (qalbu dan agama mereka). Sesungguhnya Allah tahu apa yang mereka lakukan” (An Nur 30). Dalam ayat berikutnya Allah juga memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman untuk menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.
Ibnu Katsir,seorang ahli tafsir besar yang bermadzhab Syafi’i,menjelaskan bahwa pandangan mata merupakan sebab besar bagi rusaknya qalbu sebagaimana mutiara kata dari kaum salaf ‘Pandangan mata adalah panah beracun yang menghujam ke dalam qalbu’. Beliau juga mengatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk kecemburuan Allah [jangan sampai hamba-Nya bermaksiat] dan sekaligus sebagai pembeda antara kaum mukminin dan sifat – sifat wanita jahiliyah.

Al Qurthubi,seorang ahli tafsir besar yang bermadzhab Maliki,menjelaskan bahwa pandangan mata adalah pintu terbesar menuju qalbu…oleh karena itu banyak yang jatuh disebabkan pandangan mata sehingga wajib untuk berhati – hati dari pengaruhnya. Menundukkan pandangan mata wajib hukumnya dari segala hal yang kita dilarang melihatnya dan dari segala hal yang dikhawatirkan timbul fitnah/pengaruh jelek. Oleh karena itulah dalam kedua ayat di atas didahulukan perintah untuk menundukkan pandangan sebelum perintah untuk menjaga kemaluan karena memang pandangan mata menuju (berpengaruh langsung)ke qalbu dan selanjutnya ke kemaluan. Pantaslah kalau dalam kedua ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surat An Nur yang di awal surat ini disebutkan ancaman dosa zina karena memang antara zina dan pandangan mata berkaitan erat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan agar kita berhati – hati dari duduk – duduk/nongkrong di tepi jalan. Kemudian beliau juga mengingatkan tentang hak – hak jalan dimana diantara yang beliau sebutkan adalah perintah untuk menundukkan pandangan(HR.Bukhari Musim).
Bahkan beliau ketika menyebutkan berbagai macam zina yang dilakukan anggota tubuh, beliau menamai pandangan mata kepada yang haram dengan istilah zinanya mata dan ini beliau sebutkan sebelum zina yang dilakukan anggota tubuh lainnya(HR.Bukhari Muslim). Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendahulukan zina yang dilakukan mata karena memang dialah asal bagi zinanya tangan, kaki, qalbu dan kemaluan. (Raudhatul Muhibbin)
Pernah pula ketika haji Wada’ beliau melihat sepupunya,Al Fadhl ibnu Abbas,melihat kepada seorang wanita maka langsung beliau palingkan wajah Al Fadhl ke arah lain. (HR.Bukhari)
Kita juga tahu hadits shahih yang terkenal yang artinya Sebaik – baik shaf bagi kaum lelaki adalah yang terdepan dan yang terjelek adalah yang paling belakang; sedangkan sebaik – baik shaf bagi kaum wanita adalah yang paling belakang dan yang terjelek adalah yang terdepan. Perlu diketahui bahwa hadits ini berlaku ketika tidak ada pembatas antara shaf lelaki dan wanita sehingga mungkin untuk saling melihat. Hadits ini mengingatkan kaum muslimin bahwa meski mereka dalam ibadah yang sangat agung dalam Islam yaitu shalat dimana Allah telah berjanji bahwa shalat yang dilakukan dengan benar akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar; namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengingatkan bahayanya pandangan mata kepada lawan jenis. Bagaimana dengan memandang kepada lawan jenis di luar shalat dimana seseorang lebih jauh dari rahmat Allah dibanding ketika shalat ?

Faidah Penting
Menundukkan pandangan ada dua macam :
menundukkan pandangan dari aurat dan menundukkan pandangan dari syahwat.
Yang pertama seperti menundukkan pandangan dari melihat aurat orang lain yang diharamkan…
Yang kedua seperti melihat kepada perhiasan batin wanita yang bukan mahramnya…Jenis kedua ini lebih berbahaya…termasuk di dalamnya adalah melihat dengan syahwat kepada anak laki – laki kecil yang belum tumbuh janggut dan kumisnya dan yang ini telah disepakati keharamannya oleh para ulama. (lihat lebih lengkap Majmu’ Fatawa libni Taimiyah 15/414-415)

Balasan bagi yang menundukkan pandangan
Di sisi lain, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran luar biasa agar kita menundukkan pandangan dari hal – hal yang diharamkan bagi kita untuk melihatnya seperti dalam sabda beliau (artinya) : “Tiga pasang mata yang tidak akan melihat neraka pada hari kiamat :……dan mata yang ditudukkan dari apa –apa yang Allah haramkan.” (HR.Tirmidzi dan lainnya, Syaikh Al Albani menghasankannya)
Beliau juga mengatakan (artinya) : Jagalah bagiku enam perkara niscaya Aku jamin bagi kalian surga : …….dan tundukkan pandangan kalian…” (HR.Al Hakim dan lainnya, Syaikh Al Albani menshahihkannya)
Sedikit Keringanan
Pandangan mata kepada hal yang haram tanpa niat. Shahabat Jarir ibn Abdillah pernah bertanya kepada nabi tentang pandangan yang seperti ini maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk segera memalingkan pandangan(HR.Muslim). Ibnul Qayyim mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak berdosa.Namun, jika setelah pandangan pertama yang tidak disengaja ini diteruskan dengan sengaja maka dia menjadi berdosa.
Ibnul Qayyim juga menjelaskan bahwa pandangan mata merupakan wasilah atau jalan mengantarkan kepada dosa yang lebih besar yaitu zina. Oleh karena itu, diperbolehkan melihat kepada sesuatu yang asalnya tidak boleh dilihat ketika ada kebutuhan yang sangat atau maslahat yang besar. Tentu yang demikian dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan tidak bermudah-mudahan dalam melakukannya dengan diiringi perasaan senantiasa khawatir dirinya akan terkena pengaruh dan diiringi dengan muraqabah atau senantiasa merasa diawasi oleh Allah ta’ala.

Beberapa faidah dari menundukkan pandangan (diambil dari kitab Raudhatul Muhibbin)
- Jika seseorang menundukkan pandangan matanya maka Allah akan tundukkan qalbunya dari syahwat yang jahat; begitu pula sebaliknya.
- Pandangan haram pada hakikatnya akan menyakiti pelakunya. Ketika telah memandang ke yang haram, qalbunya tergerak untuk mencari dan memiliki padahal itu bukan miliknya. Yang demikian tentu akan meninggalkan rasa sakit dan penyesalan. Kalau nekat menempuh yang haram, akibatnya lebih parah.
- Menundukkan pandangan akan membuahkan cahaya dalam qalbu dan terlihat cahaya itu di mata, wajah , dan anggota tubuhnya. Mungkin inilah rahasia mengapa Allah ta’ala sebutkan ayat bahwa Dia adalah cahaya langit dan bumi (An Nur 35) setelah menyebutkan perintah untuk menundukkan pandangan pada beberapa ayat sebelumnya.
- Membuahkan firasat yang tajam karena qalbu yang bersinar akan menajamkan firasat. Ini merupakan bagian dari kaidah bahwa balasan sesuatu sesuai dengan amalnya. Seorang yang menundukkan pandangan matanya Allah akan ganti dengan beri cahaya pada mata hatinya. Ada sebagian ulama yang terkenal memiliki firasat yang tajam dan ketika ditanya tentang hal ini beliau menyebutkan salah satu resepnya adalah menundukkan pandangan.
- Memudahkan bagi seseorang untuk menuntut ilmu dan menempuh jalan mencari ilmu dan yang demikian adalah buah dari qalbu yang bersinar. Tentu berlaku pula hukum sebaliknya.
- Membuahkan kekuatan dan keberanian qalbu dan istiqomah di atas kebenaran.
- Menghasilkan kebahagiaan qalbu dimana kebahagiaan ini lebih besar dibanding kesenangan semu yang didapat ketika melihat yang haram.
- Melepaskan dirinya dari belenggu syahwat syaithoniyyah.
- Menjauhkan dirinya dari Jahannam dan mendekatkan ke surga.
- Menguatkan akal karena membebaskan matanya memandang yang haram pada hakikatnya adalah tanda bahwa akalnya kurang karena lebih mementingkan kenikmatan semu namun dibaliknya adalah adzab yang pedih.
- Menjauhkan dari mengingat Allah dan negeri akhirat karena sibuk mengingat syahwat syaithoniyyah

Fenomena yang Perlu Diwaspadai

Seorang da’i,ustadz, guru agama atau kyai yang menyampaikan ajaran Islam, menyampaikan ayat Allah, hadits nabawi, maupun perkataan ulama dalam kondisi mereka membiarkan pandangan mata mereka tertuju kepada hadirin wanita tanpa adanya hijab atau pembatas yang disyariatkan. Mungkin ada yang beralasan bahwa yang seperti ini termasuk kondisi darurat yang membolehkan terjadinya hal seperti ini. Namun, kalau dicermati dimana letak daruratnya? Bukankah memungkinkan untuk disampaikan ilmu dari balik hijab dengan pengeras suara bahkan kalau perlu disediakan mikrofon bagi yang mau bertanya dari kalangan wanita. Siapa yang menjamin bahwa qalbu sang pengajar tidak terpengaruh dengan apa yang dilihatnya dari jama’ah wanita ? Bahkan sangat dikhawatirkan berkurang dan hilangnya berkah dari pengajian yang diadakan. Kita khawatir ketika semakin banyak da’i bermunculan di masyarakat, majelis ta’lim semakin marak dan masjid yang semakin banyak namun ternyata kerusakan moral semakin menjadi – jadi. Apa yang salah ? Salah satu jawabannya adalah tidak adanya berkah dari berbagai fenomena di atas. Itu hanya kenyataan yang nampaknya indah namun pada hakikatnya jauh dari apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam peringatkan sebagaimana telah kami sampaikan di atas.

Cermin
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata : “Menjaga pandangan lebih berat dibanding menjaga lisan.”
Seorang tabi’in yang mulia,Sa’id ibn Musayyab,mengatakan (secara makna):” Seandainya kalian memberiku amanah untuk menjaga emas sepenuh istana niscaya kalian dapati aku sebagai orang yang terpercaya tapi jika kalian memberiku amanah untuk menjaga seorang budak wanita hitam maka aku sangat mengkhawatirkan diriku terpengaruh dengannya.” Ucapan ini bukan menunjukkan kelemahan imannya namun justru menunjukkan besarnya iman karena semakin besar iman seseorang maka dia akan semakin berhati – hati dan khawatir kalau terjatuh dalam perkara yang disepelekan namun ternyata membinasakan.
Wallahu a’lam.

Sumber : http://assunnahmadiun.wordpress.com/2012/11/16/menundukkan-pandangan/

Adab Seorang Muslim : Adab Menguap

Bismillah

Penulis : Ustadz Abdullah Imam hafizhahullaahu ta’ala

Seorang penyair berkata:
تَعْصِيْ الِإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ
                        هَذَا مُحَالٌ فِيْ الِقِيَاسِ شَنِيْعُ
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ
                        إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

“Engkau bermaksiat kepada al-Ilah (Allah) sementara engkau mengaku mencintai-Nya
Ini adalah mustahil dan dalam kias tercela (buruk)
Jika memang cintamu jujur dan setia tentu engkau akan menaati-Nya
Karena sesungguhnya sang pencinta akan selalu patuh kepada yang dicinta.”

Para pembaca rahimakumullah, itulah gambaran kejujuran cinta seorang muslim kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hendaknya dia menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka suatu bentuk ketidakjujuran cinta dia kepada Allah subhanahu wa ta’ala jika dia masih banyak bermaksiat kepada-Nya.
Demikianlah semestinya sikap seorang muslim terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Penuh ketundukan dan ketaatan yang disertai dengan keikhlasan dan berusaha semaksimal mungkin untuk meninggalkan hal-hal yang tidak disukai dan dibenci Sang Pencipta, Rabbul ‘alamin.

Allah subhanahu wa ta’ala Membenci Kuap (Jw. Angop)

Para pembaca rahimakumullah, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam kehidupan ini ada keadaan-keadaan yang disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan ada pula keadaan-keadaan yang tidak disenangi oleh-Nya. Salah satu keadaan yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah menguap. Dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ العِطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ…
Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci kuap…”
(HR. al-Bukhari no. 6223)

Maka sebagai seorang muslim hendaknya dia membenci kuap sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membencinya. Yang demikian ini sebagai bentuk kejujuran dan kesetiaan cintanya kepada-Nya subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang-orang yang beriman maka amat sangat cinta kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 165)

Lalu mungkin timbul pertanyaan mengapa Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai kuap. Dijelaskan oleh para ulama bahwa di sana ada beberapa sebab yang menjadikan kuap tidak disukai:

1. Kuap itu berasal dari syaithan, dan syaithan tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali berupa hal-hal yang jelek.
Hal ini sebagaimana baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terangkan pada lanjutan hadits di atas:
“Adapun kuap maka sesungguhnya ia dari syaithan.”
(HR. al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)
Makna hadits ini bahwa syaithan sangat menginginkan dan senang melihat seseorang menguap karena yang demikian itu menunjukkan perubahan keadaan orang tersebut kemudian syaithan tertawa. Jadi, perantara terjadinya kuap itu adalah syaithan. (Lihat Fathul Bari)

2. Kuap muncul disebabkan memperturutkan hawa nafsu terutama makan sehingga menimbulkan rasa malas dan hilang semangat.
Maka dari sini, ada peringatan bagi kita untuk menjauhi sikap berlebihan ketika makan karena merupakan pemicu munculnya kuap, sebagai tanda diri sedang dalam keadaan malas dan tidak bersemangat. (Lihat Syarah Shahih Muslim)
Kuap termasuk sesuatu yang sangat tidak disukai, terlebih jika terjadi ketika sedang shalat karena syaithan senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk mengganggu seseorang yang sedang shalat. Seseorang yang menguap ketika sedang shalat menjadikan keadaan dirinya tidak tenang .
Oleh karena itu dalam sebuah hadits yang berkaitan dengan kuap disebutkan padanya tambahan lafadz ‘ketika shalat’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Menguap ketika shalat adalah dari syaithan, maka jika salah seorang dari kalian menguap tahanlah semaksimal mungkin.”
(HR. at-Tirmidzi no. 370) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Hal ini menunjukkan bahwa menguap ketika sedang shalat lebih tidak disukai. Demikian pula jika sedang membaca al Quran di dalam shalatnya tersebut lalu datang keinginan untuk menguap maka hendaknya dia hentikan terlebih dahulu bacaannya. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang sedang shalat untuk benar-benar khusyuk dan konsentrasi agar syaithan tidak mengganggu dirinya dengan berbagai macam gangguan, salah satunya dengan menguap. (Lihat Fathul Bari danFatawa Ibn Utsaimin)

Etika Ketika Menguap

Para pembaca rahimakumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits menerangkan kepada kita beberapa etika dan adab ketika menguap. Di antaranya adalah:

1. Menjaga dan menahan mulut semaksimal mungkin untuk tidak terbuka.
Hal ini sebagaimana tersebutkan dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin (agar mulutnya tidak terbuka).”
(HR. al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994).

2. Jika tidak mampu untuk menahan mulut agar tidak terbuka, maka tutuplah dengan tangan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah dengan meletakkan (menutupkan) tangannya ke mulutnya karena sesungguhnya syaithan bisa masuk (bila tidak ditutup).”
(HR. Muslim no. 2995) dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Cara yang kedua ini tidak harus menutup dengan tangan secara langsung, namun bisa juga dengan menggunakan kain atau sapu tangan atau yang semisalnya. Demikian pula tidak harus dengan tangan kanan atau tangan kiri atau dengan keduanya, boleh yang mana saja asalkan mulut bisa tertutup dan tertahan. (Lihat Fathul Bari dan Fatawa ibn Utsaimin)

3. Janganlah sampai bersuara aah.. aah.. atau haah.. haah.. atau yang semisalnya.
Mengenai hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin dan janganlah bersuara haah haah.”
(HR. Abu Dawud no. 5028 dan at-Tirmidzi no.2747) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Adab-adab ini dilakukan baik di dalam shalat ataupun di luar shalat. (Lihat Syarah Shahih Muslim dan Fatawa ibn Utsaimin)

Apakah Perlu Mengucapkan Ta’awwudz

Para pembaca rahimakumullah, pada hadits-hadits di atas disebutkan bahwa kuap dari syaithan. Allah subhanahu wa ta’alajuga dalam Al-Qur`an telah menjelaskan tentang cara menghilangkan gangguan yang datang dari syaithan, yaitu dengan ber-ta’awudz (mengucapkan A’udzu billahi minasy syaithanir rajim). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)

Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah ketika seseorang menguap disyariatkan pula baginya untuk ber-ta’awudz?
Maka jawabannya adalah tidak, karena yang dimaukan dari ayat di atas adalah perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang terbetik untuk bermaksiat atau meninggalkan kewajiban ibadah agar ber-ta’awudz, karena semua itu merupakan bisikan dan gangguan dari syaithan.
Adapun dalam permasalahan kuap, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan dan mengajarkan kepada para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya sebatas menahan dan menutup mulut agar tidak terbuka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengucapkan ta’awudzpada waktu itu. Sehingga dari sini kita bisa mengetahui bahwa apa yang dilakukan sebagian manusia ber-ta’awudz atau mengucapkan ucapan yang lain ketika menguap merupakan suatu amalan yang tidak dibimbingkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga amalan tersebut menjadi amalan yang sia-sia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada bimbingannya dari kami maka amalan tersebut tertolak (tidak diterima).”
(HR. Muslim
 no. 1718 dari sahabat ‘Aisyah )

Nasehat

Para pembaca rahimakumullah, setelah kita mengetahui beberapa hal mengenai kuap maka hendaknya kita berusaha untuk menerapkan bimbingan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang menguap namun tidak menjalankan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut maka sungguh ia telah terjatuh ke dalam keadaan yang membahayakan dirinya karena:

1. Syaithan akan menjadi senang dan tertawa melihat dirinya menguap sambil bersuara ‘haah’.
Yang demikian ini disebabkan syaithan mengetahui bahwa orang tersebut sedang dalam keadaan malas dan tidak bersemangat, syaithan senang dengan keadaan seorang insan yang seperti ini. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian menguap maka tahanlah semaksimal mungkin karena sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian bersuara haah (ketika menguap) maka syaithan akan tertawa.”
(HR. al-Bukhari no. 3289 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

2. Syaithan akan masuk ke dalam dirinya.
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian menguap maka tahanlah dengan meletakkan (menutupkan) tangannya ke mulutnya karena sesungguhnya syaithan bisa masuk (bila tidak ditutup).”
(HR. Muslim no. 299 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Ketika syaithan telah berhasil masuk maka dia pun akan ikut mengalir bersama aliran darah manusia serta mempengaruhi orang tersebut untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Fathul BariSyarah Shahih Muslim, dan Syarah Sunan at-Tirmidzi)

3. Merupakan suatu pemandangan yang kurang baik dan tidak menyenangkan ketika menguap dengan keadaan mulut terbuka lebar dan bersuara. Bahkan terkadang keadaan seperti ini juga dinilai sebagai keadaan yang kurang beradab dan kurang sopan bagi sebagian orang.
Dari pembahasan ini kita pun bisa mengetahui bahwa agama islam adalah agama yang sempurna dan sangat memperhatikan keadaan pemeluknya serta mengajak agar senantiasa bisa berbuat kebajikan di setiap langkah mereka, subhanallah. Maka hendaknya bagi kita semua untuk menyadari hal ini dan mengamalkan bimbingan tersebut sebagai salah satu bentuk kejujuran cinta kita kepada Allah tabaraka wa ta’alaWallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.

Sumber : http://www.buletin-alilmu.com
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/adab-menguap/